Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 21 Agustus 2024 | 13:29 WIB
Ilustrasi - Pilkada serentak 2024. (Antara)

SuaraJogja.id - Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (PSHK FH UII) mewanti-wanti pembentuk undang-undang untuk tidak melakukan manuver pasca dua putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam rangka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Diketahui MK telah memutus dua perkara yakni yang pertama, syarat pencalonan kepala daerah dari jalur partai politik, terkait ambang batas (threshold) dalam Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024. Serta yang kedua, pemaknaan syarat usia pencalonan kepala daerah, yakni Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024.

Direktur PSHK FH UII, Dian Kus Pratiwi menilai putusan MK tersebut berpotensi memicu polemik. Walaupun memang tak sedikit publik yang mengapresiasi putusan tersebut.

"Pasca putusan MK tersebut diucapkan nampak memicu polemik, di satu sisi mendapat apresiasi publik, tetapi di sisi lain rentan 'dibajak' oleh pembentuk undang-undang yang hendak merevisi UU Pilkada," kata Dian dalam keterangan tertulis yang diterima SuaraJogja.id, Rabu (21/8/2024).

Baca Juga: Jalan Kaesang Maju Pilkada Kandas, Ganjar Justru Berikan Pesan KPU untuk Segera Bersiap

Disampaikan Dian, langkah MK yang menyesuaikan treshold dalam pencalonan Pilkada, merupakan langkah yang sejalan dengan prinsip negara hukum yang demokratis dan prinsip kedaulatan rakyat. Kehadiran calon yang variatif dalam Pilkada merupakan langkah menuju demokrasi substansial.

Pasalnya rakyat akan berpotensi disuguhkan dengan banyak calon. Masyarakat dapat memilih yang terbaik di antara calon tersebut.

"Bukan calon yang memonopoli pesta demokrasi melalui aksi borong partai," ucapnya.

Partai Politik pun, kata Dian, telah mendapat angin segar dari putusan itu. Sehingga semestinya dapat mencalonkan kader terbaiknya berdasarkan kinerja, pengalaman, dan sosok yang dibutuhkan, bukan karena pertimbangkan pragmatis semata.

Semangat putusan MK ini sekaligus untuk menghindari munculnya calon tunggal dan calon boneka dalam pilkada. Sekalipun calon tunggal adalah konstitusional, namun tetap saja keberadaan calon tunggal harus dihindari dan merupakan jalan terakhir.

Baca Juga: Tanpa Kursi DPRD, Partai Bisa Usung Calon Kepala Daerah: Ganjar Sebut Peta Politik Bisa Berubah

"Sehingga Pilkada dapat berjalan lebih demokratis sebagaimana amanat Konstitusi," tuturnya.

Load More