Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Jum'at, 22 April 2022 | 17:32 WIB
Ilustrasi kejahatan jalanan. [istimewa]

SuaraJogja.id - Melihat fenomena kejahatan jalanan remaja yang masih terjadi, Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah V Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memandang perlu untuk setiap elemen masyarakat untuk berkontribusi dan berupaya dalam penanganan kasus kejahatan jalanan remaja yang terjadi. 

Ketua APTISI DIY Prof Fathul Wahid mengungkap, dari kelompok masyarakat perlu adanya penguatan lingkungan dan norma sosial yang kondusif, termasuk institusi keagamaan, seperti masjid dan gereja. 

"Berikutnya, penggunaan pendekatan yang mengedepankan nilai psikologis pelaku serta penghindaran penggunaan istilah klithih untuk merujuk kenakalan atau kejahatan jalanan remaja. Supaya istilah klithih kembali menyandang arti aslinya, yaitu aktivitas seseorang atau sekelompok orang di luar rumah," ungkapnya, dalam policy brief APTISI DIY.

Beragam perubahan kondisi sosial di wilayah, salah satunya perkotaan akan berdampak kuat terhadap perkembangan psikologis remaja, lanjut dia. Kondisi tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung akan menjadi pemicu motivasi kekerasan jalanan remaja. Motivasi tersebut berakar dari dorongan, kebutuhan, dan motif yang muncul dari kondisi sosial yang mempengaruhi para remaja, yang kemudian menciptakan standar atau hambatan upaya dalam mencapainya.

Baca Juga: Tanggulangi Kejahatan Jalanan, Pemkab Bantul Keluarkan Surat Edaran Bersama

"Hal ini pada akhirnya akan menimbulkan rasa frustasi yang kemudian dapat mengarah ke agresi. Selanjutnya direfleksikan dalam perilaku kekerasan jalanan yang dilakukan oleh para remaja tersebut," tuturnya.

Perspektif psikologis juga menegaskan bahwa pelaku kejahatan remaja telah mengarah ke gangguan psikologis, misal kepribadian anti sosial, reaksi simptom khusus, atau bahkan gangguan neurotik (kecemasan) yang menyebabkan perilaku kejahatan tersebut dilakukan.

APTISI DIY juga mendorong adanya pelaporan setiap potensi gangguan ketertiban publik kepada aparat untuk segera mendapatkan respons. 

Bagi pemerintah daerah, APTISI merekomendasikan adanya perluasan ruang publik untuk berekspresi secara proporsional; penciptaan ruang lindung budaya dengan membuka panggung kreativitas dan ekspresi seni budaya; memperbanyak ruang perjumpaan warga serta penguatan koordinasi antar lembaga pemerintah terkait untuk penanganan kasus kejahatan jalanan.

"Untuk aparat keamanan, hendaknya melaksanakan koordinasi secara luas dengan pihak pemerintah dan masyarakat, guna mengakomodasi ruang publik untuk berekspresi secara proporsional," ucapnya. 

Baca Juga: Bisa Tingkatkan Kesejahteraan Psikologis, 5 Alasan Penting Harus Punya Teman

Diperlukan pula penguatan peran bintara pembina desa (babinsa) dalam memantau lapangan dan bekerja sama dengan beragam pihak, termasuk pemerintah desa, sekolah, dan kampus. Selain itu, penertiban secara konsisten kegaduhan yang diakibatkan oleh suara kendaraan bermotor yang mengganggu ketenangan umum serta memicu konflik.

"Lakukan pemetaan potensi kenakalan remaja berbasis wilayah, seperti merah, oranye, kuning, hijau. Untuk memudahkan pemantauan dan penanganan," terangnya. 

Terhadap institusi pendidikan, APTISI DIY merekomendasikan ada upaya penguatan sekolah, agar menjadi institusi pendidikan ramah anak; penutupan ruang untuk tumbuh dan berkembangnya geng berbasis sekolah; penguatan pemahaman tata nilai-nilai budaya Yogyakarta di perguruan tinggi, di mana budaya lokal menjadi basis pendidikan karakter bagi generasi muda.

"Perguruan tinggi dalam mengadakan kegiatan pengabdian kepada masyarakat, melibatkan pelajar atau remaja dengan kegiatan positif," tambahnya.

Tak kalah penting, peran keluarga juga harus ditonjolkan sebagai upaya pencegahan dan penanganan kenakalan remaja ini. Sehingga, perlu adanya upaya pengembalian fungsi sosial keluarga dan ketahanan keluarga; pencegahan kekerasan dari orang tua terhadap anak; penguatan komunikasi di dalam keluarga dalam memenuhi berbagai kebutuhan bagi anak. 

"Seperti kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta dan memiliki, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri," sambungnya. 

Keluarga perlu lebih terbuka untuk bekerja sama bersama aparat maupun pemerintah, untuk mendorong rehabilitasi ataupun solusi lainnya apabila terdapat anggota keluarga yang terlibat kejahatan jalanan sehingga penanganan dapat lebih cepat dilakukan.

Ia menyebut, ada beberapa perspektif penting yang perlu dikaji untuk dapat merumuskan solusi yang tepat dan berkelanjutan. Antara lain perspektif psikologis, sosial, keamanan, dan kepemerintahan, mengingat fenomena kekerasan jalanan remaja bukanlah hal baru yang terjadi di tengah masyarakat.

"Permasalahan ini menjadi semakin serius dibicarakan ketika berkepanjangan dan jumlah korban yang terus meningkat. Maka, yang perlu
menjadi perhatian bukan hanya upaya penanganan kasus, tetapi juga melihat lebih dalam pada akar permasalahan ini," terangnya. 

Kepala Dinas Sosial DIY Endang Patmintarsih mengatakan, 98% penyebab kenakalan remaja berasal dari keluarga. Menurut Endang, kondisi keluarga yang tidak ideal merupakan akar masalah dari kejahatan jalanan remaja yang terjadi. Bisa disebabkan karena orang tua berpisah, kurang memperhatikan anak, atau bekerja di luar kota dan jarang bertemu anak. 

Dalam menyikapi fenomena kejahatan jalanan remaja, Dinas Sosial telah melakukan kebijakan penanganan kenakalan remaja dan anak berhadapan dengan hukum yang dikelompokkan ke dalam tiga hal, yaitu preventif, kuratif, dan rehabilitatif.

Langkah preventif meliputi sosialisasi dan koordinasi serta penguatan ketahanan keluarga. Kuratif meliputi perubahan lingkungan, peran psikolog, serta lembaga konseling. Sementara rehabilitatif dilakukan dengan melibatkan Balai Perlindungan dan Rehabilitasi Sosial Remaja serta Balai Rehabilitasi Sosial dan Pengasuhan Anak.

Kontributor : Uli Febriarni

Load More