Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Minggu, 03 Oktober 2021 | 08:41 WIB
Mohammad Sulkhi Mubarok menunjukkan olahan salak berbentuk pie bernama Paidjo ditemui wartawan di kediamannya, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Sabtu (2/10/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Laju kendaraan mobilnya melambat ketika melintas di Jalan Turi, Kabupaten Sleman, DI Yogyakarta. Usai memarkirkan kendaraan roda empatnya, pria muda beserta sanak keluarganya mendekat ke bahu jalan dan mendekati pedagang Salak Pondoh yang sudah berjualan sejak siang.

Sambil memilih buah yang masih segar, pria tersebut tak lupa menanyakan harga per kilogram salak asli Kabupaten Sleman ini. Dirinya sempat terkejut ketika pedagang memberikan harga Rp3 ribu per kilogramnya.

Meski terkejut, pria bernama Mohammad Sulkhi Mubarok ini tetap membeli. Saat kembali ke mobil, sekeluarga sempat membahas harga salak yang sangat murah itu per kilogram. Namun hal itu diakui oleh saudaranya memang saat panen harga salak sangat murah. Bahkan petani salak bisa menjual sangat murah hanya Rp1 ribu per kilo.

Sejumlah hasil olahan pie salak yang diciptakan pria di Jogja, Mohammad Sulkhi Mubarok di kediamannya, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Sabtu (2/10/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

“Itu sekitar pergantian tahun 2017 ke 2018 ketika saya masih di Semarang. Saat saya libur, kami memang ingin ke Jogja. Nah ketika melintas di Jalan Turi memang banyak pedagang salak itu. Saya juga miris kepada petani Salak Pondoh jika salak yang mereka budidayakan dihargai sekecil itu,” ujar Mubarok ditemui Suarajogja.id di kediamannya, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Sabtu (2/10/2021).

Baca Juga: Senin Besok, ANBK Jadi Awal Pembelajaran Tatap Muka SMP di Sleman

Melihat kondisi petani salak yang tiap panen hanya mendapat sedikit laba, pria 35 tahun ini berinisiatif untuk memberdayakan petani. Dimana Salak Pondoh yang merupakan buah khas Sleman bisa bernilai lebih tinggi dengan inovasi pengolahan buah salak menjadi pie.

Sebelum memulai rencananya, Mubarok juga kerap berdiskusi dengan para petani salak di Sleman. Dari cerita yang ia dapat, memang sebelumnya Salak Pondoh bernilai tinggi dibanding beras. Namun beralihnya zaman, harga salak turun drastis sampai Rp1 ribu. Bahkan dari tengkulak saja, harganya sekitar Rp2 ribu.

“Saya juga mendapat cerita itu dari petani langsung, eman-eman (sayang) juga jika buah khas Jogja ini malah petaninya tidak berdaya,” ujar dia mengingat saat pertama kali bertemu para petani di wilayah Turi, Sleman.

Bahkan, kata Mubarok, anak-anak petani dan sejumlah petani lainnya nampak pesimistis dengan masa depan buah Salak khas Sleman ini. Salah satu cerita yang ia dengar, ketika seorang petani memberikan lahan untuk ditanami tumbuhan, anak-anak petani ini memilih menanam buah lain yang lebih menguntungkan.

“Saya bilang, jangan diganti buahnya, tetap saja ditanami salak nanti kita bersama-sama membangun nilai dari olahan salak itu. Jika nanti memang benar-benar tidak menanam salak, otomatis Sleman sudah tidak punya buah khasnya kan, sayang sebenarnya,” terang dia. 

Baca Juga: Bupati Sleman Minta Tambahan Vaksin Untuk Mahasiswa Luar Daerah

Kisahnya pun berlanjut. Perlu waktu cukup lama untuk merealisasikan visinya menjadikan Salak Pondoh bernilai lebih tinggi. Setahun kemudian pada 2019 Mubarok berkunjung  ke Malang. Dia melihat olahan makanan strudel di Kota Malang dengan bahan utamanya adalah apel hijau.

