Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Rabu, 13 November 2024 | 20:13 WIB
Sahbirin Noor-Muhidin, Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan hingga 2024. (dok.Humas Pemprov Kalsel)

SuaraJogja.id - Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (Pukat) UGM Zaenur Rohman melontarkan kritik terhadap KPK dalam kasus korupsi Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor alias Paman Birin. Tidak hanya lembaga antirasuah, putusan Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Selatan (PN Jaksel) yang mengabulkan praperadilan Paman Birin juga disoroti.

"Jadi saya melihat problem ini ada di KPK dan di putusan praperadilan. Dua-duanya menurut saya problematik," tegas Zaenur, saat dikonfirmasi, Rabu (13/11/2024).

Zaenur mengatakan putusan ini menunjukkan bahwa KPK sejak awal tidak serius di dalam melakukan penanganan kasus korupsi di lingkungan Pemprov Kalsel. Hal itu dilihat ketika KPK tidak segera melakukan pencarian dengan mengerahkan sumber daya yang ada terhadap Sahbirin Noor ketika melakukan operasi tangkap tangan.

Selain itu ketika tidak berhasil mendapatkan Paman Birin tidak kemudian cepat-cepat menetapkan yang bersangkutan di dalam daftar pencarian orang (DPO). Seharusnya KPK segera menerbitkan DPO dan meminta bantuan kepada penegak hukum lain untuk melakukan pencarian.

Baca Juga: Pukat UGM Soroti Ketidakseriusan KPK Cari Paman Birin, Potensi Jadi Harun Masiku Jilid 2

"Kalau KPK sejak awal tetapkan status Sahbirin Noor sebagai daftar pencarian orang, menjadi buron, maka Sahbirin Noor tidak bisa mengajukan praperadilan sesuai dengan SEMA nomor 1 tahun 2018," tandasnya.

Terkait dengan putusan PN Jaksel tersebut, Zaenur menilai tak kalah problematiknya. Menurutnya, putusan tersebut tidak konsisten dengan aturan yang ada, terutama terkait dengan status tersangka yang melarikan diri.

Dalam hal ini, Zaenur merujuk pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 yang menyatakan bahwa apabila tersangka melarikan diri atau sudah ditetapkan sebagai Daftar Pencarian Orang (DPO), maka permohonan praperadilan tidak dapat diterima.

Zaenur menjelaskan bahwa meskipun Sahbirin Noor belum secara formal dimasukkan ke dalam DPO, namun fakta bahwa dia tidak dapat ditemukan di tempat tinggal maupun di tempat kerjanya menunjukkan bahwa yang bersangkutan sedang melarikan diri.

"Melarikan diri itu ketika dicari oleh penyidik di tempat kediamannya, di tempat bekerjanya yang padahal sehari-hari yang bersangkutan ada di tempat tinggalnya, ada di kantornya tetapi ketika ditunggu oleh penyidik itu tidak ada, itu tidak bisa ditemukan, ditanyakan kepada pihak-pihak yang mengetahui tidak bisa ditemukan. Maka itu melarikan diri," tegasnya.

Baca Juga: Solusi UGM untuk Pemerintah: Atasi Gap Digital dan Perubahan Iklim

Zaenur juga mengkritik alasan hakim yang menerima permohonan praperadilan tersebut dengan menyebutkan bahwa Sahbirin Noor belum diperiksa sebagai tersangka. Padahal, dalam konteks Operasi Tangkap Tangan (OTT), pemeriksaan tersangka sebelumnya bukanlah syarat mutlak.

Zaenur meminta agar Komisi Yudisial (KY) dan Badan Pengawas Peradilan (Bawas RI) mengawasi keputusan hakim dalam kasus ini. Guna memastikan tidak ada unsur non-hukum yang mempengaruhi putusan.

Selain itu, Zaenur mengingatkan KPK untuk tidak hanya berhenti setelah kekalahan dalam praperadilan ini. Melainkan harus menindaklanjuti kasus ini dengan melakukan penetapan tersangka lagi terhadap Sahbirin Noor dengan memenuhi unsur-unsur formilnya.

"Jadi KPK harus belajar dari ini, kekalahan ini, kemudian proses lagi, tetapkan sebagai tersangka lagi, kalau KPK berhenti tidak lanjutkan proses selanjutnya maka saya menduga KPK berada dalam tekanan atau intervensi," tuturnya.

"Ini adalah ujian keseriusan dari KPK karena di awal sudah berani menetapkan sebagai tersangka maka KPK harus berani untuk memperbaiki prosedurnya kemudian menetapkan tersangka lagi. Dan kalau sudah menetapkan sebagai tersangksa ikuti dengan penahanan agar tersangka tidak melarikan diri, mengulangi perbuatan atau menghilangkan barang bukti," ujar dia.

Load More