Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora
Kamis, 04 Juli 2024 | 15:31 WIB
Pengunjung melihat lukisan Tutur Jatiluwih karya Putu Winata di KKF Yogyakarta, Rabu (3/7/2024). [Kontributor Suarajogja.id/Putu]

SuaraJogja.id - Maraknya pembangunan hotel maupun beach club di Yogyakarta dikhawatirkan banyak pihak bisa merusak ekologi air. Padahal saat ini banyak warga yang mengalami kekeringan dan kekurangan air, termasuk untuk irigasi pertanian.

Yogyakarta mestinya bisa belajar dari Jatiluwih di Kabupaten Tabanan, Bali. Dalam gambaran pelukis asal Bali, Putu Winata, desa yang terkenal dengan sistem irigasi pertanian subak itu berhasil ditetapkan menjadi warisan budaya UNESCO karena mampu memenuhi kebutuhan air dan irigasi pertanian mereka melalui organisasi pengairan subak.

"Mereka [warga Jatiluwih] menerapkan kegiatan spiritual dalam menjalankan subak untuk pertanian sekaligus menjaga ekologi air. Gambaran konsep subak dan ekologi air ini saya sampaikan lewat 12 lukisan tentang Jatiluwih bagi warga jogja," papar Putu di Kedai Kebun Forum (KKF) Yogyakarta, dikutip Kamis (4/7/2024) petang.

Putu menyatakan, tak melulu hal positif yang bisa diambil dari konsep subak dalam menjaga ekologi air yang bisa dicontoh warga ataupun pengambil kebijakan di Yogyakarta. Dampak pariwisata Subak yang mengundang banyak wisatawan ke Jatiluwih ternyata memiliki sisi gelap.

Baca Juga: DIY Jadi Provinsi Termiskin di Pulau Jawa, DPRD Desak Jumlah BLT Diperbanyak

Bilamana tidak, banyak konsep Subak membuat petani hanya bisa memanen padi dua kali dalam setahun. Selebihnya mereka harus mencari mata pencaharian lain seperti membuka kedai kopi untuk wisatawan di kawasan tersebut.

"Petani yang butuh penghasilan lain akhirnya membuka kedai kopi dan tempat untuk turis. Padahal sesuai aturan UNESCO, kelestarian lingkungan subak harus dijaga, bila tidak maka stempel warisan dunia akan dicabut. Ini menjadi pembelajaran bila sektor pariwisata mestinya tidak merusak kelestarian lingkungan. Sisi gelap ini juga coba saya gambarkan melalui warna-warna gelap dalam lukisan," tandasnya.

Putu berharap pameran lukisan abstrak kali ini menggugah kesadaran banyak pihak untuk memiliki kepedulian menjaga ekologi air. Pariwisata sah-sah saja dikembangkan secara optimal, namun kelestarian lingkungan mestinya juga diperhatikan.

Sebab permasalahan serupa bisa saja terjadi di Yogyakarta. Pemerintah daerah yang hanya memperhatikan pengembangan sektor pariwisata bisa saja merusak ekologi air atau dampak lain seperti darurat sampah bila tidak memperhatikan kelestarian lingkungan.

"Mungkin dengan pameran ini kita coba membuat kondisi yang aware pada pemerintah [dalam mengelola] pariwisata. Sekarang bagaimana kesadaran kita semua untuk menyinkronkan sistem ekologi yang baik dengan pembangunan berkarakter lingkungan," ungkapnya.

Baca Juga: Janji Tiga Hari Atasi Sampah Tak Terealisasi, Pemda DIY Desak Pemkot Buka TPS3R

Sementara Novita Riatno dari NR Manajemen mengungkapkan, pihaknya sengaja mengusung Putu Winata dalam pameran seni "Tutur Jatiluwih" yang berlangsung hingga 10 Juli 2024 ini untuk menggambarkan fenomena alam dan lanskap yang mengabaikan aturan realisme dan perspektif. Sehingga karyanya membiarkan alam tumbuh dan meluas di luar kanvas.

"Lebih dari sekadar potret lanskap, lukisannya adalah bentuk dinamis kehidupan dengan segala kemungkinan. Karya-karyanya mengekspresikan keindahan dan keagungan alam dengan cara yang unik dan otentik," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More