SuaraJogja.id - Tatapan matanya sedikit kosong ketika ditanya bagaimana situasi warga di lereng Gunung Merapi saat detik-detik erupsi terjadi pada 2010 silam. Sambil membenahi topi dan sedikit mengernyitkan dahi, Sambi pria yang masih bertahan di rumahnya di Dusun Ngancar, Desa Glagaharjo, Kecamatan Cangkringan perlahan mengingat kembali memorinya lalu bercerita.
"Kejadiannya kan tanggal 26 Oktober 2010, hari Selasa itu. Sebenarnya, satu pekan sebelum erupsi, sudah ada informasi untuk siaga. Bahkan sudah ada warga yang pindah ke balai desa saat itu," jelas Sambi ditemui di kediamannya, Sabtu (25/7/2020).
Ia mengisahkan, banyak warga keluar rumah dengan membawa sejumlah tas dan barang berharga yang masih bisa diselamatkan. Mereka berbondong-bondong memenuhi ruas Jalan Kikis yang menjadi akses utama sebagai jalur evakuasi masyarakat.
"Ada banyak jalur evakuasi, tapi warga Ngancar, Singlar, Kalitengah Lor biasa melintasi jalan itu (Kikis). Karena letaknya berbatasan dengan DI Yogyakarta dan Klaten, Jawa Tengah, akses tersebut padat," terang pria 50 tahun itu.
Baca Juga:Menginap di Hotel dengan Istri, Pria Asal Sleman Mendadak Tewas
Di tengah kepanikan warga, tak sedikit masyarakat yang kemudian terlibat kecelakaan di jalur tersebut. Kendati demikian, Sambi mengungkapkan tidak sampai menyebabkan korban.
"Sampai pernah ada yang jatuh dari motor ketika akan turun ke tempat yang aman. Ya masyarakat berebut untuk mengamankan diri ke bawah. Sebenarnya ada jalur lain tapi yang terdekat ada di Jalan Kikis. Saat itu jalur Bronggang-Klangon bisa dilintasi juga," terang Sambi.
Satu hari sebelum Gunung Merapi meletus, tepatnya 25 Oktober 2020, masyarakat Desa Glagaharjo langsung diarahkan menuju tempat pengungsian yang lebih aman. Mereka diarahkan ke Stadion Maguwoharjo yang pada waktu itu menjadi tempat evakuasi yang jauh dari kaki gunung.
"Mungkin ada ribuan orang di Stadion Maguwoharjo, tiap sudut bangunan ada orang yang berkumpul. Banyak warga ketakutan karena situasi gunung Merapi Meletus," jelasnya.
Masih berbekas di ingatannya, sore sekitar pukul 18.40 WIB tepat 26 Oktober 2010, Sambi mendengar suara gemuruh dari puncak Merapi. Dirinya bersama istri dan anak-anaknya hanya bisa berdoa termasuk warga yang mengungsi di homebase milik klub sepakbola Liga 1, PSS Sleman ini.
Baca Juga:Kecelakaan di Sleman Tewaskan 1 Orang, Polisi Sebut Korban Tak Kantongi SIM
"Tidak hanya gemuruh saja, getaran itu juga terasa sampai ke stadion. Saya sudah tidak bisa berpikir bagaimana nasib hewan ternak yang terpaksa saya tinggalkan di rumah," kenangnya.
Sambi tak hanya sendiri saat berbincang dengan SuaraJogja.id, istrinya Ranti (50), turut menimpali. Ia mengaku saat kejadian hanya berpikir untuk selamat terlebih dahulu dari situasi panik itu.
"Mikirnya hanya selamat dahulu. Barang yang berharga sudah tak bisa saya bawa. Karena panik akhirnya langsung turun ke bawah," ujar ibu rumah tangga ini.
Kedahsyatan erupsi Merapi kala itu nyatanya tak menyurutkan Ranti dan Sambi untuk kembali ke lereng, ke rumahnya yang berada di Dusun Ngancar.
Lokasi ini, secara geografis masih berada di wilayah bawah lereng Merapi. Berbeda dengan dusun Singlar, Srunen dan Kalitengah Lor yang berada berdekatan dengan radius batas aman 3 kilometer dari puncak Merapi.
Seorang warga Kalitengah Lor, Desa Glahaharjo misalnya, Sarmiyati (34). Wanita yang juga sebagai ketua RT tersebut tak sempat berbuat banyak ketika relawan, tim SAR dan BPBD bergerak untuk mengevakuasi warga saat terjadi erupsi 2010 silam.
"Sudah panik semua, bahkan barang seperti surat berharga atau perhiasan sudah tak diingat. Jadi segera evakuasi dengan pakaian yang kami gunakan," kata Sarmiyati ditemui saat kunjungan DPRD Sleman, Senin (13/7/2020).
Pasca erupsi Merapi 2010, rumah miliknya penuh dengan guguran abu vulkanik. Hampir seluruh warga di Kalitengah Lor terdampak akibat awan panas atau Wedhus Gembel.
Sebagian rumah warga ada yang luluh lantah wajar Dusun Kalitengah Lor hanya berjarak 5,5 kilometer dari puncak Gunung Merapi. Tetapi, sebagian rumah lainnya masih kuat bertahan. Sarmiyati bersyukur rumah yang dia huni tak banyak kerusakan dan saat ini masih bisa ditempati.
Sarmiyati termasuk warga yang beruntung rumahnya masih kokoh berdiri. Tak sedikit warga yang harus kehilangan rumah dan berpindah ke Hunian Tetap (Huntap). Masyarakat yang kehilangan rumah, saat ini tinggal di Huntap-huntap yang telah disediakan pemerintah.
Bagi masyarakat lereng Merapi yang sebelumnya mayoritas petani, pascaerupsi banyak yang beralih profesi. Ada yang menjadi penambang untuk bertahan hidup, adapun yang tetap mengurus sawah.
"Masih ada yang bercocok tanam, selain itu beberapa ada yang ingon (ternak) sapi milik warga lain, karena lokasi atau rumah tempat tinggalnya tak ada tempat untuk mengurus sapi," jelas dia.
Sarmiyati mengaku, letusan hebat Merapi 2010 silam membuat masyarakat terpuruk. Semua orang memulai kehidupan dari nol. Kendati demikian nampaknya Tuhan memiliki cara lain untuk mereka bertahan hidup.
Sembari mengingat kepanikan ketika Merapi erupsi 2010 silam, ia melanjutkan bahwa peristiwa 10 tahun lalu memang tak banyak persiapan dan pengetahuan masyarakat terhadap mitigasi kebencanaan.
Namun setelah peristiwa kelam yang memakan korban lebih kurang 353 orang termasuk juru kunci Gunung Merapi, Mbah Maridjan ini, masyarakat lebih sering mendapat pelatihan bagaimana menyelamatkan diri di wilayah rawan bencana.
"Ada pelatihan dan juga cara-cara evakuasi serta penyelamatan diri yang baik dan tak mencelakai orang sekitar. Memang tidak sering, namun dari pelatihan itu setidaknya kami sudah ada gambaran bagaimana menyelamatkan diri jika Merapi kembali erupsi," kata dia.
Sarmiyati juga menunjukkan sebuah tas yang disebut sebagai tas siaga bencana. Tas yang diberikan oleh pemerintah melalui BPBD tersebut berisi surat-surat berharga dan juga surat kepemilikan tanah. Fungsinya untuk meletakkan berkas penting dalam sebuah tas yang bisa diselamatkan dengan cepat jika terjadi erupsi.
"Menanggulangi dan mengantisipasi kejadian serupa ada tas siaga bencana yang kami siapkan saat Merapi meletus lagi. Jadi ketika terjadi kami langsung menenteng tas dan pergi ke tempat yang aman," jelasnya.
