Lawan Masalah Sampah, Bukhi Lahirkan Toko Kelontong Ramah Lingkungan

Bukhi menuturkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada sekitar 60 hingga 70 persen produk di Ranah Bhumi yang merupakan produk lokal.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 14 Desember 2020 | 15:35 WIB
Lawan Masalah Sampah, Bukhi Lahirkan Toko Kelontong Ramah Lingkungan
Pendiri bulkstore atau toko kelontong ramah lingkungan Ranah Bhumi, Bukhi Prima Putri, ditemui di Ranah Bhumi, yang beralamat di Jl Gerilya No 646 B, Prawirotaman, Brontokusuman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Minggu (13/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

SuaraJogja.id - Sampah menjadi persoalan klasik hampir di setiap wilayah, khususnya Indonesia. Pengelolalan sampah yang masih jauh dari kata memadahi hingga produksi sampah plastik yang tak terkendali menjadi sebabnya.

Banyak orang masih tak acuh akan persoalan yang terus mengancam itu. Namun, tak sedikit juga yang mulai merasakan kegelisahan dalam hatinya untuk bisa mengurangi sedikit beban bumi yang sudah tua dari sampah-sampah yang dihasilkan.

Bukhi Prima Putri (36) merupakan salah satu orang yang sudah merasakan kegelisahan itu. Ia merasakan kegelisahan di dalam hidupnya yang terasa kurang relvean dengan lingkungan sekitarnya.

Timbul pertanyaan besar dalam benak Bukhi tentang peradaban yang ideal itu seperti apa -- apakah memang saat ini sudah menjadi peradaban yang ideal? Jika memang bukan atau belum, lalu peradaban yang ideal itu bagaimana?

Baca Juga:Mengintip Budi Daya Maggot di Sleman, Berdayakan Warga Terdampak Tol

Pertanyaan-pertanyaan yang muncul itu mendorong Bukhi untuk memacu dirinya agar bisa menemukan jawaban hingga akhirnya ia melakukan beberapa cara dan petualangan untuk mencari jawaban atas kegelisahannya tadi.

"Untuk menajwab pertanyaan itu, aku membuat riset independen, mengajak temen-temen untuk mencari tahu jawaban pertanyaan tadi. Terbentuk akar institut yang di situ kita mencari tahu tokoh atau tempat yang sudah menjalankan atau punya sistem perabadan yang ideal. Indikatornya, kalau orang yang bersangkutan bahagia, berarti sudah, dia sudah menjalankan gaya hidup yang ideal itu," kata Bukhi saat ditemui SuaraJogja.id di toko kelontong sekaligus tempat tinggalnya, di Prawirotaman, Minggu (13/12/2020).

Pada 2015, petualangan Bukhi dilanjutkan sampai ke Bali. Di sana ia menemukan satu tempat yang telah menerapkan gaya hidup selaras dengan alam dan lingkungan sekitarnya.

Suasana berbelanja di toko kelontong Ranah Bhumi, yang beralamat di Jl Gerilya No 646 B, Prawirotaman, Brontokusuman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Minggu (13/12/2020) - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)
Suasana berbelanja di toko kelontong Ranah Bhumi, yang beralamat di Jl Gerilya No 646 B, Prawirotaman, Brontokusuman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Minggu (13/12/2020) - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Dari situ Bukhi belajar untuk menerapkan gaya hidup itu di dalam kesehariannya. Setelah sekian lama, ia terbiasa menjalani gaya hidup seperti itu.

Saat tiba waktu pindah ke Jakarta, ternyata Bukhi merasakan sesuatu yang berbeda. Ia menyadari bahwa tidak ada ekosistem yang mendukung seperti yang dirasakannya di Bali.

Baca Juga:Prihatin Pertanian Terdampak Tol, Mardi Berdayakan Warga Budidaya Magot

"Jadi ya ngerasa untuk bikin sendiri aja daripada menunggu ekosistem itu terbentuk. Jadi kita yang berusaha bikin ekosistem itu sendiri. Tahun 2019 baru memutuskan ke Jogja," ucap mantan mahasiswa arsitektur itu.

Di Jogia inilah, Bukhi akhirnya memutuskan untuk membuat sebuah toko kelontong dengan mengadaptasi gaya hidup yang telah dipelajarinya dulu. Lahirlah Ranah Bhumi, atau yang sering disebut juga bulk store, toko yang sudah menerapkan konsep zero waste.

