Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 26 November 2021 | 16:15 WIB
Ilustrasi kekerasan seksual (Shutterstock).

SuaraJogja.id - Persoalan tindak kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh mahasiswa Magister UGM, masih terus bergulir. 

Kendati demikian, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Protokol Universitas Gadjah Mada Iva Ariani menyebut sampai saat ini masih belum ada laporan dari tim yang dibentuk Fakultas Ilmu Budaya kepada pimpinan universitas. 

Iva tidak dapat berkomentar lebih jauh mengenai belum ada laporan tersebut, pasalnya ia tak termasuk ke dalam tim etik fakultas. Namun ia tak membantah, saat ditanyakan kemungkinan adanya lini masa yang diberikan kepada tim dalam menyikapi dugaan kekerasan seksual tersebut.

"Tim etik pada umumnya diberi waktu tiga bulan maksimal. Nanti setelah itu dikaji lagi apakah perlu perpanjangan," ungkapnya, Jumat (26/11/2021).

Baca Juga: Masyarakat Sipil Sebut Kasus Kekerasan Seksual di Calon Ibu Kota Baru Terus Meningkat

Laporan hasil dari pendalaman yang dilakukan tim etik, nantinya dikirimkan ke universitas. Isinya mencakup kasus yang disangkakan, lokasi kejadian, siapa penyintasnya dan sebagainya. Tujuannya untuk membuktikan benar tidaknya terjadi seperti dituduhkan kepada terduga pelaku.

Ia menegaskan, UGM akan menindak tegas seluruh civitas akademika yang memang terbukti melakukan pelanggaran sesuai peraturan yang berlaku. 

Sebelumnya diberitakan, seorang mahasiswa Prodi S2 Ilmu Sejarah, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM berinisial AS, diduga melakukan pelecehan seksual kepada seorang rekannya. 

Kabar tersebut muncul di media sosial Twitter, tepatnya dalam akun Laskar Mahasiswa Republik Indonesia @LAMRISURABAYA, kabar diunggah pada 1 November 2021, petang.

Dalam unggahan tersebut tertulis informasi mengenai pemberhentian anggota berinisial AS itu, dilakukan pada 2 Maret 2018 silam.

Baca Juga: Kemensos Dampingi Korban Kekerasan Seksual saat Bersaksi kepada Polisi

"Dikeluarkannya yang bersangkutan, terkait dengan adanya laporan kepada LAMRI, mengenai tindakan kekerasan seksual yang dilakukan yang bersangkutan kepada sedikitnya dua orang korbannya," demikian diunggah dalam akun itu, disertai rangkaian kronologi kejadian sebagai sebuah utas.

Saat dikonfirmasi ke pihak kampus, Ketua Prodi S2 Ilmu Sejarah, Departemen Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya UGM Farabi Fakih mengatakan persoalan ini sudah dibawa ke level fakultas serta universitas dan segera diproses secara internal, dibantu pihak fakultas dan universitas.

"Ini masih dalam proses," kata dia, lewat pesan singkat.

"Fakultas sudah melaporkan ke ULT. Kami sedang menunggu untuk proses lebih lanjut," tambahnya.

Di kesempatan sama, Farabi membenarkan bahwa proses penanganan dugaan ini akan merujuk pula pada Peraturan Rektor UGM No.1/2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.

Selain itu, ia membenarkan yang bersangkutan merupakan mahasiswa dalam program studi yang ia pimpin.

"Masih menjadi mahasiswa aktif prodi Magister Ilmu Sejarah. Posisi kami adalah, bahwa segala bentuk kekerasan baik seksual maupun lainnya tidak bisa ditolerir oleh prodi dan departemen sejarah UGM," tegasnya.

Pihaknya akan melakukan langkah-langkah sesuai prosedur universitas.

Kala ditanya mengenai sanksi yang akan ditetapkan kepada pelaku, bila terbukti tuduhan yang dilayangkan itu adalah benar, Farabi belum dapat memberikan jawaban gamblang.

"Itu ditentukan berdasarkan hasil penelusuran," tandasnya.

Sanksi berat pelaku kekerasan seksual

Bila mencermati Peraturan Rektor UGM No.1/2020 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Oleh Masyarakat Universitas Gadjah Mada, di dalamnya dirinci mengenai definisi kekerasan seksual, pelayanan terhadap korban dan penanganan terhadap pelaku.

Pelayanan terhadap korban diberikan oleh UGM dalam berbagai bentuk. Misalnya saja salah satu, di sana dicantumkan perihal pelayanan awal diberikan kepada korban paling lambat 3 x 24 jam sejak ULT menerima laporan dugaan tindak Kekerasan Seksual.

Usai laporan di ULT, maka langkah penindakan diawali dengan sejumlah tahap. Termasuk di dalamnya memanggil korban dan terduga pelaku dalam sidang komisi etik.

Komisi Etik akan menetapkan keputusan serta langkah berikutnya. Dalam Pasal 22 peraturan itu disebutkan "Dalam hal pemberian rekomendasi oleh Komite Etik berupa sanksi bagi Pelaku yang berstatus Mahasiswa, maka penjatuhan sanksi dilaksanakan berdasarkan Peraturan Rektor tentang Tata Perilaku Mahasiswa".

Apabila dugaan tidak terbukti, maka terduga pelaku berhak mendapatkan pemulihan nama baik dan ganti rugi atas biaya yang dikeluarkan akibat proses penindakan terhadap dirinya.

Selanjutnya, merujuk Peraturan Rektor UGM No.71/P/SK/HT/2013 tentang Tata Perilaku Mahasiswa Universitas Gadjah Mada, di Pasal 5 poin m disebutkan, setiap mahasiswa UGM dilarang melakukan perbuatan asusila. Poin-poin sebelumnya menyebutkan, mahasiswa dilarang melakukan tindakan yang mencoreng nama baik kampus maupun universitas.

Hanya saja di pasal ini, tak ada pemilahan pelanggaran yang dilakukan mahasiswa dengan membaginya dalam sejumlah kategori. Misalnya, tak ditulis dengan terang tindakan asusila masuk dalam jenis pelanggaran ringan, sedang, berat. Demikian juga perihal larangan 'mencoreng nama baik universitas'.

Sedangkan dalam Bab VII Pasal 22 yang mengatur sanksi bagi pelanggar aturan Tata Perilaku Mahasiswa UGM, jenis-jenis sanksi yang bakal diterima oleh pelanggar dipilah menjadi ringan, sedang dan berat.

 "Sanksi berat sebagaimana dimaksud ayat 1 huruf c, yaitu diberhentikan secara tidak hormat sebagai mahasiswa", tulis aturan tersebut dalam pasal penjelas sanksi berat.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More