Hidup di sekitar lingkungan yang berbahaya terhadap bencana gunung api, Sarmiyati mengaku masih merasakan kekhawatiran. Bahkan peristiwa 10 tahun lalu masih menyebabkan trauma.
"Memang ada rasa ketakutan kami selama berada di sini. Tapi kewaspadaan yang kami siapkan. Di dusun ini hampir 24 jam relawan dan warga bergilir untuk menjaga. Baik di pos pemantauan dan di lingkungan dusun," katanya.
Khawatir terhadap situasi yang tak bisa diprediksi, baik Sarmiyati dan Sambi menyoroti jalur evakuasi yang sampai saat ini belum diperbaiki sepenuhnya. Beberapa diantaranya jalur Bronggang-Klangon.
Tak hanya kedua warga Dusun Ngancar dan Kalitengah Lor saja yang mengeluh dengan jalur evakuasi yang belum sepenuhnya baik. Warga Dukuh Srunen, Sukatmin sebelumnya sempat mengajukan perbaikan pada 2018 hingga 2019. Namun hingga saat ini, perbaikan belum sepenuhnya selesai.
"Ada dusun Glagahmalang, Singlar, Srunen, Kalitengah Kidul dan Lor yang dekat dengan jalur rusak itu. Bila diperbaiki, kami rasa evakuasi akan lebih mudah. Jadi tidak hanya satu jalur (Jalan Kikis) saja, ada jalan lain untuk memudahkan evakuasi jika benar-benar Merapi erupsi," ungkap Sukatmin saat ditemui di Balaidesa Glagaharjo, Kamis (9/7/2020).
Sukatmin yang pada waktu itu bersama Dukuh Kalitengah Lor, Suwondo menunjukkan kami keadaan jalur yang tak bisa dilintasi kendaraan pribadi. Jalur Bronggang-Klangon sendiri kerap menjadi jalur penambangan yang biasa dilintasi truk bermuatan pasir. Ia mengatakan, pihak desa sudah membenahi jalan sepanjang satu kilometer. Perbaikan sendiri menggunakan swadaya desa.
"Dari desa hanya bisa membenahi lebih kurang satu kilometer. Jadi ada sisa dua kilometer yang masih rusak. Pengajuan perbaikan sudah kami kirimkan ke Pemkab Sleman mulai 2018, 2019 dan terakhir 2020 ini. Tapi hal itu selalu mundur, bahkan saat muncul wabah Covid-19, perbaikannya tidak bisa dipastikan kapan," kata dia.
Sukatmin tidak memungkiri jika aktivitas penambangan akan tetap berjalan sebelum ada pernyataan Merapi siaga atau dalam keadaan bahaya. Ia mengamini bahwa penambangan tak bisa serta merta dihentikan. Kendati begitu, akses jalan masyarakat yang masih kurang dapat menjadi perhatian pemerintah.
“Jika dilihat sudah bukan lubang lagi, tapi jalannanya hancur. Memang sebagian jala sudah diaspal, tapi masih ada sisa jalan untuk menuju Balaidesa belum diperbaiki. Jika memang kondisi merapi saat ini harus diwaspadai, setidaknya jalur masyarakat segera diperbaiki. Saat ini kami hanya bisa melintasi Jalan Kikis yang berbatasan dengan Klaten dan Sleman,” terang dia.
BPBD Sleman siapkan 17 jalur evakuasi di lereng Merapi
Tepisah, Kepala Bidang Logistik dan Kedaruratan BPBD Sleman, Makwan menjelaskan dari perencanaan kontingensi erupsi Gunung Merapi Tahun 2020, terdapat 7 desa dari tiga kecamatan yang cukup terdampak ketika Merapi erupsi.
Dari tujuh desa tersebut terdapat sekitar 16.084 jiwa dan ternak sebanyak 7.265 ekor yang tinggal serta terbagi di 24 Dusun.
Tiga kecamatan tersebut antara lain, Kecamatan Turi yang terdiri dari desa Girikerto dan Wonokerto. Kecamatan Pakem terdiri dari desa Purwobinangun dan Hargobinangun. Kecamatan Cangkringan yang terdiri dari desa Umbulharjo, Kepuharjo dan Glagaharjo.
BPBD Sleman telah menyiapkan sejumlah jalur evakuasi untuk ketujuh desa yang berada di kaki gunung Merapi. Terdapat lebih kurang 17 jalur evakuasi. Sebagian kondisinya memprihatinkan dan beberapa lainnya masih bisa diakses masyarakat.
Dijabarkan dari perencanaan kontingensi erupsi Gunung Merapi Tahun 2020, jalur evakuasi diantaranya, di Desa Glagaharjo terdapat Jalan Kikis yang berbatasan dengan Klaten dan Sleman. Desa Kepuharjo terdapat Jalur Plosokerep-Watuadeg-Dongkelsari-Kiyaran, Jalan Utama Kepuharjo-Plagrok-Gondangpusung-Geblog-Dongkelsari.
Desa Umbulharjo terdapat jalur yang menghubungkan Dusun Karangkendal-Jalan Kulon Golf-Dusun Plosokerep, Jalan Tangkisan-Gondang-Balong-Gambretan-Karanggeneng. Selain itu terdapat jalur dari Masjid Nur Iman-Karanggeneng-Gathak-Bedoyo-Brayut.
Desa Hargobinangun di Kecamatan Pakem, terdapat Jalan Kaliurang sebagai jalur evakuasi yang kondisinya saat ini masih cukup baik.
Desa Purwobinangun terdapat jalur evakuasi dari Lapangan Ngepring-Kratuan-Ngelosari-Candi-Tawangrejo, titik kumpul Ngandong Mbah Diro-Kemirikebo-Bangunmulyo-Nangsri.
Sementara Desa Wonokerto terdapat jalur evakuasi Jalur Tunggularum-Gondoarum-Sempu-Ledoklempong-Imorejo.
"Kondisinya (Jalur Evakuasi) sebagian perlu dibenahi dan sebagian lainnya masih bisa dilintasi masyarakat. Tentunya nanti kami evaluasi dari hasil pengecekan yang kami lakukan beberapa pekan ini," terang Makwan.
Dirinya tak menampilkan jika beberapa jalur evakuasi kerap dilintasi kendaraan berat, terutama kawasan yang biasa digunakan oleh penambang. Kendati demikian, ada jalur khusus yang disiapkan pemangku wilayah agar tak merusak akses jalan tersebut.
"Misal seperti di jalur yang akan menuju Kaliadem. Memang banyak truk-truk yang melintas, tapi warga juga sudah membuat jalur khusus untuk truk," katanya.
Beberapa jalur memang rusak akibat kendaraan penambang, kata Makwan. Meski begitu, jika memang ada peningkatan aktivitas Gunung Merapi yang dapat membahayakan masyarakat, jalur penambangan akan ditutup.
"Tentu ada pemberitahuan lebih dahulu ketika ada peningkatan aktivitas Gunung Merapi atau berubah status siaga. Nah penambangan akan dihentikan, dan jika ada jalur yang rusak, masih ada waktu untuk memperbaiki. Artinya akses tersebut bisa dilalui oleh masyarakat," kata Makwan.
Aktivitas Gunung Merapi saat ini masih mengalami peningkatan, jika masyarakat harus dievakuasi, barak atau tempat perlindungan sementara juga sudah disiapkan pemerintah.
Pemerintah Kabupaten Sleman telah menyediakan lebih kurang 20 bapak pengungsian. Beberapa diantaranya dikhususkan untuk masyarakat lansia dan kelompok rentan.
"Dari barak yang telah disediakan bisa menampung 300-400 orang. Tersebar di sejumlah desa nantinya akan tetap kami pantau untuk penggunaan. Pasalnya ditengah pandemi seperti ini kami upayakan untuk mengurangi kerumunan," kata Makwan.
