"Kalau menurut saya, kondisi Musa [nama anak dari temannya] lebih parah dari Pika ya. Sudah belasan tahun tapi badannya masih kecil, kaku-kaku, jadi secara kondisi lebih berat almarhum Musa. Tapi kondisi menjadi baik perkembangannya sangat menggembirakan," kata dia.
Santi menuturkan, kendati beberapa negara sudah ada yang melegalkan ganja untuk keperluan medis dan terapi pengobatan, Santi tak bisa begitu saja membawa Pika ke negara tersebut.
Selain berbiaya tinggi, tak mudah membawa anak dengan cerebral palsy ke luar negeri. Terlebih ia di negara tersebut bukan hanya sehari atau dua hari.
Bahkan, sebagai istri dari seorang seniman lukis dan airbrush yang tak punya pendapatan tetap, keuangan Santi semakin tak mudah dengan fakta bahwa ia harus berhenti bekerja demi menjaga Pika.
Baca Juga: Menkes: Regulasi Ganja Medis Sebentar Lagi Keluar!
Sebagai orang Bali yang kini berdiam di Jogja, Santi belum pernah mendapat kesempatan untuk berdiskusi dengan akademisi maupun kenalan yang paham betul soal penggunaan ganja medis sebagai alternatif pengobatan cerebral palsy.
"Saya mau konsul ke dokternya Pika juga belum berani, saya belum siap melihat respon beliau. Saya takutnya mendapatkan respon yang tidak baik dan saya malah down sendiri gitu," terangnya.
Menanggapi suara lantang Santi, sejumlah pihak mewanti-wanti efek buruk adanya potensi penyalahgunaan ganja di Indonesia. Ia kemudian mengajak sejumlah pihak untuk melihat pisau.
"Kalau yang pegang pisau itu saya, kan saya pakai masak, kalau yang megang penjahat dipakai apa? Jadi untuk pengawasan kan bukan ranah saya," tuturnya.
"Ada penegak hukum, aparat hukum, nah itu yang berkompeten, misal diputuskan kan pasti ada aturan untuk pemakaiannya harus terawasi dan sebagainya. Sampai sekarang, tidak legal juga tetap disalahgunakan to?," tegasnya.
Baca Juga: Respon Harapan Ma'ruf Amin, MUI Masih Kaji Pemanfaatan Ganja Medis dari Perspektif Keagamaan
"Aparat hukum harus diperbaiki, itu bukan ranah saya untuk hal ini," harap Santi lagi.
Bilapun pada akhirnya ganja dilegalkan untuk kebutuhan medis, di Indonesia, sudah pasti ada petunjuk pelaksanaannya. Ada pihak yang berwenang dan berkompeten dalam keilmuwan.
"Saya kan butuhnya untuk medis, bukan rekreasi. Orang itu kadang phobia duluan . Negative thinking duluan, padahal bisa seperti obat pada umumnya ada resep dari dokter, ada aturannya," tukas Santi.
Kontributor : Uli Febriarni
Berita Terkait
Terpopuler
- Terpopuler Sepak Bola: 9 Pemain Dicoret, Timnas Indonesia Gak Layak Lolos Piala Dunia 2026
- 7 Mobil Bekas Senyaman Innova: Murah tapi Nggak Pasaran, Mulai Rp70 Jutaan, Lengkap dengan Pajak
- 9 Mobil Bekas Murah Tahun Muda di Bawah Rp100 Juta, Kabin Nyaman Muat 8 Penumpang
- 5 Moisturizer Lokal Terbaik 2025, Anti Mahal Kualitas Setara Brand Internasional
- 10 Rekomendasi Mobil Bekas Budget Rp50 Jutaan, Irit Bahan Bakar dan Performa Oke!
Pilihan
-
7 Rekomendasi HP Murah Rp 1 Jutaan Memori 256 GB, Terbaik Juni 2025
-
5 Rekomendasi Body Lotion Super Murah Mulai Rp13 Ribuan, Gercep Atasi Kulit Kering
-
Winger yang Diabaikan Lionel Scaloni Segara Bela Malaysia, FAM Bayar Berapa?
-
Jejak Brutal Bek Naturalisasi Malaysia Facundo Garces: Saya Bukan Orang Gila
-
4 Rekomendasi Sepatu Lari Mills Cocok untuk Long Run, Nyaman sampai Finish
Terkini
-
Bantul Targetkan Bebaskan 330 Hektare dari Kumuh: Ini Strategi Ambisiusnya di 2026
-
AirNav Indonesia Prediksi Tak Ada Lonjakan Penumpang Pesawat saat Libur Idul Adha
-
6 Juni 2025 Idul Adha Serentak, MUI DIY Ingatkan Soal Takbir Tertib dan Solidaritas Sosial
-
TKP ABA Tutup: Pedagang & Jukir Terancam di Menara Kopi? Akses Sulit, Lahan Sempit Jadi Sorotan
-
Dari Ledakan Amunisi hingga Pengamanan Kejaksaan, Pakar UGM Soroti Soal Disiplin dan Pengawasan TNI