Scroll untuk membaca artikel
Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana
Minggu, 25 Juli 2021 | 15:54 WIB
Ilustrasi Plengkung Gading - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

SuaraJogja.id - Sebagai gudang tempat sakral, memang paling asyik kalau membahas Jogja lebih spesifik tentang berbagai objeknya yang dikenal sarat akan sejarah, sampai-sampai dibilang mistis. Salah satunya Plengkung Gading, yang tentunya masih menjadi bagian dari Keraton Jogja.

Plengkung Nirbaya Gading, yang lebih populer dengan sebutan singkatnya, Plengkung Gading, berlokasi sekitar 300 meter dari Alun-Alun, tepatnya di Jalan Patehan Kidul, Kelurahan Patehan, Kemantren Kraton, Kota Yogyakarta.

Berfungsi awal sebagai gapura atau pintu masuk, hampir seperti namanya, Plengkung Gading berbentuk melengkung. Para pengendara yang melintas di bawahnya pun harus melewati lorong pendek, yang dibuka untuk umum.

Dengan lubang yang melengkung itu, Plengkung Gading, yang berwujud bangunan tembok kokoh warna putih, punya semacam mahkota di tepi atasnya. Lalu di masing-masing sisi kiri dan kanan, terentang dinding, dengan bagian atas yang dulunya berfungsi sebagai benteng penjagaan. Setelah zaman perang berakhir, bagian atas Plengkung Gading itu biasanya digunakan pengunjung untuk bersantai menikmati sore dengan secuil pemandangan indah Kota Jogja.

Baca Juga: Mengulik Asal-usul Tolpit Kue khas Bantul, Namanya Jorok tapi Rasanya Enak

Di kawasan Plengkung Gading, ada juga menara sirene. Hanya saja, sirene di sana dibunyikan cuma dua kali: pada 17 Agustus untuk memperingati detik-detik Proklamasi dan menjelang buka puasa di bulan Ramadan.

Kata Nirbaya dari Plengkung Nirbaya--nama asli Plengkung Gading--sendiri berasal dari "nir" atau tidak ada dan "baya" atau bahaya. Secara filosofis, Plengkung Nirbaya Gading memiliki makna "tidak ada bahaya yang mengancam".

Zaman dulu, Plengkung Gading berfungsi sebagai satu dari lima gerbang masuk wilayah Keraton Jogja. Selain Plengkung Gading di sisi selatan, empat plengkung lainnya adalah Plengkung Tarunasura di utara, Plengkung Madyasura di timur, Plengkung Jagabaya di barat daya, dan Plengkung Jagasura di barat. Namun, dari kelima plengkung itu, sampai sekarang hanya Plengkung Tarunasura Wijilan dan Plengkung Nirbaya Gading yang keaslian bangunannya masih jelas terlihat.

Mitos Plengkung Gading

Bukan itu saja, Plengkung Gading juga menjadi pintu keluar bagi jenazah sultan dan keluarga Keraton yang hendak dimakamkan. Biasanya, raja yang mangkat, jenazahnya dibawa keluar dari Keraton melalui Plengkung Gading dan selanjutnya dimakamkan di Makam Raja-Raja Imogiri.

Baca Juga: Mau Wisata Horor di Jogja? Baca Dulu Kisah di Balik 5 Rumah Angker Ini

Konon, sejak masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwono (HB) I, sultan yang masih hidup dan bertakhta dilarang melewati Plengkung Gading. Hanya sultan yang sudah wafat alias jenazahnya yang boleh melewatinya.

Mitos lainnya yang berkaitan dengan kesakralan Plengkung Gading adalah, jenazah rakyat biasa tak diperbolehkan melintas di bawahnya. Dengan kata lain, sultan boleh melewatinya jika sudah meninggal, sedangkan rakyat biasa jika masih hidup saja. Bahkan jika tempat pemakaman masyarakat biasa dekat dengan Plengkung Gading, rombongan jenazah harus memutar untuk menghindari lorong Plengkung Gading.

Selain itu, Plengkung Gading disebut-sebut bisa menetralkan ilmu hitam. Entah sengaja atau tidak, orang yang memiliki ilmu hitam akan kehilangan kesaktiannya jika melewati Plengkung Gading.

Plengkung Gading dipanjat

Begitu sakralnya Plengkung Gading, tetapi pernah ada juga yang orang-orang yang tak acuh pada tata krama di sana. Akhir Maret lalu, seorang pemuda membuat kepala banyak orang mendidih gara-gara memanjat Plengkung Gading hingga videonya viral. Bercelana pendek serta pakaian lengan panjang, pria di video viral itu berdiri tepat di ujung Plengkung Gading.

Ia tampak merentangkan kedua tangannya sambil menengadahkan kepala, disaksikan sejumlah pengendara yang melintas di sekitar lokasi tersebut. Terekam dalam video berdurasi 27 detik itu, setelah berpose, pemuda tersebut jongkok seakan hendak turun.

Tak ada orang lain yang terlihat menemani aksi pemuda itu. Ia berdiri seorang diri di atas Plengkung Gading. Tak diketahui pula apa motifnya memanjat Plengkung Gading sambil berpose di depan khalayak umum.

Sontak dirinya panen hujatan dari warganet karena aksinya dianggap norak dan tak menunjukkan sopan santun, mengingat Plengkung Gading merupakan cagar budaya Jogja yang tak seharusnya dipanjat seperti itu.

Pemuda panjat Plengkung Gading Jogja - (Twitter/@txtfromjogja)

Sebelumnya pada 2017, aksi serupa pernah dilakoni presenter Ricky Komo hingga ia mendapat teguran dari putri bungsu Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan HB X, GKR Bendara, melalui Instagram.

Dalam unggahannya, GKR Bendara mengingatkan bahwa Plengkung Gading adalah situs bersejarah, sehingga, meskipun masih muda dan bukan orang Jogja, Ricky Komo seharusnya tetap menjaga sopan santun.

Tak lama, Ricky Komo kemudian mengakui kesalahannya. Ia lantas meminta maaf serta berterima kasih pada warga Jogja dan keluarga Keraton Jogja karena telah mengingatkan dirinya untuk menghormati kesakralan Plengkung Gading.

Plengkung Gading dipagari

Kabarnya, perilaku tak sopan beberapa orang ini menjadi salah satu alasan kini Plengkung Gading dipagari. Pembangunan pagar di tangga menuju bagian atas Plengkung Gading ini mulai terlihat sejak pertengahan Juni lalu.

Mulanya, tangga masuk di kedua sisi Plengkung Gading ditutup dengan seng. Pagar juga sudah terpasang menghalangi tepi dan depan tangga dengan kondisi digembok. Tak ayal, banyak protes berdatangan dari warga Jogja.

Mereka menyoroti proyek pengindahan di Jogja yang dikerjakan di tengah pandemi Covid-19. Selain dianggap merusak autentisitas Plengkung Gading dan membuat warga Jogja merasa makin dibatasi di "rumahnya" sendiri, mereka berpendapat, sebaiknya biaya pemagaran Plengkung Gading digunakan untuk penanganan Covid-19, sama halnya dengan pemagaran Alun-Alun Utara.

Namun, keluarga Keraton Jogja kemudian menjelaskan, pihaknya mendapat laporan bahwa di malam hari, bagian atas Plengkung Gading kerap digunakan sebagai lokasi aktivitas "aneh-aneh" alias perbuatan mesum.

Lantas, sebagai situs yang sakral, setelah dipanjat hingga dijadikan tempat mesum, Plengkung Gading akhirnya diberi pagar, sehingga warga tak lagi memiliki akses untuk naik ke sana.

Load More