SuaraJogja.id - Seruan kepada aktivis masyarakat untuk melakukan pembangkangan sipil dituangkan dalam pernyataan sikap yang dibacakan oleh Universitas Islam Indonesia (UII). Rektor UII, Fathul Wahid menyatakan bahwa pembangkangan sipil harus dilakukan dengan cara yang bermartabat.
"Pembangkangan sipil dalam bahasa inggris civil disobedience adalah satu cara publik masyarakat tidak mentaati pemerintah ketika apa yang digariskan, diperintahkan, diprogramkan dalam kebijakannya tidak sesuai dengan rel konstitusi, tidak sesuai dengan hati nurani, melanggar etika, membangkangi norma dan lain-lain. Jadi pembangkangan sipil harus dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat," kata Fathul ditemui di UII, Kamis (14/3/2024) siang.
Bukan semata-mata melakukan pembangkangan begitu saja. Fathul menuturkan bahwa pembangkangan sipil itu bertujuan untuk memberi pesan kepada pemerintah.
Bahwa dalam menjalankan kekuasaannya timbul atau ada masalah besar yang muncul. Sehingga harus diperhatikan dengan lebih serius lagi.
"Memberikan pesan bahwa ada masalah besar dan semoga pesan itu menjadi pemantik untuk mengubah kebijakan kembali kepada etika, kembali kepada konstitusi dan menempatkan rakyat pada pemegang kedaulatan rakyat tertinggi," tegasnya.
Ada banyak upaya ril yang bisa dilakukan dalam proses pembangkangan sipil tersebut. Misalnya saat ada sejumlah program dari pemerintah yang dianggap tidak memberikan kesejahteraan pada rakyat maka hal itu perlu dilakukan.
"Program yang katakanlah kita anggap tidak masuk akal, tidak pro kepada kesejahteraan, pro kepada oligarki, kita bisa kritisi. Kita bisa beri peringatan supaya kembali, bahwa rakyat harus dimuliakan, suara rakyat harus didengarkan, dan jangan sampai rakyat dimanipulasi," ujarnya.
Ketika disinggung untuk lebih jauh apakah akan ikut dalam upaya melengserkan Presiden Jokowi, kata Fathul, pihaknya akan menunggu proses yang berlangsung nanti. Mekanisme konstitusional harus diutamakan dalam hal ini.
"Kita lihat bagaimana nanti DPR bersidang, karena itu ada mekanisme konstitusionalnya. Jadi kita berharap mekanisme konstitusional tetap menjadi pilihan pertama," tuturnya.
Dalam pernyataan sikap yang bertajuk Kematian Demokrasi di Indonesia itu, UII menyampaikan sejumlah tuntutan.
Pertama menuntut seluruh penyelenggara negara untuk menjunjung tinggi etika berbangsa dan bernegara, menghormati hak dan kebebasan warga negara, dan mengembalikan prinsip independensi peradilan.
Kedua, mengingatkan pejabat negara bahwa mereka memiliki tugas konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa demi tercapainya masyarakat yang sejahtera, beradab, adil, dan makmur.
Ketiga, mendorong partai politik untuk menjaga independensinya. Sehingga berdaya dalam menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dan mampu menjalankan perannya untuk membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Keempat mendesak partai politik yang kalah dalam pilpres 2024 ini untuk menjadi oposisi penyeimbang yang berpegang teguh pada etika berbangsa dan bernegara," cetusnya.
Serta tidak lupa menjunjung tinggi Konstitusi dan hak-hak asasi manusia. Salah satunya dengan menggunakan hak angket dan mencari langkah politik dan hukum lainnya sebagai penghukuman terhadap Presiden Jokowi yang terbukti mengkhianati Reformasi 1998 dan telah melakukan praktik korupsi kekuasaan secara terbuka.
Kelima mengajak seluruh elemen masyarakat untuk kembali sadar dengan memboikot partai politik yang menjelma menjadi penghamba kekuasaan dan uang. Belum lagi mereka yang terang-terangan mengkhianati tugas utamanya sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Keenam, meminta lembaga-lembaga negara sesuai tugasnya seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) untuk mengusut semua kecurangan pemilu. Termasuk yang dilakukan Presiden Jokowi, pada masa sebelum, ketika, dan sesudah pemungutan suara.
"Pemilu harus menjadi sarana menghasilkan pemerintahan yang absah (legitimate)," ujarnya.
Ketujuh, menyerukan kepada aktivis masyarakat sipil untuk melakukan pembangkangan sipil dan menolak menjadi bagian dari kekuasaan yang direbut dengan berbagai muslihat tuna etika.
"Secara khusus, kami menyeru para tokoh kritis nasional untuk bersatu dan membuat oposisi permanen melawan rezim politik dinasti yang menjadi predator pemangsa dan pembunuh demokrasi di Indonesia," tuturnya.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
3 Rekomendasi HP 1 Jutaan Baterai Besar Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Menkeu Purbaya Pernah Minta Pertamina Bikin 7 Kilang Baru, Bukan Justru Dibakar
-
Dapur MBG di Agam Dihentikan Sementara, Buntut Puluhan Pelajar Diduga Keracunan Makanan!
-
Omongan Menkeu Purbaya Terbukti? Kilang Pertamina di Dumai Langsung Terbakar
-
Harga Emas Antam Terpeleset Jatuh, Kini Dibanderol Rp 2.235.000 per Gram
Terkini
-
Pejabat Jadi Tersangka Korupsi Internet, Bupati Sleman Siap Rombak Staf Ahli
-
Desakan Kembalikan Rampasan 'Geger Sapehi' British Library Mulai Bagikan Akses Data
-
Gunung Merapi Luncurkan Awan Panas, Sejumlah Wilayah di Sleman Alami Hujan Abu
-
Aktivitas Merapi Meningkat: Awan Panas Sejauh 2 KM, BPPTKG: Masyarakat Jangan Panik, Tapi...
-
Setelah Pembatasan Gagal, Jogja Ambil Langkah Ekstrem: Larang Total Kantong Plastik Sekali Pakai