Makwan menjelaskan jikapun terjadi erupsi Merapi, pemerintah menawarkan evakuasi berbasis keluarga. Dimana nantinya masyarakat yang memiliki keluarga di lokasi yang lebih aman akan diarahkan ke lokasi tersebut.
“Ada sejumlah opsi agar mereka tetap selamat dengan protokol keamanan covid-19. Beberapa evakuasi nanti ada yang kami tawarkan dengan berbasis keluarga. Jadi kami tawarkan mereka dievakuasi ke tempat yang lebih aman dari lereng merapi ke keluara yang ada di wilayah lebih rendah,” tambah dia.
Meningkatnya aktivitas gunung Merapi dibenarkan BPPTKG, sejak erupsi Merapi yang terjadi dua kali berturut-turut pada 21 Juni 2020 lalu, terdapat penggembungan atau deformasi tubuh Merapi sebesar 0,5 cm setiap harinya.
Deformasi saat ini mengikuti perilaku sebelum erupsi tahun 2006 silam
Kepala BPPTKG, Hanik Humaida menjelaskan bahwa penggembungan itu terjadi satu hari selepas erupsi, pada 22 Juni 2020. Saat itu mulai terlihat penggembungan yang terjadi di wilayah Babadan atau barat laut.
"Ini merupakan aktivitas Merapi sebagai gunung api yang masih aktif di Indonesia. Meski telah terjadi penggembungan hal itu tak perlu dikhawatirkan. Potensi erupsi jelas ada karena memang gunung ini aktif," ungkap Hanik saat pengecekan ke pos pantau Merapi, Kamis (9/7/2020).
BPPTKG belum bisa memastikan potensi bahaya akan berdampak ke wilayah mana ketika erupsi Merapi terjadi seperti 10 tahun lalu. Pasalnya hingga kini pihaknya belum melihat adanya magma atau material di dalam gunung yang mendekati kubah lava.
Namun mengingat bekas erupsi yang aliran laharnya mengarah ke Kali Gendol, diprediksi material akan jatuh ke lokasi yang sama. Ancamannya juga tak jauh berbeda seperti luncuran awan panas dan runtuhnya kubah lava serta lontaran material akibat erupsi eksplosif.
"Potensi tumpahnya material yang saat ini bisa diprediksi adalah ke Kali Gendol. Namun sekali lagi, ini masih prediksi karena kami belum melihat material (magma) yang mencapai permukaan kawah gunung," terangnya.
Melalui metode Electronics Distance Measurements (EDM) untuk mengukur deformasi pada sebuah Gunung Api, BPPTKG menyebut bahwa erupsi yang terjadi saat ini mengikuti karakter pada erupsi 2006 silam.
Pada 2006 silam, dari pos pemantauan Kaliurang atau bagian selatan, laju penggembungan yang terjadi sebesar 4 cm tiap harinya dengan laju deformasi di wilayah Babadan atau barat laut sebesar 0,7 cm.
Erupsi Gunung Merapi pada 2006 terbilang tak seberapa dibanding erupsi 2010. Hanik menjelaskan bahwa laju deformasi yang terjadi pada 2010 mencapai 10 cm tiap harinya yang terpantau dari wilayah Kaliurang (sisi selatan).
"Perilaku deformasi saat ini lebih mengikuti perilaku deformasi menjelang erupsi 2006. Sehingga perilaku erupsi nantinya diperkirakan akan mengikuti perilaku erupsi 2006," ujar Hanik.
Dirinya terus mengimbau kepada masyarakat untuk tetap menjaga batas aman radius 3 kilometer dari puncak Merapi. Hingga kini Merapi masih dalam status waspada, ia melanjutkan masyarakat yang tinggal dan berdekatan dengan potensi bencana ini harus selalu bersiap ketika ada informasi Merapi.
Liputan khas ini ditulis oleh reporter Suarajogja.id, Muhammad Ilham Baktora