Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 12 September 2025 | 19:10 WIB
Puluhan massa Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan berunjukrasa di Titik Nol Km, Jumat (12/9/2025). [Kontributor/Putu]
Baca 10 detik
  • Aksi demo kembali digaungkan di Nol Kilometer Yogyakarta oleh Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan
  • Massa aksi menuntut agar UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY dicabut
  • Bukan tanpa alasan ada beberapa kebijakannya yang justru membuat rakyat sulit mengelola hak kepemilikannya atas tanah
[batas-kesimpulan]

SuaraJogja.id - Puluhan massa yang mengatasnamakan Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan turun ke jalan pada Jumat (12/9/2025) sore.

Mereka menggelar aksi long march dari eks TKP Abu Bakar Ali menuju Titik Nol Kilometer Yogyakarta.

Aksi damai ini merupakan kelanjutan dari eskalasi gerakan yang berlangsung sejak 25 Agustus 2025 lalu.

Aksi tersebut sekaligus menjadi prakondisi menjelang peringatan Hari Tani Nasional pada 24 September mendatang.

Sejumlah tuntutan disampaikan massa dalam aksi tersebut. Salah satunya tuntutan penghapusan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY.

Sebab, dana keistimewaan (danais) yang didapat DIY sesuai UU tersebut dinilai tidak efektif dalam pemanfaatannya.

Koordinator Umum Aliansi Gerakan Nasional Pendidikan, Iko dari Serikat Masyarakat Indonesia (SMI), Iko menilai alokasi anggaran yang digelontorkan dari APBN setiap tahun untuk danais belum digunakan secara produktif.

"Dari APBN, sekian triliun yang digelontorkan untuk Dana Keistimewaan, biaya yang ada dalam komponen anggaran itu tidak benar-benar mengarah kepada masyarakat Yogyakarta. Termasuk di situ ada uang tunjangan untuk persiapan gubernur, untuk sumbu filosofi, dan anggaran lain yang tidak produktif bagi masyarakat," ungkapnya.

Aliansi menawarkan alternatif yang lebih konkret agar Danais dapat benar-benar menyentuh rakyat.

Baca Juga: Ada Pemberkasan PPPK, Antrean Pemohon SKCK di Polresta Yogyakarta Membludak

Dana keistimewaan yang didapat DIY hingga Rp1 Triliun lebih per tahun bisa dialokasikan untuk pendidikan bagi masyarakat dan anak-anak di kota ini.

"Itu lebih menguntungkan, lebih konkret lagi kalau diberdayakan kepada PKL, kemudian ke tukang becak. Itu lebih produktif bagi kami," ujarnya.

Selain Danais, Iko menegaskan persoalan mendasar justru terletak pada UU Keistimewaan itu sendiri.

UU tersebut menurutnya, mencakup penguasaan Sultan Ground dan Pakualaman Ground (SGPAG) yang membuat rakyat kehilangan akses terhadap tanah.

Bagi aliansi, UU Keistimewaan harus dicabut. Sebab masalah penguasaan tanah adalah akar ketidakadilan di Yogyakarta.

"Ketika tanah ini dikuasai oleh Sultan dan keluarganya, masyarakat tidak punya tanah. Akhirnya banyak yang jadi tukang becak, pedagang kaki lima, atau bahkan tidak punya pekerjaan [dan tanah]. Seharusnya SGPAG atau UU Keistimewaan itu dicabut agar masyarakat Jogja bisa dapat tanah. Di kota mungkin mayoritas bukan petani, tapi di kabupaten-kabupaten masyarakatnya mayoritas petani," tandasnya.

Kalau tanah diberdayakan oleh masyarakat, untuk kebutuhan, kebudayaan, dan negara, lanjutnya maka otomatis biaya bahan pokok tidak akan naik.

Angka pengangguran di DIY pun bisa berkurang.

Iko menegaskan tuntutan mereka bukanlah penghapusan peran Sri Sultan HB X secara pribadi.

Namun lebih pada pencabutan legitimasi kebijakan yang memperkuat kekuasaan atas tanah.

"Kalau soal penghapusan Sultan Ground dan Pakualaman Ground karena agraria, sebenarnya kami tidak menuntut Sultan harus dihapus. Yang kami tunjuk adalah kebijakan yang menguatkan legitimasi kekuasaan, termasuk UU itu sendiri karena penguasaan tanah terpusat pada Sultan. Akhirnya banyak masyarakat mati kelaparan, tidak punya pekerjaan, dan anak-anak tidak bisa melanjutkan pendidikan. Itu terkait juga dengan alokasi Danais tadi," jelasnya.

Aliansi juga membandingkan situasi Yogyakarta dengan daerah lain yang memiliki status khusus seperti Papua dan Aceh.

Menurut Iko, Papua dan Aceh memang mendapat dana khusus, tetapi masyarakatnya tetap memiliki ruang untuk mengelola wilayah.

Papua meski dipecah jadi beberapa provinsi, da negara memberikan dana otonomi khusus (otsus), mereka bisa mengelola wilayahnya sendiri tanpa penguasaan tanah.

"Bukan hanya Jogja yang punya status khusus, ada juga Papua dan Aceh. Tapi kalau secara ekonomi-politik, Jogja itu soal penguasaan tanah. Beda dengan Aceh dan Papua. Sedangkan di Jogja, kekuasaan politik dan penguasaan tanah masih dipegang Sultan, meskipun ada gubernur," imbuhnya.

Kontributor : Putu Ayu Palupi

Load More