SuaraJogja.id - Masjid Kauman, atau yang saat ini dikenal sebagai Masjid Sabiilurrosyaad, diperkirakan berdiri pada tahun 1480. Selain sebagai tempat ibadah, masjid ini juga merupakan tempat berkembangnya agama Islam di kawasan Kauman, Wijirejo, Pandak, Bantul.
Kepala Desa Wijirejo Murtadho mengatakan, masjid ini merupakan peninggalan Panembahan Bodho atau yang dikenal juga sebagai Raden Krenggono atau Adipati terung dari Kerajaan Majapahit.
Panembahan Bodho diyakini sebagai salah seorang anggota keluarga Kerajaan Majapahit. Ia juga merupakan murid Sunan Kalijaga yang turut menyebarkan agama Islam di kawasan Kauman. Masjid Sabiilurrosyaad menjadi salah satu peninggalannya.
Meskipun bangunannya sudah mengalami renovasi berulang kali, hingga hanya bagian tembok depan masjid saja yang masih dipertahankan, tetapi ada tradisi yang sudah berusia ratusan tahun yang masih dijaga oleh penduduk sekitar. Salah satunya yakni tradisi buka bersama dengan menyantap bubur nasi yang dibuat dengan cara tradisional. Takmir dan pemuda masjid secara bergotong royong memasak bubur dalam kuali sebagai menu wajib untuk berbuka bersama di masjid saat bulan Ramadan.
Baca Juga:Asuransi Jasindo Beri Bantuan untuk RS Rujukan Covid-19 di 6 Kota
Murtadho menjelaskan, bubur dimasak dengan metode tradisional menggunakan kuali. Proses pembuatan bubur tersebut menjadikan cita rasa yang khas dari masakan yang disajikan. Saat menyantapnya sebagai menu buka puasa, Murtadho mengaku perutnya terasa nyaman.
"Kalau makan itu, di perut rasanya enak, apalagi pas tarawih perut terasa nyaman. Setelah puasa seharian, kalau langsung makan yang keras-keras kan perut kaget, jadi makan bubur itu sangat nyaman," tutur Murtadho saat ditemui SuaraJogja.id di kediamannya, Minggu (3/5/2020).
Tradisi buka bersama tersebut diyakini sudah berlangsung sejak dulu kala. Murtadho menjelaskan, ada beberapa filosofi yang terkandung dalam tradisi tersebut.
Kata bubur diambil dari bahasa Arab bibirrun, yang artinya dengan kebaikan. Sementara masjid sendiri merupakan tempat untuk membagikan kebaikan. Kemudian dalam kata bubur, terkandung kata beber, yang bermakna menjelaskan. Masjid merupakan tempat untuk menjelaskan segala hal tentang agama.
Selanjutnya yakni babar, yang merupakan bahasa Jawa, bermakna merata. Maksudnya ialah agar ajaran agama disampaikan secara merata bertempat di masjid. Sayangnya, adanya pandemi pada Ramadan tahun ini membuat tradisi tersebut tidak bisa dilaksanakan.
Baca Juga:Dampak Corona, Negara Ini Catatkan Nol Penjualan Kendaraan
Selain bersantap bubur bersama, tradisi pada bulan Ramadan lainnya di Masjid Sabiilurrosyaad ialah 'Selikuran'. Tradisi tersebut sebenarnya bertujuan untuk memperingati malam Nuzulul Qur'an yang sejatinya jatuh pada tanggal 17 bulan Ramadan.
Murtadho menjelaskan, jemaah Masjid Sabiilurrosyaad selalu memperingati hari besar agama Islam tepat pada tanggalnya, kecuali untuk Nuzulul Qur'an. Hal tersebut didasarkan pada ajaran bahwa malam Lailatulqadar terbaik jatuh pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan.
"Biasanya ada pengajian, mengumpulkan sedekah, masyarakat membawa makanan untuk disantap bersama selepas sembahyang tarawih," ujarnya.
Demi mengikuti anjuran pemerintah, seluruh kegiatan di masjid ditiadakan sejak pertengahan Maret lalu. Murtadho menyebutkan, pada tahun-tahun sebelumnya di bulan Ramadan masjid selalu penuh dengan kegiatan. Bahkan saat malam terasa seperti siang karena banyaknya orang yang beribadah di masjid.
Sebagai masjid yang sudah berusia ratusan tahun, banyak jemaah yang telah menyambanginya. Namun, Murtadho menyebutkan bahwa masyarakat zaman dahulu tidak suka banyak berbicara, melainkan langsung menunjukkan pada praktiknya.
Misalnya, bangunan masjid dulunya memiliki kolam di bagian depan. Hal tersebut bertujuan agar masyarakat membersihkan dirinya dahulu sebelum masuk masjid. Sebab, zaman dahulu masih jarang masyarakat yang menggunakan alas kaki. Keberadaan kolam menjadi pengingat bahwa untuk memasuki masjid harus dalam keadaan bersih.
Selain itu, di bagian depan masjid juga tumbuh pohon sawo. Maknanya adalah untuk mengingatkan jemaah agar merapatkan safnya sebelum salat. Dalam bahasa Arab, sawu berarti rapatkan.
Sebelum diperluas bangunannya, di bagian barat masjid dekat dengan tempat imam, tumbuh pohon jati yang juga mengandung filosofi tersendiri, yakni untuk mengingatkan bahwa sejatinya dalam beribadah adalah untuk mencari jati diri sendiri.
Sosok Panembahan Bodho sebagai murid Sunan Kalijaga sekaligus pendiri masjid tersebut dikenal masyarakat sebagai sosok wali, kekasih Allah yang menyebarkan agama Islam di kawasan tersebut.
Murtadho menyebutkan, sejauh ia mengingat, bahkan pada saat ia kecil, jumlah masjid di sekitarnya masihlah sedikit. Dalam satu kecamatan hanya terdapat satu masjid saja, sehingga dulunya, jemaah Masjid Kauman datang dari berbagai kawasan.
Sebagai peninggalan salah satu tokoh, masjid ini juga kerap menjadi kunjungan wisata religi. Makam Panembahan Bodho sendiri terletak di dusun yang berbeda. Sementara makam istrinya, Nyai Brintik, tidak jauh dari bangunan masjid.
Sayangnya, hingga saat ini belum ada buku atau naskah yang dapat dipertanggungjawabkan secara pasti menceritakan mengenai Panembahan Bodho beserta istri dan kiprahnya di Bantul. Sejauh ini, kisah-kisahnya hanya disampaikan dari mulut ke mulit, sehingga sangat mungkin terjadinya perbedaan kisah.