SuaraJogja.id - Apes, itulah yang dialami oleh 15 siswa kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMKN) 1 Tanjungsari, Kabupaten Gunungkidul. Mereka sempat ditahan oleh aparat Polairud Probolinggo karena kapal tempat mereka melakukan praktek kerja lapangan (PKL) ternyata surat-suratnya telah kadaluarsa.
Belasan pemuda itu dibekuk petugas Polairud bersama Anak Buah Kapal (ABK) ketika kapal yang mereka tempati untuk PKL terjaring razia di tengah laut di kawasan perairan Madura, sekitar tanggal 1 Agustus 2019 yang lalu.
15 siswa tersebut dibawa ke Markas Polairut di Probolinggo dan sempat ditahan selama 4 hari.
Abror (nama samaran), salah satu siswa yang turut serta dalam rombongan PKL tersebut menceritakan awal terjadinya penangkapan kapal I-Putra yang ia tumpangi tersebut. Sekitar 2 bulan yang lalu Abror bersama kawan-kawannya sekitar 74 orang siswa melakukan praktek kerja lapangan beberapa kapal yang ada di pelabuhan Juwana, Jawa Tengah.
Baca Juga:Curhat ke Guru Bahasa Inggris, Siswa SMK Malah 14 Kali Dicabuli
74 siswa SMK Negeri 1 Tanjung Sari tersebut dipisah dalam beberapa kapal nelayan mencari ikan. Bersama 14 kawan lainnya, kebetulan mendapatkan jatah kapal dengan kapasitas 180 gross ton yang berangkat dari Madura.
Mereka langsung berangkat dari Madura tanpa kendala apapun. Bahkan sempat berlayar selama 2 bulan, pergi ke daratan hanya untuk mengisi bahan bakar.
"Awalnya tidak ada apa-apa, aman-aman saja. Tidak ada masalah,"tutur Abror.
Namun ketika mereka berangkat dari sebuah pulau di utara Pulau Jawa, tiba-tiba kapal yang mereka tumpangi tersebut disebabkan oleh petugas Polairud. Tanpa tahu sebabnya, mereka lantas diamankan bersama dengan ABK yang lain ke markas Polairud di Probolinggo.
Kapal mereka pun digelandang ke markas Polairud Probolinggo untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Baca Juga:Siswa SMK Ditemukan Tewas di Tempat Sampah, Pergelangan Kaki Patah
"Kabarnya surat-suratnya bodong,"ujarnya.
Abror bersama dengan 15 siswa dan 16 ABK termasuk Nahkoda ditahan di Markas Polairud Probolinggo selama 4 hari.
Selama 4 hari tersebut, lanjut Abror, ia merasa seperti seorang tahanan karena para siswa diawasi ketat dan juga diperintahkan untuk membersihkan area di sekitar markas Polairud tersebut, namun tetap diberi jatah makan biasa.
Setelah 4 hari di Polairud Probolinggo, mereka akhirnya dikirim ke Juwana, tempat perusahaan pemilik kapal yang digunakan sebagai lokasi PKL. Dan setelah itu, mereka dijemput oleh pihak sekolah untuk pulang ke rumah masing-masing.
Abror mengatakan, rencana awal sebenarnya mereka akan melakukan PKL selama 3 bulan. Namun karena peristiwa tidak mengenakkan tersebut, 15 siswa tersebut terpaksa pulang tidak sesuai jadwal.
Kendati pulang lebih cepat jadwal yang semula ditentukan oleh pihak sekolah namun Abrar mengaku para siswa tersebut tetap mendapatkan sertifikat berlayar seperti yang sudah dijanjikan sebelumnya. Sertifikat tersebut nantinya akan berguna bagi para siswa ketika mencari pekerjaan.
Rohmadi (bukan nama sebenarnya) orang tua dari Abror, menyesalkan peristiwa yang anaknya bersama siswa-siswa yang lain akibat keteledoran dari sekolah.
Anaknya bersama dengan teman-temannya yang ikut dalam kapal tersebut terpaksa harus menjalani hukuman selama 4 hari dengan membersihkan kawasan di sekitar Markas Pol airud di Probolinggo.
Menurut Rohmadi, yang mencari perusahaan tempat para siswa melakukan PKL pihak sekolah. Dan siswa hanya menerima apa yang telah diperintahkan oleh pihak sekolah. Seharusnya sebelum menempatkan para siswa di sebuah perusahaan untuk PKL yang mengandung resiko cukup besar seharusnya pihak sekolah terlebih dahulu memastikan an dokumen kelengkapan administrasi perusahaan tersebut.
"Mosok sekolah kerja sama dengan perusahaan yang abal-abal,"ujarnya.
Ketika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan seperti yang dialami oleh 15 siswa tersebut maka perusahaan bisa dituntut pertanggungjawabannya. Kendati demikian Rohmadi mengaku pasrah dengan apa yang terjadi pada anaknya karena sudah mengantongi sertifikat izin berlayar.
Rohmadi sebenarnya mengaku kecewa karena untuk berangkat PKL anaknya tersebut, Rohmadi mengaku harus mengutag terlebih dahulu kepada juragan tempat istrinya bekerja. Untuk bisa ikut PKL para siswa harus membayar biaya sebesar Rp 1,1 juta rupiah. Rahmadi berharap agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali di masa yang akan datang.
"Kasihan anak-anak sekolah harus bisa memastikan keamanan dan keselamatan para siswa," katanya.
Kontributor : Julianto