Pengungsi lainnya, Ponirah, memiliki keluhan lain di luar pegal-pegal dan bosan. Keluhan itu terkait dengan tidurnya yang kurang bisa nyenyak selama di pengungsian.
"Tidak bisa tidur kalau di pengungsian, lebih enak di rumah," kata Ponirah.
Kendati begitu, Ponirah tetap mengikuti langkah Dalinem dan ratusan lansia lainnya untuk bertahan sementara waktu di pengungsian. Ia tetap bersyukur masih bisa diberi kesempatan untuk menikmati kehidupan sederhana yang ada di pengungsian.
"Disyukuri mawon [saja] Mas," katanya, lembut.
Baca Juga:Antisipasi Covid-19 di Pengungsian, Dibuat Ruang Karantina di SD Cepitsari
Sementara itu, dokter yang bertugas mengecek kesehatan di barak pengungsian Glagaharjo, Untung Triyawan, menyebutkan, keluhan sejauh ini masih tetap didominasi oleh penyakit degeneratif, mengingat mayoritas pengungsi adalah lansia yang berusia di atas 60 tahun.
"Hipertensi, pegel, ada yang gatel-gatel, tapi walaupun memang itu dipicu oleh stres, tapi itu sudah berbulan-bulan hingga enam bulan lebih, jadi kemungkinan bukan hal lain," ujar Untung.
Menurut Untung, dari pengamatannya selama melakukan pemeriksaan, para lansia terlihat lebih santai. Hal itu tampak dari raut wajah lansia yang ditemuinya.
"Dilihat dari raut muka mbah-mbah di sini juga karena masih ada temen-temennya jadi terlihat lebih enjoy. Hanya mungkin tidurnya saja karena tidak di rumah sendiri," ucapnya.
Terkait penyakit atau gejala Covid-19, kata Untung, baik batuk, sesak, atau deman tidak ditemui. Namun, ia menyoroti protokol kesehatan yang sering terlupakan oleh para pengungsi saat berinteraksi satu sama lain.
Baca Juga:Antisipasi Abu Merapi, Candi Prambanan Andalkan Tenaga Pembersih
"Tantangan bagi kita, kalau orang Jawa itu kan terlalu sopan ya, terus kalau pas ngomong maskernya dibuka. Jaga jarak sudah diingatkan, tapi memang kelupaan juga masih ngobrol deketan. Kita selalu mengingatkan itu," pungkasnya.