Perpecahan terjadi ketika beberapa awaknya merasa berbeda ideologi soal produk jurnalistik yang harus mereka buat. Hingga pada 7 Juli 1991, Bulaksumur resmi berdiri sebagai pers mahasiswa generasi ketiga.
Saat itu, produk utama Bulaksumur adalah surat kabar mahasiswa dan tabloid yang mereka bagikan pada masyarakat umum. Perkembangan zaman dan teknologi kemudian membentangkan ranah produksi mereka ke dunia digital melalui website dan sosial media.

Untuk membedakan produk yang mereka buat dengan Balairung, Rafie memaparkan bahwa bentuk tulisan mereka lah yang bisa dilihat perbedaaannya dengan jelas.
"Kita cenderung memilih tema yang lebih dekat ke mahasiswa, jadi yang enggak berat-berat banget. Misal perkara salah jurusan, atau perilaku mahasiswa konsumtif semacam itu. Jadi memang segmentasi saja," kata Rafie.
Baca Juga:Jokowi Dorong UGM Cari Solusi Konsep Pertanian dan Industrialisasi
Atas keamanan topik tersebut, diakui Rafie, organisasinya lebih aman dan tak menimbulkan friksi antar UKM lain dan lingkungan kampus.
"Yang penting sih informatif buat mahasiswa," tegas Rafie.
Untuk urusan awak, SKM UGM Bulaksumur biasanya membuka program pendaftaran untuk para mahasiswa baru di tahun pertama mereka masuk. Setelah itu, mereka akan mengadakan diklat dan training yang dilakukan secara berkala.
Selama diklat dan training ini, para peserta masih berstatus sebagai awak magang. Baru setelah lulus diklat, mereka secara resmi menjadi awak SKM UGM Bulaksumur.

Bukan melulu soal membuat konten dan berburu bahan, para awak SKM UGM Bulaksumur bisa memilih bidang yang lebih spesifik sesuai dengan keinginan mereka.
Baca Juga:Mahasiswa UGM Dituduh Provokator Ricuh di DPRD DIY, Ini Respon Kagama UGM
"Saat ini sih ada 4 angkatan yang terbagi ke empat divisi. Ada redaksi yang liputan. tulis-menulis dan cari berita, terus litbang itu penelitian dan pengembangan. Terus ada produksi, itu ada ilustrasi dan pembuatan produk, sama pemasaran yang cari sponsor," jelas Rafie.
Kendati pers mahasiswa ini masih berada di bawah naungan kampus, namun mereka tak menutup kans untuk mencari uang tambahan melalui iklan dan sponsor yang bisa mereka manfaatkan untuk kegiatan organisasi.
"Cari pengalaman juga Mbak, kayak prinsip kita: edukatif. Jadi bukan cuma edukatif buat pembaca tapi buat anak-anak juga," katanya.
Menjadi mahasiswa Fakultas Kehutanan yang tergabung sebagai pers kampus tak dipungkiri membuat Rafie harus berusaha dua kali lipat agar kuliahnya tak keteteran.
Sempat ada kekhawatiran di benak Rafie ketika lulus nanti ia tak bisa lagi bekerja sebagai seorang jurnalis karena latar belakang jurusannya yang bukan mahasiswa sosial humaniora. Tapi keadaan itu tak membuatnya putus asa dan tetap melanjutkan kegiatannya sebagai bagian dari pers mahasiswa.
Paling tidak, bekal sebagai awak jurnalis kampus bisa membuatnya mengenal bagaimana dinamika dunia media berjalan di negeri ini.