Dijelaskan bahwa zero waste lifestyle merupakan sebuah gaya hidup -- bukan berarti sepenuhnya lantas tidak menghasilkan sampah sama sekali, tetapi lebih kepada gaya hidup yang mengajarkan orang untuk melihat dan mengevaluasi bahwa sesuatu yang dikonsumsi bisa memberi dampak bagi lingkungan sekitarnya.

"Rencana awal itu mau keliling ke desa-desa di Jogja pakai bus gitu, tapi bus memakan waktu sekitar dua tahun untuk direnovasi dan rekondisi. Nah sembari mencari tanah waktu itu, aku dan partner-ku melewati toko ini dan seolah memanggil-manggil, eh dan kebetulan juga dikontrakkan," terangnya.

Bukhi mengungkapkan bahwa sebenarnya ada beberapa pilihan atau ide sebelum akhirnya jatuh kepada bulk store ini, mulai dari tour and travel, coworking space, perpustakaan, dan sebagainya.

"Lalu kita berpikir apa yang relevan untuk masyarakat sekitar sini. Kebetulan juga waktu itu kondisinya saat pasar tradisional Prawirotaman direlokasi. Kita tanya orang-orang sini butuhnya apa, ya butuh toko kelontong karena pasar belum ada lagi," sebutnya.

Dari situlah muncul ide dan keberanian untuk menghadirkan suatu toko kelontong yang berbeda dari biasanya -- toko kelontong yang punya produk-produk dan konsep lebih selaras dengan kondisi kebutuhan alam sekitarnya.

Keraguan tidak dipungkiri Bukhi tetap ada. Namun, ia dan rekan-rekan lainnya tetap yakin untuk bisa mendekatkan toko kelontong ini kepada masyarakat sekitar.

Bahkan, Bukhi juga mengaku bahwa toko kelontong ini sebenarnya merupakan dapur dari rumah atau tempat tinggalnya dan teman-teman dari ide awal menciptakan sebuah tempat yang kondusif untuk menjalankan gaya hidup seperti kondisi di Bali saat itu.

Hal itu selaras dengan keyakinan Bukhi untuk membuat tempat itu menjadi rumah atau tempat yang nyaman terlebih dulu. Jika orang-orang di dalamnya sudah merasa senang dan nyaman, maka orang lain yang hadir masuk ke dalam tempat itu akan merasakan hal yang sama.

"Toko kelontong ini sebagai dapur kita sebenarnya. Kalau dihitung kita mulai mengumpulkan produk itu bulan Mei dan Juni dan baru buka pada 1 Oktober kemarin dengan segala renovasinya juga," tuturnya.

Dikatakan Bukhi, dari respons warga, awalnya kehadiran toko kelontong miliknya dinilai aneh. Warga sekitar menilai bahwa toko kelontong ini terlalu mewah dan rapi. Hal itu yang membuat tidak sedikit warga yang segan untuk masuk walaupun hanya sekadar melihat-lihat.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, komunikasi terus berlangsung antara Bukhi dan rekan-rekannya di Ranah Bhumi dengan warga sekitar, dimulai dari mencoba kenal satu sama lain sekaligus mengenalkan produk-produknya.

"Nah di situ ada transfer knowledge bahwa kebutuhan mereka ternyata bisa dihasilkan sendiri lo selama ini. Saling ada komunikasi yang terjalin, sehingga ada hal-hal baru yang didapat, bahkan ibu-ibu sekitar ada yang ikut berkontribusi untuk menjual produk di toko kita pada akhirnya," ujarnya.

Bukhi menuturkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada sekitar 60 hingga 70 persen produk di Ranah Bhumi yang merupakan produk lokal. Sementara itu, 20 sampai 30 persen lainnya berasal dari luar Jogja, tapi masih di Indonesia, ditambah dengan 10 persen adalah produk impor.

Terkait dengan produk impor tersebut, menurut Bukhi, hal itu tetap tidak akan dihilangkan dari ketersediaan produk yang ada. Sebab, itu dimaknai sebagai jaringan untuk berdiplomasi selain juga untuk bisa mengetahui perkembangan desain dan cara negara lain berpikir tentang produknya.

Disinggung terkait dengan harga produk yang kadang dianggap oleh masyarakat lebih mahal dibandingkan dengan toko kelontong biasa, Bukhi menilai bahwa masyarakat kadang masih luput.

"Jadi dari harga yang murah kita tidak tahu apa yang terjadi di baliknya. Misal produk industri, baju murah di baliknya ada buruh yang dibayar murah hingga tidak sejahtera dan persoalan lain yang dihadapi. Kita selalu memaparkan itu, tapi terserah pada orang yang mendengar apakah akan mengubah gaya hidup itu atau tidak. Keputusan di tangan mereka. Minimal kita sudah sampaikan pada mereka," jelasnya.

Bukhi mengambil contoh lain, semisal sabun atau deterjen pakaian yang dibuat oleh industri besar dan dijual dengan harga murah.

Ada fakta yang tidak terlihat di belakangnya, mulai dari dampak pada lingkungan setelah pemakaian bahan itu seperti sungai yang kotor hingga tanah yang gersang karena unsur kimia mulai membunuh mikroorganisme yang ada di tanah dan lainnya.

"Itu unsur-unsur yang tidak terlihat dan harusnya kita bayar dan dimasukkan dalam cost production sebuah produk. Tidak boleh lalu menutup sebelah mata begitu saja," tegasnya.

Menurut Bukhi, memang bukan hal mudah untuk memberikan pemahaman itu kepada orang lain. Walaupun memang di awal ada perasaan dan kesadaran untuk menerima, tetapi itu kadang tak bertahan lama.

Ada banyak distraksi yang membuat kesadaran di awal tadi hilang dan terbuang sebab tidak dikumpulkan kembali. Konsistensi menjadi hal yang paling susah dilakukan dalam menjalani gaya hidup ini.

Menurutnya, berterima kasih kepada hal-hal kecil bisa menjadi cara yang paling mudah untuk dilakukan. Rasa terima kasih itu akan menjadi rantai untuk sebuah aktivitas atau kegiatan yang bakal dilakukan di masa mendatang.

"Utamakan adab daripada ilmu, kalau kita lihat ada orang yang melakulan tindakan yang tidak sesuai dengan yang kita tahu. Jangan kasih tahu dulu ilmunya bahwa itu salah, tapi tunjukin aja dulu adabnya dengan kasih contoh dulu," sarannya.

Bukhi menambahkan, kehadiran Ranah Bhumi mendapat perhatian tidak hanya dari orang dewasa atau ibu-ibu di sekitar wilayahnya, tapi juga dari anak-anak muda. Harapannya itu menjadi bekal bagi anak-anak muda ini untuk terus berkembang ketika mereka memutuskan sesuatu di masa mendatang.

Sementara itu, salah satu pelanggan yang datang ke Ranah Bhumi untuk berbelanja, Karisa Saraswati (23), mengatakan bahwa memang sebenarnya ia sudah tertarik dengan gaya hidup dan produk-produk yang ramah lingkungan. Kebetulan juga kehadiran Ranah Bhumi ini seolah menjadi jalan untuknya lebih menekuni gaya hidup itu.

"Ranah Bhumi punya konsep, branding, dan penyajian informasi yang tepat untuk dapat dimengerti oleh orang-orang yang masih awam untuk memulai gaya hidup lebih ramah lingkungan ini. Itu yang membuat saya makin tertarik," kata Karisa.

Selain itu, Karisa juga menyoroti kehadiran Ranah Bhumi sebagai toko kelontong yang mendukung para petani lokal. Semisal salah satu produknya yang berbahan bunga telang didapat dari warga lokal sekitar Jogja.

"Aku pernah beli deodoran natural, bumbu masak seperti lada hitam, garam, yang mana itu diproduksi oleh warga lokal atau industri rumahan yang tidak terjamah oleh supermarket," ucapnya

Terkait harga produk yang lebih mahal dibandingkan dengan toko kelontong biasanya, Karisa sendiri tidak mempermasalahkan itu. Pasalnya, pembeli itu tahu yang membuat produk itu siapa hingga uang yang dibelanjakan itu menuju ke mana.

Penjelasan-penjelasan tentang produk itu yang membuat Karisa makin yakin untuk berbelanja di Ranah Bhumi. Menurutnya, Ranah Bhumi juga transparan ke konsumen ketika menceritakan produk yang bersangkutan.

"Kita diberi tahu tentang cerita-cerita di balik produk ini. Jadi ya kita juga mau belanja ya tidak masalah mengeluarkan uang sedikit lebih banyak, toh ini juga ditujukan kepada orang yang memang pantas menerima bantuan," jelasnya.

Karisa mengaku baru sekali berkunjung ke Ranah Bhumi. Namun, ia tidak menutup kemungkinan dalam waktu dekat akan berkunjung lagi untuk berbelanja di sana.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak