Scroll untuk membaca artikel
Galih Priatmojo
Sabtu, 03 Agustus 2024 | 12:21 WIB
Mbah Sarno, pejuang Indonesia asal Gunungkidul yang kini hidup miris. [Kontributor/Julianto]

SuaraJogja.id - Nasib Mbah Sarno (84) warga Padukuhan Susukan 2, Kalurahan Genjahan, Kapanewon Ponjong Kabupaten Gunungkidul bisa dibilang jauh kata layak. Sosok yang masa mudanya dihabiskan berjuang untuk membela kesatuan Republik Indonesia itu, kini nyatanya juga masih harus berjuang untuk bertahan hidup

Untuk sekadar berteduh, Mbah Sarno terpaksa harus tinggal di rumah yang sebenarnya hanyalah bekas kandang ayam. Tinggal sebatang kara usai istrinya meninggal beberapa tahun lalu membuatnya semakin nelangsa. 

Rumah kecil yang ia huni hanya berbahan dari anyaman bambu atau gedhek dan berlantai tanah, begitu sederhana. Masuk ke dalam rumah, tak ada perabot yang mencolok di dalamnya.

Hanya terpasang sejumlah kalender dari tahun ke tahun  yang berjejer. Di atas lemari bersandar foto mantan Presiden RI Megawati Soekarnoputri. Lalu di dekat letak almari itu tampak sebuah televisi lawas yang terpajang, namun tak bisa dinyalakan karena rusak.

Baca Juga: Sering Hadiri Kegiatan Partai Lain, PKB Gunungkidul Belum Tentukan Sikap Dalam Pilkada 2024

Sebagai hiburan menemani kesepiannya, Mbah Sarno kerap menyalakan radio jadul miliknya. Hari itu, terdengar sayup-sayup siaran dari salah satu frekuensi radio. Tak ada ruang tamu di rumah mungil tersebut, saat masuk langsung disambut sebuah dipan atau tempat tidur yang beralas tipis. 

Untuk sekadar makan, Mbah Sarno hanya bisa mengharapkan uluran tangan dari tetangga ataupun yayasan yang peduli dengan nasibnya. Terlebih, bantuan pangan dari pemerintah. Sementara, Bantuan Langsung Tunai atau BLT urung sekalipun dicicip. 

"untuk makan saya dikirim oleh para tetangga kemudian beberapa bulan terakhir ada bantuan makanan 2 boks setiap harinya. Bantuan pemerintah seperti BLT dan lainnya itu saya tidak dapat," beber Sarno.

Sesekali dia memandangi belasan atribut pakaian tentara yang sengaja ditempel di dinding anyaman bambu yang dilapisi dengan kertas. Pandangannya pun melanglang buana kembali mengingat masa muda ketika berjuang membela bangsa dan negara Indonesia. 

Mbah Sarno bercerita, sekitar tahun 60-an turut bergabung dalam kelompok anggota militer sukarela. Terhitung ia 9 tahun lamanya berada dalam kelompok anggota militer sukarela tersebut.

Baca Juga: Diduga Cabuli 10 Muridnya, Oknum Guru Ngaji di Gunungkidul Akhirnya Ditetapkan Sebagai Tersangka

Ia kemudian menunjukkan surat tanda penghargaan 'Satya Lenjana Wira Dharma' yang masih tersimpan rapi di tumpukan baju almarinya. Terlihat, surat tersebut  ditandatangani Menteri Koordinator keamanan dan pertahanan/keamanan Kepala staf angkatan Bersendjata kala itu, A.H. Nasution. 

Dalam surat tertanggal 26 Maret 1966 itu tertulis Sarno berpangkat Prajurit Satu (Pratu). Surat itu menjadi bukti dirinya pernah berjuang dari tahun 1960 menumpas DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di Jawa Barat. 

"Kemudian yang kedua di Sumatera pemberantasan PRRI," ucap Sarno.

Tak hanya itu, dia turut berjuang memberantas Kahar Muzakar di Sulawesi, terlibat dalam operasi Trikora merebut Irian Barat (Trikora) dan kemudian di tahun 1964 ia diberangkatkan ke Kalimantan.

Baru di tahun 1966 sampai 1967 ia ikut pembersihan G30S, dan disiagakan untuk operasi Timor timor (Timor Leste). Akhirnya di tahun 1969 ia selesai menjadi militer sukarela.  

"Kala itu, saya dapat bintang sewindu," kata dia.

Pada saat itu, beberapa rekannya melanjutkan karier kemiliterannya. Sementara Sarno tidak, padahal dirinya pada saat kemiliteran mmenyandang predikat wakil komandan. Perjuangannya selama 9 tahun, justru tak berpengaruh pada kariernya yang cemerlang.

Sayang, selepas tugas militer suka rela selesai tak ada pengakuan sebagai pejuang atau veteran yang ia sandang hingga sekarang. Dia kemudian menggantungkan hidupnya dengan menjadi keamanan pasar di wilayah Bandung baru kemudian pulang ke Gunungkidul. Dia memilih menjadi petani mengolah tanah di Gunungkidul. 

Tahun 2014 lalu, ia mencoba mengajukan Calon Veteran namun tak berhasil. Beberapa tahun kemudian dirinya mencoba mendaftarkan diri lagi, namun juga tidak lolos. Sedih memang, tapi dia mencoba menerima apapun yang terjadi pada dirinya. 

"Ada juga yang menjadi veteran, tapi saya kondisinya seperti ini," ucap dia.

Salah seorang kerabat Sarno, Sukiran membenarkan jika selama ini Sarno hidup sebatang kara. Sarno 2 kali menikah, dulu menikah dengan orang Karangmojo selama 20 tahun namun kemudian meninggal. Setelah itu menikah lagi sekitar belasan tahun dan meninggal.

Dari dua pernikahan tersebut, ia tak memiliki anak, sehingga tetangga dan kerabatnya lah yang sekarang merawat atau mendampinginya.

"hanya belas kasih dari tetangga serta yayasan tertentu yang memberikan bantuan. Kalau kesehatan memang ada BPJS,"kata dia.

Kontributor : Julianto

Load More