SuaraJogja.id - Sejumlah kasus keracunan massal dalam pelaksanaan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali terjadi di Yogyakarta.
Setelah menimpa siswa di Kulon Progo beberapa waktu lalu, kali ini ratusan siswa SMP Muhammadiyah 1 dan SMP Muhammadiyah 3 dan SMP Pamungkas, Sleman juga mengalami keracunan MBG, Rabu (13/8/2025) kemarin.
Dosen Program Studi Gizi Universitas ‘Aisyiyah (Unisa) Yogyakarta, Nor Eka Noviani angkat suara.
Menurutnya, peristiwa ini terjadi dimungkinkan akibat lemahnya penerapan sistem keamanan pangan dalam program berskala besar yang melibatkan ribuan anak sekolah ini.
Penyelenggaraan makanan dalam jumlah besar memiliki risiko lebih tinggi terjadinya keracunan.
Gejala seperti diare, mual, muntah, dan pusing, menurutnya, bisa menjadi indikasi serius terutama jika dialami banyak orang sekaligus atau masuk kategori kejadian luar biasa (KLB).
"Penyelenggaraan makanan dalam jumlah besar tentunya memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadi keracunan. Kondisi ini merupakan bentuk kegagalan dalam sistem keamanan pangan dan ada indikasi cemaran mikrobiologis yang mungkin terjadi pada salah satu rantai penyelenggaraan makanan," ungkap dia.
Eka menyebut, potensi keracunan dapat muncul sejak tahap awal pemilihan bahan makanan, proses pengolahan, hingga distribusi.
Selain itu masalah hygiene dan sanitasi penjamah makanan, persyaratan bangunan, fasilitas sanitasi, peralatan, ketenagaan, dan kualitas makanan itu sendiri yang juga bisa jadi pemicu.
Baca Juga: Makan Bergizi Gratis Distop Sementara buntut Keracunan Massal di Sleman, Sampel Makanan Diuji Lab
Titik kritis rawan berada pada proses pemasakan dan pendistribusian.
Pemasakan dalam jumlah besar memerlukan peralatan memadai agar proses dapat dilakukan sekali masak, sehingga makanan tidak terlalu lama menunggu sebelum sampai ke siswa.
"Durasi holding time atau lama penyimpanan makanan juga menjadi titik kritis. Maksimal empat jam, lebih dari itu sebaiknya dipanaskan ulang. Makanan panas yang langsung ditutup bisa memerangkap uap panas, membentuk embun, lalu menurunkan suhu secara perlahan. Pada suhu berbahaya di bawah 60°C, bakteri dapat tumbuh lebih cepat," ungkapnya.
Eka menilai beberapa aspek perlu segera dievaluasi, mulai dari adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pemilihan bahan, produksi, hingga distribusi makanan.
Pemantauan suhu dan holding time menjadi kunci agar makanan tidak terlalu lama tersimpan di dapur sebelum dikirim ke sekolah.
Ia merekomendasikan penerapan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) untuk mencegah, mengendalikan, dan meminimalkan risiko bahaya keamanan pangan.
Berita Terkait
Terpopuler
- Pelatih Argentina Buka Suara Soal Sanksi Facundo Garces: Sindir FAM
- Kiper Keturunan Karawang Rp 2,61 Miliar Calon Pengganti Emil Audero Lawan Arab Saudi
- Usai Temui Jokowi di Solo, Abu Bakar Ba'asyir: Orang Kafir Harus Dinasehati!
- Ingatkan KDM Jangan 'Brengsek!' Prabowo Kantongi Nama Kepala Daerah Petantang-Petenteng
- Seret Nama Mantan Bupati Sleman, Dana Hibah Pariwisata Dikorupsi, Negara Rugi Rp10,9 Miliar
Pilihan
-
Bernardo Tavares Cabut! Krisis Finansial PSM Makassar Tak Kunjung Selesai
-
Ada Adrian Wibowo! Ini Daftar Pemain Timnas Indonesia U-23 Menuju TC SEA Games 2025
-
6 Fakta Demo Madagaskar: Bawa Bendera One Piece, Terinspirasi dari Indonesia?
-
5 Rekomendasi HP 1 Jutaan RAM 8 GB Terbaru, Pilihan Terbaik Oktober 2025
-
Pertamax Tetap, Daftar Harga BBM yang Naik Mulai 1 Oktober
Terkini
-
Kunjungan ke UGM, Megawati Ragukan Data Sejarah Penjajahan dan Jumlah Pulau Indonesia
-
Bukan Sekadar Antar Jemput: Bus Sekolah Inklusif Kulon Progo Dilengkapi Pelatihan Bahasa Isyarat
-
Maxride Bikin Bingung, Motor Pribadi Jadi Angkutan Umum? Nasibnya di Tangan Kabupaten/Kota
-
Megawati ke UGM: Soroti Biodiversitas dan Masa Depan Berkelanjutan
-
Alasan Kocak Megawati Soekarnoputri Tolak Kuliah di UGM: 'Nanti Saya Kuper'