Scroll untuk membaca artikel
Muhammad Ilham Baktora | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 17 Juni 2025 | 19:15 WIB
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon. [Suara.com]

Begitu pula jika kemudian ini memang cerminan sikap pemerintah, maka kata Andi, berarti ada masalah yang belum selesai dalam sejarah kekerasan politik Indonesia, khususnya peristiwa 1998 dan kasus pelanggaran HAM lainnya.

Sejarah untuk Generasi yang Lebih Kuat

Tangkapan layar kerusuhan Mei 1998 yang juga terjadi pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa. (Twitter)

Andi menyatakan bahwa penulisan sejarah seharusnya bertujuan untuk membekali generasi muda. Agar dapat memahami akar dari berbagai krisis dan kekerasan dalam sejarah bangsa.

Bukan justru malah menyembunyikannya atas nama stabilitas atau politik identitas.

Baca Juga: Museum Muhammadiyah Kesulitan Kumpulkan Koleksi Sejarah, Kemenbud Janji Bantu Lengkapi Artefak

Kembali lagi, Andi menegaskan kesadaran etis itu yang harus dimiliki dalam menulis sejarah.

"Problematik itu menjadi satu bagian dari agenda kita bersama. Sehingga generasi muda ke depan punya hal yang lebih lapang. Mereka tuh nggak akan melihat kalau dalam kehidupan mereka ya ada krisis, ada kekerasan itu bukan sebuah misteri lagi," tegasnya.

"Mereka akan melihatnya sebagai sebuah pengetahuan yang sudah mereka miliki sebagai warga negara Republik Indonesia dan bisa mengatasinya untuk masa yang akan depan," sambungnya.

Sehingga penulisan sejarah sudah seharusnya tak sekadar kepentingan subjektif saja.

Dengan demikian, ia menegaskan penolakan terhadap penulisan sejarah nasional yang sedang dirancang.

Baca Juga: Jalan-jalan ke Taman Pintar, Fadli Zon Minta Tapak Kaki Prabowo Ikut Ditampilkan di Wahana Presiden

"Kalau saya tanya bagaimana pendapatnya tentang penulisan sejarah ini? Kita tolak saja," kata dia.

Aktivis Kritik Fadli Zon

Tak hanya sejarawan, aktivis yang juga pendamping korban pemerkosaan massal etnis Tionghoa, Ita Fatia Nadia juga mengkritik pernyataan Fadli Zon.

Beberapa waktu lalu tepatnya Jumat 13 Juni, Ita Fatia bersama pengamat HAM dan Feminis lain seperti Kamala Chandra Kirana, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, Sulistyowati Irianto (Gubes Fakultas Hukum UI) melakukan jumpa pers.

Dalam dialog tersebut mereka mengkritik pernyataan Fadli Zon terkait tak adanya pemerkosaan massal perempuan etnis Tionghoa sejauh kerusuhan Mei 1998.

Namun setelah kritik dilayangkan, Ita Fatia dikabarkan mendapat teror dari orang tak dikenal. Hingga kini tim Suarajogja masih meminta keterangan lebih lanjut dan belum mendapat respon dari yang bersangkutan.

Load More