Semangat Punk Tomi, Independensi Harus Terus Dihidupkan demi Ciptakan Karya

Jauh sebelum itu, ketertarikan Tomi dengan dunia punk diawali dengan musik-musik yang dirasa cocok hingga melekat di telinga.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 30 November 2020 | 09:25 WIB
Semangat Punk Tomi, Independensi Harus Terus Dihidupkan demi Ciptakan Karya
Tomi Wibisono dijumpai di Perpustakaan Rumah Kata Jogja - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Apa yang masyarakat pikirkan jika mendengar kata punk? Kebanyakan akan berpikir tentang segerombolan orang yang penuh dengan tato, bertindik, mungkin malah tukang mabuk hingga perusuh saja.

Pandangan negatif masyarakat tentang punk memang sudah terpupuk sejak lama. Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa punk sendiri lebih dari itu. Justru di sini orang luput tentang hal yang paling krusial, yakni semangat punk itu sendiri.

Tomi Wibisono, pemuda di balik munculnya majalah Warning dan perpustakaan Rumah Kata, berkesempatan membagikan sedikit lebih jauh soal semangat punk itu dengan SuaraJogja.id, Minggu (29/11/2020).

Bermula dari ketertarikan pemuda asal Balikpapan, Kalimantan Timur ini untuk membaca buku dan mendengarkan musik punk, kombinasi itu mencetuskan sebuah ide tentang membuat sebuah karya tulis yang berbentuk zine punk.

Baca Juga:Cari Tahu Manfaat Tanaman Obat, Yuk Kunjungi Perpustakaan Herbal

"Dulu waktu masih di Balikpapan sering ngumpul sama komunitas punk. Dari situ awal bikin zine punk, namanya 'Salah Cetax' terus aktif sampai 2012, terus akhirnya sekitar 2013 bikin majalah Warning, yang lebih ke musik secara umum walaupun tetap ada banyak konten tulisan punk di situ," kata Tomi saat ditemui di Perpustakaan Rumah Kata sekaligus juga kantor Warning.

Jauh sebelum itu, ketertarikan Tomi dengan dunia punk diawali dengan musik-musik yang dirasa cocok hingga melekat di telinga. Lewat Blink-182 hingga Superman Is Dead (SID), ia kemudian membuka lingkup pertemanan lagi di dunia punk.

"Ya dari situ, lagu-lagu itu, ikut nongkrong dan mulai makin tertarik dengan mempelajari liriknya tambah seneng aja," ucapnya.

Tomi Wibisono dijumpai di Perpustakaan Rumah Kata Jogja - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)
Tomi Wibisono dijumpai di Perpustakaan Rumah Kata Jogja - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Sebenarnya Perpustakaan Rumah Kata, kata Tomi, awalnya hanya digunakan untuk perpus internal saja dan menjadi tempat yang untuk rekan-rekannya di majalah Warning berbagi ide dan gagasan lewat buku-buku yang mereka bawa dan baca.

Berangkat dari situ, Rumah Kata kemudian berkembang menjadi bagian cukup penting dalam eksistensi majalah Warning. Perpustakaan kolektif yang didanai dan digunakan secara bersama-sama itu akhirnya makin banyak dikenal dan hingga sekarang juga dijadikan tempat untuk membaca sekaligus membeli buku.

Baca Juga:Sebarkan Toleransi Lewat Seni, Puluhan Seniman Melukis Bareng di UIN Sunan

"Ya banyak orang-orang yang sering mendengarkan musik punk terus ke sini. Semua suka baca, terus saat bikin majalah kita bikin perpus kolektif. Ngumpulin bahan bacaan masing-masing waktu itu masih pada kuliah terus disatuin jadilah perpus ini," ungkapnya.

Saat ini Perpustakaan Rumah Kata berada di sebuah kontrakan yang berada di permukiman, tepatnya di daerah Candi Karang, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Koleksinya pun sudah mencapai hampir lebih dari 4.000 buku, belum digabungkan dengan buku-buku yang dijual.

Lalu apa hubungannya dengan punk? Menurut Tomi, semua yang ia kerjakan selama ini didasari oleh semangat itu, semangat punk, semangat kemandirian, anti-spesialis di mana siapa pun boleh merayakan sesuatu. Karya-karya Tomi, mulai dari zine, majalah, perpustakaan, hingga buku, dilandasi oleh semangat itu.

Tomi menuturkan, banyak definisi yang bisa diberikan kepada punk itu sendiri. Namun, ia memilih melihat punk sebagai subkultur karena punk masih berada di dalam bagian budaya yang lebih besar.

"Kalau pemaknaan pribadi punk ini yang ngajarin buat mengajarkan kemandirian tidak tergantung pada apa pun. Aku bisa bikin majalah penerbitan dan lain-lain itu juga berangkat dari semangat punk itu," sebutnya.

Misalnya saja, zine punk yang dibuat Tomi itu, meskipun suka membaca buku, tapi saat itu ada rasa ketidakpercayaan diri padanya untuk menuliskan sesuatu. Namun dengan perkenalannya pada punk dan memaknai semangat kemandirian tersebut, lahirlah zine itu dan berkembang ke majalah hingga penerbitan buku.

Dari tangan Tomi, sudah 12 edisi zine punk yang telah lahir. Untuk majalah sendiri, sudah ada 7 edisi, masih dengan tambahan situs web. Selain itu, juga masih ada 20-an terbitan yang telah dihasilkan dengan 1 buku yang ditulis.

"Kalau dari zine pindah ke majalah itu, aku pengin namanya orang nulis itu menuju pada keterbacaan yang luas. Nah kalau zine sendiri, kala itu masih terlalu segmented ke komunitas punk. Seharusnya teks itu bisa dibaca lebih luas," jelasnya.

Walaupun memang saat ini majalah cetak untuk penyebaran info menurutnya sudah tidak terlalu relevan, tetapi hal lain seperti majalah yang sebagai bentuk romantisme itu sendiri yang masih dianggap menarik.

"Kita bikin majalah saat tren majalan saat itu sedang turun. Waktu Gramedia Grup nutup majalah-majalahnya, tapi memang dulu dianggap sebagai perayaan dan meromantisir bentuk fisik itu tadi," ucapnya.

Lalu saat ini majalah mulai kembali meredup dan bergeser menjadi sebuah hobi. Sekarang, Tomi lebih fokus untuk menghasilkan karya dengan media buku. Menurutnya perpindahan ini karena menanggap buku lebih bisa berumur panjang dibandingkan dengan dua media sebelumnya.

"Misalnya saja kalau seseorang lihat tanggal di majalah yang sudah terlalu lama maka itu sudah tidak menarik untuk dibaca karena kesannya tidak aktual," paparnya.

Terkait dengan respons yang didapat dari setiap karya yang lahir, kata Tomi, sejauh ini semua mendapat respon yang baik. Artinya jika ada buku maka buku itu terjual, begitu juga dengan akses website yang tetap mendapat perhatian tersendiri.

Namun tidak dipungkiri karena memang berangkat dari usaha non-profit, itu yang menjadi kesulitan tersendiri. Sejak zine, hingga majalah kebanyakan dibiayai sendiri oleh penulisnya.

"Kita juga tetep terus coba nyari iklan, tapi emang susahnya minta ampun. Hanya ada beberapa untuk majalah. Nah sekarang untuk penerbitan buku, sudah belajar dari pengalaman yang sudah ada. Dengan segala penataan budgeting dan sebagainya. Kita masuk ke dalam kategori penerbit indie," terangnya.

Kalau tidak kenal punk, tidak seperti ini

Tomi menjelaskan bahwa alasan utamanya bisa sampai pada titik sekarang ini tidak lepas dari kultur punk itu sendiri. Kembali lagi, soal independensi dan kebebasan itu menjadi modal utama dalam setiap karya yang dihasilkannya.

"Apa aja lebih seneng sendiri. Sama halnya dengan pekerjaan yang lebih pilih sekarang ini dibanding harus melamar kerja. Mungkin kalau ngga kenal kultur punk tidak akan bisa jadi seperti ini. Pasti akan minder duluan merasa kurang terus. Keyakinan itu pasti luntur duluan," tegasnya.

Kuncinya, ujar Tomi, bikin saja dulu. Mulai zine hingga majalah keberanian dan keyakinan itu yang membuatnya terus berkembang. Menurutnya hal itu bisa dimaknai sebagai sesuatu yang positif.

Pasalnya memang tidak semua orang punya keberanian untuk memulai sesuatu. Dengan menjadi berani menuliskan sesuatu apalagi untuk dipublikasikan itu modal yang baik. Dari situ juga orang akan terus belajar untuk semakin bertumbuh.

"Ide punk tentang questioning everything itu jadi landasan saja. Sampai buku pertama harus itu judulnya dan memang jadi seperti itu," ungkapnya.

Diakui Tomi, awalnya memang akan ada beberapa pandangan yang berbeda dari pihak-pihak tertentu, termasuk keluarga. Saat pertama mengenal punk, kata Tomi, keluarga di Balikpapan sempat bingung dengan tingkah lakunya.

Sebab saat itu, ia senang memberi barang-barang bekas. Hal itu yang kemudian dipertanyakan oleh orangtuanya. Belum lagi melihat penampilan dan segala macam, kebingungan orangtua juga semakin terlihat.

"Pasti bingung tapi karena bisa menciptakan dialog ya lama-lama dibiarkan. Tidak pernah ditentang hanya dipertanyakan," akunya.

Buku belum dianggap penting

Tomi, yang saat ini berfokus pada penerbitan buku dan juga menulis bukunya sendiri, menilai bahwa buku masih belum dianggap penting oleh masyarakat secara umum. Hal itu sangat terlihat dari cetakan buku yang bisa dihasilkan oleh penerbit indepeneden khusus.

"Dari sekitar 200an juta orang di Indonesia, mau nyetak 1000 buku aja masih sulit. Kenapa gitu? Karena buku tidak dianggap penting. Tidak perlu jauh-jauh, jumlah mahasiswa aja, bisa dihitung yang memang membaca buku," kata Tomi.

Ketika ditanya mengenai tingkat literasi masyarakat Indonesia, diakui Tomi juga tidak terlalu buruk. Artinya masyarakat tetap membaca namun tidak secara spesifik membaca buku. Orang akan cenderung membaca sesuatu di internet saja. Menurutnya hal ini terjadi karena membaca buku yang tidak dipopulerkan juga.

"Kita bangsa peniru, para influencer di medsos itu juga jarang melakukan kampnye tentang membaca buku. Walaupun bukan salah mereka juga tapi ini lebih rumit. Tidak perlu juga sebenarnya untuk menyalahkan pihak-pihak tertentu," ucapnya.

Tantangan lain datang dari mudahnya pembajakan buku oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab. Namun hal ini juga membuat Tomi dilema. Sebab gara-gara punk juga Tomi tidak bisa tegas terhadap pembajakan itu sendiri.

Tomi mengungkapkan bahwa jika mayoritas teman-teman yang berada di industri buku tentu akan memihak anti pembajakan. Sedangkan ia sendiri masih berada dalam dua sisi. Berada di tengah-tengah, tidak sepenuhnya anti dan juga tidak sepenuhnya terima.

"Ini karena dulu semangat punk salah satunya anti copyright. Terus aku juga tumbuh dengan literatur bajakan. Di samping karena sulit akses dan ketidaktahuan juga waktu itu," tuturnya.

Namun semakin ke sini Tomi, semakin sadar bahwa ia melihat banyak pembajak itu justru datang dari industri besar. Industri yang berada lebih di atas atau malah lebih kaya dari penerbit aslinya.

Hal itu membuatnya prihatin karena memang masih ada penerbit yang bahkan setengah mati untuk menghidupi penerbitannya.

"Maka dulu sempet tulisan tentang bajak bijak. Saat itu ada respon yang bilang kalau aku bisa ngomong gitu karena belum penah dibajak. Eh akhirnya tiba waktunya juga buku sendiri dibajak. Ternyata setelah ditelusuri yang bajak adalah akun kecil bukan industri besar," sebutnya.

Menurutnya situasi akan berbeda jika ia tidak mengenal kultur punk sejak awal. Namun dengan kondisi yang sudah ada saat ini disikapi Tomi sebagai sebuah landasan untuk terus berpijak dan berkembang di masa mendatang.

"Kalau tidak kena kultur punk mungkin sudah tegas anti pembajakan tapi balik lagi ada punk tadi jadi gini," pungkasnya sambil terkekeh.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak