SuaraJogja.id - Komite Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas DIY memberikan beberapa catatan penting kepada Pemerintah DIY dan Kabupaten/Kota terkait Perda DIY Nomor 4 Tahun 2012 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang berlaku secara efektif sejak 2014 atau enam tahun silam.
Komisioner Bidang Pemantauan dan Layanan Pengaduan Komite Disabilitas DIY Winarta menyampaikan bahwa sebenarnya dalam kurun waktu enam tahun itu sudah banyak upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas.
Namun, catatan ini perlu diberikan guna terus mendorong Pemerintah DIY dan Kabupaten/Kota untuk memperkokoh pengarusutamaan disabilitas dalam semua program, kebijakan, dan anggaran yang diputuskan ke depan.
Disampaikan Winarta, catatan pertama terkait dengan pendidikan. Meski dalam aturan di setiap jenjang pendidikan dari SD hingga SMA atau SMK sudah diberikan kuota kepada penyandang disabilitas, tetapi pada kenyataannya aturan itu masih belum diindahkan.
Baca Juga:Tidak Ada Keterlibatan Penyandang Disabilitas, Fasum Khusus Masih Minim
"Dalam praktiknya banyak sekolah yang belum siap. Kebijakan sudah ada, tapi implementasinya belum berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Mengakibatkan masih adanya penyandang disabilitas yang ditolak oleh sekolah-sekolah tertentu," kata Winarta saat memberikan keterangan pada awak media, Senin (23/11/2020).
Menurutnya, hal itu tidak hanya bertentangan dengan Perda Nomor 4 tahun 2012, tetapi juga kebijakan Gubernur DIY yang sudah mencanangkan DIY sebagai daerah pendidikan inklusif.
Nantinya, itu akan termasuk dengan layanan yang semestinya diberikan kepada penyandang disabilitas kaitannya dengan akomodasi yang layak. Namun, justru hal itu masih belum diperhatikan sepenuhnya oleh beberapa sekolah.
"Secara sarana dan prasarana pun, mulai dari bangunan sekolah dan lingkungannya yang diharap bisa lebih mudah dalam hal askesibilitas nyatanya itu belum sepenuhnya terpenuhi," ucapnya.
Winarta menganggap Pemerintah DIY dan Kabupaten/Kota belum punya desain yang berkaitan dengan perencanaan capaian sekolah di DIY agar bisa menjadi sekolah yang inklusif. Hal itu yang masih terlewatkan dalam target pembangunan. Mengakibatkan masih adanya persoalan bagi penyandang disabilitas.
Baca Juga:DIY Zona Merah, Pemda Perketat Sanksi Finansial Pelanggar Prokes
Catatan kedua, ada di bidang ketenagakerjaan. Jika mengacu pada Perda DIY Nomor 4 tahun 2012 dan UU Nomor 8 tahun 2016, di situ tercatat bahwa kuota kerja bagi penyandang disabilitas sudah ada. Dimana setidaknya kuota kerja penyandang disabilitas itu adalah satu persen di perusahaan swasta dan dua persen di instansi pemerintah baik menjadi aparatur sipil negara maupun di BUMN atau di BUMD.
"Tapi itu belum bisa berjalan dengan baik. Di sektor swasta saja belum banyak perusahaan yang memberikan kuotanya. Kemudian, di instansi pemerintahan itu malah lebih jauh lagi saat bicara tentang melaksanakan penerapan kuota itu," jelasnya.
Dari perhitungan yang dilakukan pihaknya, diketahui belum ada perusahaan baik swasta atau instansi yang memenuhi target kuota itu. Bahkan untuk penerimaan PNS pun juga belum mencapai 2 persen.
"Jadi ketercapaian untuk seluruh PNS pun akan sangat sulit untuk tercapai kuota 2 persen saja. Karena setiap rekrutmen itu tidak bisa mencapai 2 persen. Entah sampai kapan itu tidak akan bisa tercapai. Termasuk yang untuk ASN tapi bukan PNS, hanya tenaga teknis dan sebagainya itu juga belum memperhatikan kuota untuk penyadang disabilitas," bebernya.
Sementara itu adanya formasi khusus untuk penyandang disabilitas di setiap penerimaan PNS juga tidak begitu membantu. Pasalnya persyaratan-persyaratan yang ada belum mencerminkan situasi yang dihadapi oleh teman-teman penyandang disabilitas.
Salah satunya dengan mensyaratkan pendidikan minimal adalah S1, sedangkan kebanyakan penyandang disabilitas belum bisa mencapai pendidikan S1. Dikarenakan memang masih banyak hambatan di sekolah reguler itu sendiri.
"Jadi rata-rata penyandang disabilitas berpendidikan SMP dan SMA saja. Kualifikasi S1 yang paling gampang dicari dari teman-teman penyandang disabilitas adalah jurusan Pendidikan Luar Biasa, sedangkan kebutuhan di jurusan itu juga tidak banyak," terangnya.
Belum lagi berbicara tentang beberapa ketentuan yang menyebut bahwa penyandang disabilitas yang melamar formasi khusus ke PNS tidak boleh punya pendampingan. Artinya yang bersangkutan benar-benar harus bisa melakukan sendiri. Padahal sejatinya pendamping itu adalah hak teman-teman penyandang disabilitas.
"Jadi masih banyak problem terkait dengan itu. Saya kira juga perlu menjadi catatan karena persoalan mengenai pematangan hak penyandang disabilitas itu belum sepenuhnya ada di kalangan pembuat kebijakan," sebutnya.
Termasuk dengan sosialisasi yang masih harus ditingkatkan melihat masih banyaknya pembuat kebijakan atau aparatur sipil negara yang belum tahu keberadaan Perda 4 tahun 2012. Atau bahkan sepenuhnya paham mengenai hak penyandang disabilitas.
"Itu salah satu sumber mengapa di DIY hak penyandang disabilitas di samping, sudah menunjukkan kemajuan tapi masih banyak yang mengalami hambatan," tuturnya.
Sementara itu terkait dengan peraturan-peraturan sektoral lain yang dibuat oleh pemerintah, pihaknya menyarankan untuk menunggu proses perubahan Perda Nomor 4 tahun 2012. Sebab, perda perubahan ini akan menyesuaikan dengan Undang-undang nomer 8 tahun 2016.
Supaya nantinya produk hukum yang baru di DIY baik ditingkat provinsi maupun kabupaten/kota itu lebih selaras dengan perubahan kebijakan terkait hak difabel di tingkat internasional maupun nasional.
Terakhir pihaknya menyoroti tentang pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (raperda) yang sedang dibahas oleh dewan dan rencananya bakal diketok pada akhir tahun ini. Menurut Winarta, pembahasan raperda tentang pendidikan khusus ini sebaiknya menunggu selesainya pembahasan perubahan Perda Nomor 4 tahun 2012 tadi.
Pasalnya pendidikan khusus itu mengatur salah satu hal yang sebetulnya itu diatur dalam perda induk tentang pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas tersebut. Dikhawatirkan bahwa ketidakselarasan itu sudah terlihat dari naskah akademik atau draft perda tersebut.
"Yang dikhawatirkan adalah perda itu jadi kurang mendukung deklarasi Gubernur DIY mengenai daerah pendidikan inklusif. Mengapa lebih memprioritaskan peraturan mengenai pendidikan khusus? Memang walaupun pendidikan khusus itu menjadi kewenangan pemerintah provinsi tapi jangan lupa pendidikan inklusif itu yang sebetulnya harus didahulukan," tegasnya.
Senada, Ketua Komite Disabilitas DIY Setya Adi Purwanta, juga mengapresiasi Pemerintah DIY dan Pemerintah Kabupaten/Kota dalam kinerjanya selama tiga tahun terakhir. Menurutnya telah ada yang menunjukkan upaya peningkatan dalan rangka perlindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di DIY.
Mulai dari pengembangan perspektif disabilitas di sejumlah program kegiatan pemerintah hingga melibatkan beberapa teman-teman penyandang disabilitas untuk bergabung. Selain itu yang tidak kalah penting tentang mendorong DIY sebagai daerah atau provinsi yang inklusif.
"Namun memang masih terdapat kelemahan, salah satunya terkait dengan pengarusutamaan disabilitas yang belum sepenuhnya berjalan di semua organisasi perangkat daerah, baik dalam merancang program hingga mengalokasikan anggaran," ujar Adi.
Selain itu ada permasalahan lain yang nyatanya masih banyak dijumpai oleh teman-teman penyandang disabilitas selama ini. Seperti lemahnya koordinasi dan sinergi dalam pemenuhan hak penyandang disabilitas, masih adanya ASN yang belum paham hak-hak penyandang disabilitas sehingga memperlemah implementasi Perda DIY Nomor 4 tahun 2012.
Serta masih adanya pelanggaran terhadap hak-hak penyandang disabilitas lainnya. Harapannya selain ada pengarusutamaan disabilitas di lingkungan Pemerintah DIY dan Kabupaten/Kota, juga perlu dibangun sinergi yang baik antara setiap organiasi perangkat daerah.