“Saya melihat kok bisa ya olahan strudel ini dibuat dengan bahan baku apel hijau, padahal dulu buah ini harga pasarannya di petani sangat rendah. Ketika diolah bisa bernilai tinggi.  Nah dari situ akhirnya timbul ide untuk mengolah salak yang dihargai murah menjadi punya nilai tinggi,” kata mantan ASN yang bertugas di Jawa Tengah itu.

Tak hanya sendiri dirinya membuat pie salak, Mubarok mengajak temannya yang memahami tata boga untuk membuat olahan tersebut. Pada Januari 2021, ia menciptakan olahan salak bernama Paidjo.

“Saya tawarkan dulu ke teman-teman, bagaimana rasanya, enak atau tidak, seperti itu. Lalu empat bulan kemudian sekitar April 2021 baru kami jual secara online dengan nama Pie Salak Jogja atau disingkat Paidjo,” terang dia.

Pemilihan pie sendiri juga tidak serta-merta ia pilih. Pie merupakan makanan dari luar negeri yang cukup bernilai. Sehingga harapannya salak ini menjadi bernilai dengan inovasi makanan yang dia kembangkan. 

Membangun bisnis pie tersebut, tak melulu berjalan mulus. Apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19 saat ini. Mubarok tak menampik bahwa produksinya di bulan Agustus sempat tersendat.

“Omzetnya turun, produksi juga dikurangi. Tapi Agustus itu saya tetap membuat sesuai orderan yang masuk,” katanya.

Bertahan dengan PPKM dan sedikitnya wisatawan, usahanya sedikit mendapat angin segar saat ada penurunan kasus Covid-19 sekitar awal September 2021. Meski tidak ada wisatawan, promosi lewat media sosial membuahkan hasil. Permintaan pelanggan cukup meningkat. Dirinya sempat menerima pesanan hingga keluar Jawa, dari Bandar Lampung, Jambi, Bengkulu, Palangkaraya.

Sejalan dengan visinya untuk menjadikan petani salak di Sleman lebih berdaya, Mubarok juga sudah mengenalkan olahan makanannya ke dinas-dinas di Kabupaten Sleman dan DIY.

“Saya juga sounding ke pemerintah, bahwa di Sleman ini ada buah salak yang perlu dikenalkan oleh banyak orang. Artinya promosi ini bisa menjadi langkah meningkatkan kualitas buah salak lebih bernilai. Jangan sampai petani salak diabaikan dan tidak ada lagi penerusnya,” terang Mubarok.

Tidak hanya berhenti pada pemberdayaan petani salak. Dirinya juga berharap salak di Jogja menjadi buah tangan bagi wisatawan yang datang.

Mohammad Sulkhi Mubarok menunjukkan olahan salak berbentuk pie bernama Paidjo ditemui wartawan di kediamannya, Sinduharjo, Ngaglik, Sleman, Sabtu (2/10/2021). [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

“Jadi ada opsi lain selain bakpia. Jogja terutama di Sleman kan punya salak, maka buah atau olahan salak ini bisa menjadi salah satu oleh-oleh khas Jogja ke depan,” terang Mubarok.

Usaha Paidjo miliknya masih terdaftar sebagai UMKM. Dalam sehari dirinya bisa membuat 15-20 pcs pie salak.

Selain pie salak, ada varian pie lainnya yang ditawarkan, seperti pie pisang almond dengan taburan keju, ada juga pie nanas. Mubarok menjual dengan harga mulai Rp45-49 ribu.

“Ya sekarang masih home industri, saya optimistis usaha ini bisa menjadi besar. Memang perlu lebih banyak daya serap Salak untuk produksinya. Tapi saya yakin ini bisa berkembang karena tujuannya memang baik ke depan karena untuk mendukung kearifan lokal juga,” ujar Mubarok.

Load More