Hingga September 2019, Terjadi 24 Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul

Rata-rata angka bunuh diri di Gunungkidul setiap tahun mencapai 25-30 kejadian yang dilaporkan ke pihak berwenang.

Chandra Iswinarno
Jum'at, 06 September 2019 | 04:30 WIB
Hingga September 2019, Terjadi 24 Kasus Bunuh Diri di Gunungkidul
Surat wasiat yang ditinggalkan pelaku bunuh diri di Gunungkidul, Yogyakarta, Kamis (5/9/2019). [Suara.com/Julianto]

SuaraJogja.id - Kasus kematian yang terjadi di Gunungkidul Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disebut menjadi yang tertinggi dibanding daerah lain di provinsi tersebut.

Hal itu tergambar jelas dalam kasus bunuh diri yang terjadi pada Kamis (5/9/2019), yakni dua kali kasus gantung diri.

Menurut Ketua Yayasan Imaji (lembaga pemerhati bunuh diri) Jaka Januwidiastha, risiko bunuh diri di Gunungkidul memang lebih tinggi dibanding wilayah lain di DIY, karena ada beberapa faktor penyebabnya.

Berdasarkan penelitian yang Imaji lakukan sejak tahun 2015 hingga 2019 ini, rata-rata angka bunuh diri di Gunungkidul setiap tahun mencapai 25-30 kejadian yang dilaporkan ke pihak berwenang, seperti pemerintah desa ataupun ke kepolisian.

Baca Juga:Tewas Gantung Diri, Jejak Digital Mahasiswa S2 ITB Terbongkar

"Tetapi sejatinya angka bunuh diri lebih dari itu. Karena ada sejumlah wilayah di daerah Gunungkidul yang memiliki kesepakatan jika bunuh diri tidak akan diungkapkan ke publik. Dan mereka (warga) menganggap bunuh diri adalah kematian biasa,"tutur Jaka, Kamis (5/9/2019).

Jaka mengungkapkan, aspek kehidupan seperti beban hidup, beban ekonomi serta permasalahan psikologis menjadi pemicu kematian di ujung 'seutas tali' tersebut.

Berdasarkan pencermatan yang dilakukan Yayasan Imaji sejak tahun 2015 lalu, permasalahan psikologis yang berujung depresi atau tekanan jiwa menyumbang 43 persen penyebab bunuh diri di Gunungkidul.

Sementara penyakit menahun atau penyakit yang sudah diderita cukup lama dan tak kunjung sembuh menyumbang 16 persen penyebab bunuh diri. Seperti yang terjadi pada umumnya, derita penyakit menahun tersebut ternyata juga bermuara pada depresi. Dan sebanyak 10 persen lainnya disebabkan karena faktor ekonomi seperti hidup di bawah garis kemiskinan.

"Nah, selama ini seseorang enggan jika dikatakan depresi. Biasanya disimpulkan karena faktor ekonomi dan konflik keluarga," katanya.

Baca Juga:Pemuda Asal Pasuruan Gantung Diri di Lapak Parkiran

Usia Produktif

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini