Amelita mengakui, sekolah tidak pernah membatasi siswa dari latar belakang apapun untuk belajar di sekolah tersebut. Justru sekolah itu mempersilahkan siswa dari keluarga miskin seperti pemegang kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Menuju Sejahtera (KMS) ataupun Kartu Indonesia Pintar (KIP) untuk mendaftar.
Bagi siswa miskin yang tidak mempunyai semua kartu itu pun bisa ikut mendaftar. Tidak ada biaya administrasi selain biaya ujian yang bisa dicicil hingga lulus.
Untuk mencukupi semua kebutuhan sekolah, selain hanya mengandalkan donatur, sekolah tersebut juga mendapatkan dana BOS atau BOSDa sesuai jumlah siswa yang bersekolah. Termasuk dalam menggaji 12 guru honorer mereka.
Karenanya sistem zonasi ataupun usia yang banyak menjadi pro kontra tidak berlaku di sekolah tersebut. Amelita meyakini sekolah itu punya pangsa pasar peserta didik sendiri. Toh siswa yang punya kemampuan finansial tidak akan memilih sekolah tersebut untuk melanjutkan pendidikannya.
Baca Juga:Ratusan Milyar Anggaran Pembangunan Jogja Dialihkan untuk Atasi Wabah
"Sekolah kami hanya punya satu guru PNS, 12 orang lainnya merupakan guru honorer yang mendapatkan insentif dari pemerintah Rp 500 ribu potong pajak per bulannya. Kekurangannya ya kami usahakan sendiri seperti dari donatur dan lainnya," jelasnya.
Ditambahkan Waka Kurikulum SMP/SMA Gotong Royong, Yitro Dewantoro, selama masa pandemi COVID-19 ini, para siswa yang diharuskan belajar daring sering mengalami kesulitan belajar. Bukan karena kemampuan akademik namun karena minimnya fasilitas gadget yang dimiliki siswa untuk belajar daring.
"Ada satu siswa kami yang harus berbagi handphone dengan tiga saudaranya untuk belajar daring sehingga seringkali terlambat mengerjakan tugas. Hal ini yang sering jadi kendala namun kami tidak ingin mempermasalahkannya," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi
Baca Juga:Asri tapi Rada Creepy, Warganet Ini Pamer Homestay Impiannya di Jogja