SuaraJogja.id - Apa yang masyarakat pikirkan jika mendengar kata punk? Kebanyakan akan berpikir tentang segerombolan orang yang penuh dengan tato, bertindik, mungkin malah tukang mabuk hingga perusuh saja.
Pandangan negatif masyarakat tentang punk memang sudah terpupuk sejak lama. Namun, tak banyak orang yang tahu bahwa punk sendiri lebih dari itu. Justru di sini orang luput tentang hal yang paling krusial, yakni semangat punk itu sendiri.
Tomi Wibisono, pemuda di balik munculnya majalah Warning dan perpustakaan Rumah Kata, berkesempatan membagikan sedikit lebih jauh soal semangat punk itu dengan SuaraJogja.id, Minggu (29/11/2020).
Bermula dari ketertarikan pemuda asal Balikpapan, Kalimantan Timur ini untuk membaca buku dan mendengarkan musik punk, kombinasi itu mencetuskan sebuah ide tentang membuat sebuah karya tulis yang berbentuk zine punk.
Baca Juga:Cari Tahu Manfaat Tanaman Obat, Yuk Kunjungi Perpustakaan Herbal
"Dulu waktu masih di Balikpapan sering ngumpul sama komunitas punk. Dari situ awal bikin zine punk, namanya 'Salah Cetax' terus aktif sampai 2012, terus akhirnya sekitar 2013 bikin majalah Warning, yang lebih ke musik secara umum walaupun tetap ada banyak konten tulisan punk di situ," kata Tomi saat ditemui di Perpustakaan Rumah Kata sekaligus juga kantor Warning.
Jauh sebelum itu, ketertarikan Tomi dengan dunia punk diawali dengan musik-musik yang dirasa cocok hingga melekat di telinga. Lewat Blink-182 hingga Superman Is Dead (SID), ia kemudian membuka lingkup pertemanan lagi di dunia punk.
"Ya dari situ, lagu-lagu itu, ikut nongkrong dan mulai makin tertarik dengan mempelajari liriknya tambah seneng aja," ucapnya.

Sebenarnya Perpustakaan Rumah Kata, kata Tomi, awalnya hanya digunakan untuk perpus internal saja dan menjadi tempat yang untuk rekan-rekannya di majalah Warning berbagi ide dan gagasan lewat buku-buku yang mereka bawa dan baca.
Berangkat dari situ, Rumah Kata kemudian berkembang menjadi bagian cukup penting dalam eksistensi majalah Warning. Perpustakaan kolektif yang didanai dan digunakan secara bersama-sama itu akhirnya makin banyak dikenal dan hingga sekarang juga dijadikan tempat untuk membaca sekaligus membeli buku.
Baca Juga:Sebarkan Toleransi Lewat Seni, Puluhan Seniman Melukis Bareng di UIN Sunan
"Ya banyak orang-orang yang sering mendengarkan musik punk terus ke sini. Semua suka baca, terus saat bikin majalah kita bikin perpus kolektif. Ngumpulin bahan bacaan masing-masing waktu itu masih pada kuliah terus disatuin jadilah perpus ini," ungkapnya.
Saat ini Perpustakaan Rumah Kata berada di sebuah kontrakan yang berada di permukiman, tepatnya di daerah Candi Karang, Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman. Koleksinya pun sudah mencapai hampir lebih dari 4.000 buku, belum digabungkan dengan buku-buku yang dijual.
Lalu apa hubungannya dengan punk? Menurut Tomi, semua yang ia kerjakan selama ini didasari oleh semangat itu, semangat punk, semangat kemandirian, anti-spesialis di mana siapa pun boleh merayakan sesuatu. Karya-karya Tomi, mulai dari zine, majalah, perpustakaan, hingga buku, dilandasi oleh semangat itu.
Tomi menuturkan, banyak definisi yang bisa diberikan kepada punk itu sendiri. Namun, ia memilih melihat punk sebagai subkultur karena punk masih berada di dalam bagian budaya yang lebih besar.
"Kalau pemaknaan pribadi punk ini yang ngajarin buat mengajarkan kemandirian tidak tergantung pada apa pun. Aku bisa bikin majalah penerbitan dan lain-lain itu juga berangkat dari semangat punk itu," sebutnya.
Misalnya saja, zine punk yang dibuat Tomi itu, meskipun suka membaca buku, tapi saat itu ada rasa ketidakpercayaan diri padanya untuk menuliskan sesuatu. Namun dengan perkenalannya pada punk dan memaknai semangat kemandirian tersebut, lahirlah zine itu dan berkembang ke majalah hingga penerbitan buku.