Kisah Mereka yang Menangani Covid-19, Jadi Tempat Curhat Hingga Kerap Demam

dokter Siswanto dan driver ambulans Rismulato menceritakan pengalamannya selama menangani pasien Covid-19.

Galih Priatmojo | Muhammad Ilham Baktora
Selasa, 10 November 2020 | 16:19 WIB
Kisah Mereka yang Menangani Covid-19, Jadi Tempat Curhat Hingga Kerap Demam
Dokter spesialis Paru-paru RSA UGM, dr Siswanto, Selasa (3/3/2020). [Mutiara Rizka / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Sebagai salah satu garda terdepan penanganan Covid-19, tak sedikit dari para dokter yang dihadapkan pada situasional tak terduga. 

Hal ini seperti yang dialami oleh Ketua Tim Covid-19 RSA UGM, dokter Siswanto.

Ia mengaku kerap menerima panggilan bahkan curhatan saat merawat pasien di ruang isolasi.

Kepada SuaraJogja.id, ia bercerita tak sedikit di antara para pasien yang mengalami situasi bingung, galau dan penat. Tak ayal dokter lah yang kerap jadi tumpahan hati, baik dari pasien hingga keluarga pasien.

Baca Juga:Sultan Santai Tanggapi Rekor 74 Kasus Covid-19 di DIY: Kita Adaptasi Saja

"Pernah waktu itu ada ibu anak positif Covid-19 dan dirawat di RSA UGM. Kebetulan suaminya ikut tertular namun gejalanya ringan. Akhirnya suami ibu ini karantina mandiri di rumahnya," ujar Siswanto ditemui di RS setempat beberapa waktu lalu.

Siswanto melanjutkan setelah beberapa hari suami tersebut perawatan mandiri, dia mengalami gejala yang berubah parah. Ketika dirujuk ke RSA UGM ruangan penuh sehingga dilarikan ke RS lain.

"Saat ditempatkan di RS lain, kondisinya malah menurun. Akhirnya suami ini meninggal karena Covid-19," kata dia.

Mendengar suaminya meninggal, sang istri tak kuasa menahan sedih. Siswanto yang selalu memeriksa kondisi pasien itu ikut merasakan kesedihan mereka.

Ketua Tim Penanganan Covid-19 di RSA UGM, dr Siswanto Sp. PD. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]
Ketua Tim Penanganan Covid-19 di RSA UGM, dr Siswanto Sp. PD. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

"Saya ikut menangis waktu itu. Karena kondisi sudah sangat parah dan akhirnya suami ini meninggal. Sekeluarga tentu sedih dan saya merasakan itu," tambah dokter yang merupakan spesialis penyakit dalam tersebut.

Baca Juga:Update Covid-19 di DIY, Kasus Positif Covid-19 Bertambah 70 Pasien

Tidak hanya satu pasien, pasien lainnya juga pernah menceritakan kesedihannya saat dinyatakan positif Covid-19. Ketika itu, pasien adalah seorang wanita yang dirawat di RSA UGM yang datang dari Jakarta. Siswanto tak menceritakan begitu detail untuk menjaga privasi pasien.

"Dia dirawat dan sudah sembuh. Pasien ini sudah berkeluarga dan kembali ke Jakarta. Namun suaminya yang ada di Jakarta terinfeksi virus Covid-19 dan meninggal," ujar dia.

Pasien wanita sengaja ingin menemui suami yang ada di Jakarta dengan mengendarai mobil seorang diri. Di tengah perjalanan itu, ia menelepon Siswanto.

"Dia dapat kontak saya dari teman kenalannya dan menghubungi saya. Dia menceritakan bagaimana kondisi saat itu. Saya mencoba menenangkan dirinya saat itu," ungkap dia.

Bagi Siswanto situasi-situasi tak terduga tersebut merupakan hal biasa yang harus dihadapinya di tengah penanangan Covid-19. Hal tersebut bahkan tak menjadi kendalanya dalam bertugas.

Kerap meriang

Tak berbeda dengan dokter Siswanto, driver ambulans RSUP Dr Sardjito juga punya segudang pengalaman selama turut dalam penanganan pasien Covid-19.

Sosok yang dikenal dengan Rismulato (32) merupakan lulusan D3 otomotif di salah satu kampus di Yogyakarta. Bergabung menjadi pegawai RSUP Sardjito sejak 2017 lalu ditempatkan di UGD rumah sakit setempat.

"Pertama bisa masuk itu, karena saya sering mengantar ayah saya berobat. Karena ada rekrutmen pegawai di website rumah sakit ini, saya mendaftar. Dan bisa masuk sampai sekarang," jelas Rismulato ditemui SuaraJogja.id beberapa waktu lalu.

Berkecimpung di lingkungan medis, dirinya tak menyangka akan menemukan kondisi wabah seperti sekarang. Dimana biasanya saat menjemput pasien cukup memakai seragam, kali ini Rismulato harus mengenakan pakaian hazmat yang tertutup rapat.

"Jadi memang harus tertutup rapat. Mulai dari sepatu, baju, kacamata dan sarung tangan. Karena saya langsung berhadapan dengan pasien Covid-19. Jika tidak, akan berbahaya ketika berkumpul dengan teman bahkan keluarga," ujarnya.

Menjemput pasien Covid-19 dari rumah pasien ke RSUP Dr Sardjito memang tak sering. Namun saat mengantar pasien dari UGD Sardjito ke ruang isolasi paling sering.

"Mungkin dalam sehari belum tentu menjemput pasien. Baru dua-tiga hari ada panggilan untuk menjemput pasien (Covid-19) ke rumahnya. Tapi paling sering saat memindahkan pasien dari UGD ke bangsal belakang RS ini," katanya.

Hampir dalam sehari 10-20 orang yang dia pindahkan. Pasalnya gedung UGD dan bangsal rawat inap berada di lokasi yang berbeda.

"Jadi kami gunakan transportasi mobil untuk memindahkan pasien. Saat mengantar atau jemput pasien ada driver, dokter perawat dan pembantu perawat," ungkap dia.

Sebanyak 20 driver bertugas di RSUP Dr Sardjito. Masing-masing driver mendapatkan sejumlah pelatihan bagaimana menangani pasien, baik positif Covid-19 atau pasien penyakit lain.

Kendati demikian, bagi ayah dua anak yang akrab dipanggil Aris ini pernah mengalami kondisi pikiran yang panik. Sebab, awal munculnya Covid-19 di Indonesia, banyak orang yang meninggal dan terpapar secara signifikan.

"Menghadapi sesuatu yang baru apalagi itu wabah penyakit, jelas kami merasa panik. Tenaga kesehatan termasuk kami juga takut dengan penularan virus yang begitu masif. Tapi kami selalu diberi pelatihan dan diberi fasilitas. Kami ikuti semua aturannya," kata dia.

Awal menjalani tugas di tengah pandemi covid-19, Rismulato mengaku selalu merasa demam dan meriang. Hal itu diakui karena berhadapan langsung dengan covid-19.

driver ambulans RSUP Dr Sardjito, Rismulato. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]
driver ambulans RSUP Dr Sardjito, Rismulato. [Muhammad Ilham Baktora / SuaraJogja.id]

"Saya merasa seperti demam, tapi saat diperiksa suhu tubuh normal. Jadi orang-orang juga heran, saya demam tapi kondisi suhu badan tidak masalah," ujar dia sambil tertawa kecil.

Setelah ditelusuri, Rismulato mengalami semacam kecemasan berlebih. Sehingga ada gejala yang tak biasa yang ditunjukkan seperti merasa demam.

"Jadi hanya datang (rasa demam dan meriang), lalu hilang. Terus datang lagi, dan hilang lagi," katanya.

Beruntung saat ini dirinya sudah terbiasa dan rasa demam itu berangsur hilang. Tapi Rismulato mendapatkan masalah lain. Seragam hazmat yang dia kenakan membuat dirinya merasakan panas, sesak, bahkan sempat tertidur ketika bertugas.

"Pakaian APD jelas tertutup rapat. Sehingga udara juga sedikit yang masuk. Apalagi kami memakai masker yang juga tertutup. Saat ini malah sering kepanasan," jelas dia.

Pernah suatu kali dirinya tertidur saat mengenakan APD. Pasalnya oksigen yang dihirup sedikit dan menyebabkan hilang kesadaran.

"Saat itu sedang menunggu pasien Covid-19 sampai 4 jam. Sambil menunggu saya sudah pakai APD lengkap, tiba-tiba saya tertidur pulas. Hampir ada 15 menit tidur, setelah saya terbangun agak bingung, kenapa tertidur. Jadi kadar oksigen yang dihirup minim dan akhirnya berpengaruh terhadap kesadaran kita, seperti lelah dan tertidur," ujar Rismulato.

Ia menambahkan ada situasi yang lebih ketat lagi ketika menangani pasien Covid-19 dengan bantuan alat pernapasan. Sehingga APD yang dikenakan harus lebih rapat, mengingat penderita sudah dalam kondisi yang dibilang parah.

Menghadapi Covid-19 Rismulato juga harus menghadapi lingkungan tempat tinggalnya. Sebagai orang yang berpotensi besar tertular virus, Rismulato sempat berfikir jika dirinya dapat membahayakan orang sekitar.

Virus tersebut jelas tak terlihat, ia juga tak bisa memastikan ketika pulang apakah masih ada virus yang menempel. Namun dengan ilmu yang dia dapat dari rumah sakit, Rismulato juga memberi edukasi kepada keluarga dan tetangganya.

"Mereka khawatir saat menghadapi situasi ini. Apalagi di rumah masih ada anak dan orang tua yang sepuh (mbah). Tapi dari RS sudah membekali banyak cara menghadapi situasi ini. Setelah bertugas, saya langsung mandi air hangat dan keramas di RS, bisa 5-6 kali saya mandi. Jadi kembali ke rumah steril," terangnya.

Stigma negatif diakuinya pernah dia terima. Kendati demikian hal itu hanya candaan teman sekitar. Keluarga dan orang sekitar rumahnya sudah terbiasa dengan kondisi dan pekerjaannya saat ini.

Bagi Rismulato edukasi kepada masyarakat ini yang paling penting. Penggunaan masker dan penerapan protokol kesehatan terus dilakukan.

Menjadi driver di lingkungan rumah sakit saat ini menjadi pilihannya. Bisa membantu orang sakit dan memberi kenyamanan adalah keyakinan yang ia pegang selama bertugas di lingkungan rumah sakit.

Banyak hal dan pelajaran yang dia ambil selama hampir 4 tahun bertugas. Menemui banyak orang dan saling bertukar informasi menjadi pengalaman dirinya selama di RSUP dr Sardjito.

"Ketika pasien ini merasa nyaman ada hal yang membuat saya senang. Saya juga bertemu banyak orang di sini. Jadi diniati ibadah dengan cara menolong seperti ini," ujar Rismulato yang kerap mengisi pelatihan penjemputan pasien yang terluka itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini