Padahal, sebelumnya lembaga itu berada di bawah institusi pendidikan tinggi dan dikelola oleh para guru besar serta pakar di bidang medis.
"Nah sekarang ini kolegium kemudian sebagian besar ditarik ke kewenangan kementerian kesehatan. Sehingga Kementerian Kesehatan dalam hal ini mengendalikan berbagai macam istilahnya rotasi dari setiap dokter spesialis di seluruh Indonesia," ungkap Wahyudi.
Persoalan lain yang dianggap membahayakan adalah program pendidikan dokter spesialis berbasis rumah sakit (hospital based PPDS).
Sistem ini dinilai menurunkan kualitas pembelajaran karena lebih mirip pelatihan teknis dibanding proses mentoring antara residen dengan konsulen.
Kondisi ini, menurutnya, berpotensi melahirkan dokter spesialis yang kurang matang secara profesional.
"Kita tidak mempersoalkan bahwa keterlibatan rumah sakit itu tetap penting tetapi kalau kemudian prosesnya untuk pendidikan diantara para dokter spesialis ini tidak betul-betul mengutamakan keahlian, mengutamakan profesionalisme nah kita menghadapi banyak persoalan," ungkapnya.
Kontroversi Pengalihan Tugas hingga STR
Wahyudi tak lupa turut mengkritisi kebijakan task shifting atau pengalihan tugas dokter.
Misalnya dalam hal ini dokter umum diperbolehkan untuk melakukan tindakan operasi di daerah minim tenaga spesialis.
Baca Juga: Pemisahan Pemilu Nasional & Lokal: Strategi Jitu Berantas Politik Uang atau Sekadar Tambal Sulam?
Ia mencontohkan tugas itu bisa berlaku pula saat diperlukan operasi sesar bagi ibu hamil yang hendak melahirkan.
Task shifting ini berpotensi membahayakan nyawa ibu dan bayi karena kompetensi medis untuk operasi sesar seharusnya dimiliki oleh dokter obstetri dan ginekologi, bukan dokter umum.
"Membedah ibu hamil yang kemudian memang sudah saatnya melahirkan itu perlu pengetahuan sistemik perlu pengetahuan yang bukan hanya dimiliki oleh seorang dokter umum tetapi betul-betul oleh dokter obstetri dan ginekologi [Obgyn]," ucapnya.
Tak kalah kontroversial, UU Kesehatan yang baru juga memungkinkan Surat Tanda Registrasi (STR) dokter berlaku seumur hidup tanpa evaluasi.
KPKKI menilai aturan itu berisiko menurunkan standar kompetensi dokter karena menghapus mekanisme resertifikasi yang penting bagi pembaruan ilmu medis.
Ditambahkan Wahyudi, ada pula isu soal masuknya dokter asing ke Indonesia yang turut dianggap sebagai ancaman.
Berita Terkait
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- 7 Sunscreen Anti Aging untuk Ibu Rumah Tangga agar Wajah Awet Muda
- Mobil Bekas BYD Atto 1 Berapa Harganya? Ini 5 Alternatif untuk Milenial dan Gen Z
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Pabrik VinFast di Subang Resmi Beroperasi, Ekosistem Kendaraan Listrik Semakin Lengkap
-
ASUS Vivobook 14 A1404VAP, Laptop Ringkas dan Kencang untuk Kerja Sehari-hari
-
JK Kritik Keras Hilirisasi Nikel: Keuntungan Dibawa Keluar, Lingkungan Rusak!
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
Terkini
-
Kecelakaan Lalu Lintas Masih Tinggi, Kasus Narkoba Naik, Ini Kondisi Keamanan Sleman 2025
-
BRI 130 Tahun: Dari Pandangan Visioner Raden Bei Aria Wirjaatmadja, ke Holding Ultra Mikro
-
2 Juta Wisatawan Diprediksi Banjiri Kota Yogyakarta, Kridosono Disiapkan Jadi Opsi Parkir Darurat
-
Wali Kota Jogja Ungkap Rahasia Pengelolaan Sampah Berbasis Rumah Tangga, Mas JOS Jadi Solusi
-
Menjaga Api Kerakyatan di Tengah Pengetatan Fiskal, Alumni UGM Konsolidasi untuk Indonesia Emas