Scroll untuk membaca artikel
Eleonora PEW
Minggu, 05 September 2021 | 10:37 WIB
Ilustrasi Perempatan Palbapang, Bantul - (Suara.com/Iqbal Asaputro)

SuaraJogja.id - Kepercayaan terhadap mitos mungkin memang tak masuk akal bagi sebagian besar kalangan masyarakat, apalagi sekarang sudah 2021. Namun, keyakinan warga lokal yang masih dipelihara--mungkin puluhan, atau ratusan tahun--menjadikan suatu daerah punya keunikan tersendiri. Contohnya Perempatan Palbapang.

Lekat dengan legenda Bantul, Ki Ageng Mangir juga merupakan tokoh di balik asal-usul Palbapang. Ia merupakan musuh sekaligus menantu raja pertama Kerajaan Mataram, Panembahan Senopati.

Kala itu, Ki Ageng Mangir berjalan dari Mangir ke timur menuju Mataram. Namun sesampainya di sebuah desa, ia mendengar bisikan dari tombak sakti Kiai Baru Klinthing yang memintanya untuk membatalkan perjalanan ke mataram.

Bila Ki Ageng Mangir bersikeras melanjutkan perjalanan, nyawanya di-pal [dipastikan] akan melayang. Walapun sudah diperingatkan, niat Ki Ageng Mangir untuk ke Mataram tak surut. Ia tetap melanjutkan perjalanan.

Baca Juga: Ke Candi Prambanan sama Pacar Bikin Putus Cinta? Berani Buktikan Mitos?

Namun sebelum beranjak meninggalkan desa itu, ia sempat menamai desa tersebut "Palbapang", yang berasal dari kata pal atau ngepal. Di tengah perjalanan, rombongan berhenti untuk istirahat. Saat itu, Ki Ageng Mangir teringat akan bisikan pusakanya. Ia sadar, Panembahan Senopati adalah musuhnya, tapi di sisi lain, dirinya menyadari, sebagai menantu, ia harus berbakti pada sang mertua.

Suasana hati Ki Ageng Mangir seketika ngemban mentul, atau bimbang, yang konon menjadi asal-usul tempatnya beristirahat itu kelak bernama "Bantul". Meskipun bimbang, perjalanan tetap diteruskan, dan benar saja seperti yang dibisikkan tombak saktinya, begitu bertemu Panembahan Senopati, saat bersimpuh menyembah tanda penghormatan, kepalanya dibenturkan ke kursi singgasana oleh sang mertua hingga ia tewas seketika.

Lokasi Perempatan Palbapang

Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta - (SUARA/Yulita Futty)

Sama seperti namanya, Perempatan Palbapang terletak di Kalurahan [desa] Palbapang, Kapanewon [kecamatan] Bantul, Kabupaten Bantul. Perempatan ini menghubungkan Jalan KH Wahid Hasyim di utara, Jalan Samas di selatan, Jalan Srandakan di barat, dan Jalan Sultan Agung di timur.

Berjarak sekitar 16 kilometer dari pusat Kota Yogyakarta, Perempatan Palbapang terhitung masih satu garis lurus dengan salah satu jalan penghubung Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul, yakni Jalan Bantul.

Baca Juga: Tak Heran Obama Lahap, Mie Lethek Kuliner Ndeso Khas Bantul Ternyata Seistimewa Ini

Lokasinya pun bisa dibilang cukup strategis dan tak jauh dari pusat kota. Di dekat Perempatan Palbapang, ada Rumah Sakit Khusus Paru Respira. Selain itu, tak jauh dari Perempatan Palbapang ke arah utara, pengendara yang hendak menuju pusat kota akan melewati Puskesmas Bantul 1 dan Koramil Bantul.

Lantas tak jarang, Perempatan Palbapang dilewati berbagai kendaraan dan sehari-hari memang cukup ramai. Namun, dengan letaknya yang sestrategis itu, ternyata Perempatan Palbapang bisa menjadi momok bagi orang-orang dengan kondisi tertentu.

Orang Sakit hingga Pengantin: Mitos Perempatan Palbapang

Di sinilah si mitos berperan besar. Bahkan bukan cuma warga lokal Palbapang, mitos ini menyebar ke hampir seluruh Bantul dan sekitar Yogyakarta. Mereka percaya, ada kekuatan mistis yang bisa memperburuk kondisinya jika melewati Perempatan Palbapang dalam keadaan sakit.

Sesepuh Palbapang juga percaya, perempatan keramat itu seakan punya petugas sekuriti, atau penjaga, yang terkadang jahil menganggu orang lewat, terlebih yang tidak menjaga perilaku.

Saking besarnya kekuatan gaib yang diyakini di Perempatan Palbapang, berkembang cerita tentang pembangunan rumah sakit paru di sana yang sempat tersendat gara-gara kesulitan menanam paku bumi. Seolah-olah ada karet di tanah itu yang membuat paku bumi terasa mental.

Menurut kepercayaan setempat juga, orang yang sedang sakit sebaiknya tak melewati Perempatan Palbapang. Jika nekat, diyakini bahwa mereka akan mengalami malapetaka, yaitu sakit yang diderita bakal makin parah hingga berakhir pada kematian.

Untuk itu, biasanya warga sekitar yang sakit akan memilih untuk melintasi jalan alternatif meskipun mungkin lebih jauh, demi menghindari Perempatan Palbapang. Alasannya tak lain karena sudah pasti mereka ingin segera sembuh dan bukannya "setor nyawa".

Bukan itu saja, pemimpin yang tidak memegang amanah tak lama akan kena batunya setelah melewati Perempatan Palbapang. "Batu"-nya pun tak main-main, yakni meninggal. Bahkan, lurah Palbapang menjadi jabatan yang sakral karena disebut-sebut, yang menduduki posisi tersebut juga akan meninggal begitu melakukan perbuatan yang tidak jujur.

Namun, satu mitos yang paling populer adalah, pengantin melepas ayam di Perempatan Palbapang. Jika lokasi acara pernikahan mengharuskan pengantin melewati simpang empat ini, mereka hanya punya dua pilihan: melempar ayam di situ atau, sama seperti orang sakit, lewat jalan lain.

Mau dari Jalan KH Wahid Hasyim, Jalan Samas, Jalan Srandakan, ataupun Jalan Sultan Agung, pengantin yang bakal melintas di perempatan tak biasa ini sangat sangat sangat dianjurkan untuk melepas ayam di situ.

Jika tidak, dipercaya pernikahan mereka bakal disambar musibah dan--yang paling ditakutkan--bubar. Maka wajar bagi warga setempat jika mereka melihat ada ayam diturunkan di Perempatan Palbapang. Bisa saja dalam sehari dua kali muncul ayam di sana jika saat itu ada dua pasangan yang menikah dan melintas di Perempatan Palbapang.

Bahkan, tak jarang pula bukan hanya ayam yang ditinggalkan di Perempatan Palbapang, tetapi juga sesaji, yang biasanya diletakkan di tugu perempatan. Ritual tersebut dilakukan lagi-lagi demi tolak bala.

Meski begitu, dikabarkan ada pula yang menolak percaya mitos tersebut dan membuktikan sendiri bahwa pernikahan kerabatnya tetap langgeng dan bahagia walaupun di hari mengucap janji suci tidak melempar ayam saat melewati Perempatan Palbapang.

Ayam dan Pernikahan

Soal ayam, hingga kini belum diketahui pasti latar belakang hubungannya dengan pernikahan. Masyarakat Jawa pada umumnya hanya memegang erat adat nenek moyang untuk melakukan ritual melepas ayam saat menikah.

Ilustrasi ayam jantan - (Pixabay/rmac8oppo)

Bahkan bukan cuma di Bantul, DIY, ritual Jawa yang melibatkan ayam dan pernikahan ini juga berlaku di Magelang, Jawa Tengah hingga Malang, Jawa Timur. Perlakuan terhadap ayam itu pun beragam. Ada yang melempar ayam di jembatan atau sungai, dan ada juga sabung ayam.

Beda dari melepas ayam, ritual kejawen sabung ayam umumnya dilakukan sebelum lamaran. Dua ayam jantan yang diadu itu dianggap sebagai perwakilan sifat baik atau buruk masing-masing calon mempelai. Jika salah satu ayam jantan kalah, apalagi dari pihak laki-laki, ia bakal dianggap tak sepadan untuk perempuan yang ingin ia nikahi.

Maka dari itu, jika terjadi kekalahan tersebut, sepasang kekasih ini harus sudah siap mematuhi pakem dan merelakan hubungan asmara mereka jika tak mau bernasib sial. Kendati begitu, tak sedikit juga yang menganggapnya hanya sebagai formalitas dan mengabaikan larangan dengan tetap melangsungkan pernikahan.

Sementara itu, untuk melepas atau "membuang" ayam, selain demi menghindari musibah, sama dengan yang dilakukan di Perempatan Palbapang, ritual ini juga bermakna sebagai bentuk sedekah dari empunya hajatan. Ayam yang dilepas dipercaya tidak mudah terserang penyakit dan biasanya ditangkap warga sekitar sebagai berkah untuk mereka.

Load More