Bikin Riset Tentang Endapan Kapur, Film Najwa Raih Penghargaan Kemendikbud

Najwa berharap hasil risetnya tentang penyaringan air kapur bisa diterapkan di kampungnya

Galih Priatmojo
Kamis, 22 Oktober 2020 | 15:18 WIB
Bikin Riset Tentang Endapan Kapur, Film Najwa Raih Penghargaan Kemendikbud
Santri Najwa menunjukkan film hasil risetnya tentang mengatasi endapan kapur di air bersih yang kerap jadi masalah di Gunungkidul, Kamis (22/10/2020). [Kontributor / Julianto]

SuaraJogja.id - Sebagian wilayah Gunungkidul yang berkapur terkadang mendatangkan persoalan tersendiri bagi masyarakat setempat. Endapan kapur sering muncul di air yang mereka konsumsi.

Seperti yang terjadi di wilayah padukuhan Keruk 2 Kelurahan Banjarejo kapanewon Tanjungsari Gunungkidul. Endapan kapur selalu muncul di air yang mereka konsumsi terutama air yang diambil dari mata air setempat. Endapan kapur tersebut muncul ketika air yang akan mereka konsumsi dimasak terlebih dahulu.

Dukuh Keruk 2 Eka Suryanti menuturkan, persoalan endapan kapur sudah muncul sejak jaman dahulu. Warga di tempatnya berusaha menghilangkan endapan kapur tersebut dengan melakukan penyaringan menggunakan kain kasa berwarna putih ketika akan mengkonsumsinya.

Meskipun akhirnya bisa menjernihkan kembali air yang telah dimasak, namun ternyata masih ada sisa sisa endapan kapur di dalam air tersebut. Endapan kapur tersebut juga sering membuat peralatan dapur mereka rusak. Karena kerak kerak putih dari endapan kapur melekat di perkakas yang mereka gunakan.

Baca Juga:Intensitas Kampanye Tatap Muka di Gunungkidul Tertinggi di Indonesia

"Airnya itu jernih tetapi kalau direbus nanti ada endapan kapur menempel ceret yang digunakan untuk memasak,"ujar Suyanti ketika ditemui di rumahnya, Kamis (22/10/2020).

Bagi keluarga yang mampu mereka lebih memilih untuk menggunakan air mineral atau galon yang dijual secara umum. Air yang berasal dari sumber mata air di tempat mereka hanya digunakan untuk keperluan mandi dan mencuci. Karena mereka khawatir dapat menimbulkan penyakit ketika akan dikonsumsi.

Namun bagi warga yang kurang mampu mereka tetap menggunakan air dari sumber mata air setempat untuk dikonsumsi. Satu-satunya cara yang digunakan adalah melakukan penyaringan dengan menggunakan kain kasa berwarna putih ketika akan mengkonsumsinya.

"Ya mau bagaimana lagi. Harus dikonsumsi,"paparnya.

Persoalan inilah yang menjadi keprihatinan dari seorang santri yang bernama Najwa Zahratul Amalia. Santri dari Muhammadiyah Boarding School Al Mujahiddin ini melakukan inovasi. Dengan dibimbing oleh salah seorang ustadzahnya, Ilya Rosida, remaja ini menggunakan waktu Belajar Di Rumah (BDR) dengan melakukan riset.

Baca Juga:Cegah Klaster Liburan, Dinpar Gunungkidul Ingatkan Protokol Kesehatan

Riset itu sendiri ia lakukan karena juga ingin mengikuti sebuah kontes yang dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Risetnya itu pula yang menghantarkan dirinya menjadi juara satu dalam produksi film pendek pada kompetisi Sains (science), Teknologi (technology), Teknik (engineering), Seni (art) dan Matematika (mathematic) Ki Hajar Award yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Tema tersebut lantas ia diskusikan dengan orangtua dan juga gurunya. Selama tiga hari ia lantas mulai mengikuti proses produksi film pendek dengan judul penyaringan air kapur.  Dalam film tersebut ia menyiapkan penyaringan air kapur, lokasinya di rumahnya sendiri.

Mulanya ia menyiapkan biji daun kelor, arang aktif, ijuk, batu kelor, pasir pantai, zeloit dan air yang mengandung kapur. Seperti yang diketahui, air kapur jika dikonsumsi secara berlebih akan menyebabkan penyakit ginjal dan penyakit lainnya.

Film yang ia produksi lantas masuk dalam 80 besar. Hingga awal Oktober lalu, ia dinobatkan sebagai 5 besar. Ia juga mengikuti webinar yang diselenggarskan Kemedikbud sekaligus diwawancarai dalam jaringan terkait proses produksi film tersebut.

"Kemudian saat pengumuman ternyata film ini juara satu nasional, saat ini masih proses konfirmasi pengiriman hadiah," papar dia.

Kedepan, Najwa menyimpan harapan, eksperimennya ini dapat menjadi trobosan warga di lingkungan rumahnya. Selama ini, warga sekitar rumahhya hanya menggunakan kain putih untuk melalukan penyaringan air.

"Saya lihat masih ada kerak di tempat penampungan air matang," kata Najwa.

Selama menjadi santri online, ia mengaku tetap mengikuti jadwal seperti kesehariannya di pesantren. Ia mulai bangun pukul 03.30 WIB untuk melaksanakan Sholat Tahajud, kemudian diteruskan mengaji hingga pagi berlanjut drngan Sholat Duha dan baru mengikuti pelajaran.

"Harapan saya di hari santri ini, kendati di tengah pandemi dan banyak waktu luang, kita harus semangat berkarya dan menorehkan prestasi," tutup dia.

Najwa, begitu santri ini dipanggil mulai menerima informasi lomba pada awal Agustus lalu dari sekolahnya. Ia lantas dipandu gurunya untuk mempersiapkan seleksi dari tingkat kecamatan. Kala itu terdapat 64.505 peserta yang turut dalam seleksi teoritis.

"Seleksinya online, di rumah saya susah sinyal kemudian saya ke rumah saudara yang punya jaringan wifi," tutur putri bungsu pasangan Sugiarto dan Eka Suryanti.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini