Lawan Masalah Sampah, Bukhi Lahirkan Toko Kelontong Ramah Lingkungan

Bukhi menuturkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada sekitar 60 hingga 70 persen produk di Ranah Bhumi yang merupakan produk lokal.

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Senin, 14 Desember 2020 | 15:35 WIB
Lawan Masalah Sampah, Bukhi Lahirkan Toko Kelontong Ramah Lingkungan
Pendiri bulkstore atau toko kelontong ramah lingkungan Ranah Bhumi, Bukhi Prima Putri, ditemui di Ranah Bhumi, yang beralamat di Jl Gerilya No 646 B, Prawirotaman, Brontokusuman, Mergangsan, Kota Yogyakarta, Minggu (13/12/2020). - (SuaraJogja.id/Hiskia Andika)

Dari situlah muncul ide dan keberanian untuk menghadirkan suatu toko kelontong yang berbeda dari biasanya -- toko kelontong yang punya produk-produk dan konsep lebih selaras dengan kondisi kebutuhan alam sekitarnya.

Keraguan tidak dipungkiri Bukhi tetap ada. Namun, ia dan rekan-rekan lainnya tetap yakin untuk bisa mendekatkan toko kelontong ini kepada masyarakat sekitar.

Bahkan, Bukhi juga mengaku bahwa toko kelontong ini sebenarnya merupakan dapur dari rumah atau tempat tinggalnya dan teman-teman dari ide awal menciptakan sebuah tempat yang kondusif untuk menjalankan gaya hidup seperti kondisi di Bali saat itu.

Hal itu selaras dengan keyakinan Bukhi untuk membuat tempat itu menjadi rumah atau tempat yang nyaman terlebih dulu. Jika orang-orang di dalamnya sudah merasa senang dan nyaman, maka orang lain yang hadir masuk ke dalam tempat itu akan merasakan hal yang sama.

Baca Juga:Mengintip Budi Daya Maggot di Sleman, Berdayakan Warga Terdampak Tol

"Toko kelontong ini sebagai dapur kita sebenarnya. Kalau dihitung kita mulai mengumpulkan produk itu bulan Mei dan Juni dan baru buka pada 1 Oktober kemarin dengan segala renovasinya juga," tuturnya.

Dikatakan Bukhi, dari respons warga, awalnya kehadiran toko kelontong miliknya dinilai aneh. Warga sekitar menilai bahwa toko kelontong ini terlalu mewah dan rapi. Hal itu yang membuat tidak sedikit warga yang segan untuk masuk walaupun hanya sekadar melihat-lihat.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, komunikasi terus berlangsung antara Bukhi dan rekan-rekannya di Ranah Bhumi dengan warga sekitar, dimulai dari mencoba kenal satu sama lain sekaligus mengenalkan produk-produknya.

"Nah di situ ada transfer knowledge bahwa kebutuhan mereka ternyata bisa dihasilkan sendiri lo selama ini. Saling ada komunikasi yang terjalin, sehingga ada hal-hal baru yang didapat, bahkan ibu-ibu sekitar ada yang ikut berkontribusi untuk menjual produk di toko kita pada akhirnya," ujarnya.

Bukhi menuturkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada sekitar 60 hingga 70 persen produk di Ranah Bhumi yang merupakan produk lokal. Sementara itu, 20 sampai 30 persen lainnya berasal dari luar Jogja, tapi masih di Indonesia, ditambah dengan 10 persen adalah produk impor.

Baca Juga:Prihatin Pertanian Terdampak Tol, Mardi Berdayakan Warga Budidaya Magot

Terkait dengan produk impor tersebut, menurut Bukhi, hal itu tetap tidak akan dihilangkan dari ketersediaan produk yang ada. Sebab, itu dimaknai sebagai jaringan untuk berdiplomasi selain juga untuk bisa mengetahui perkembangan desain dan cara negara lain berpikir tentang produknya.

Disinggung terkait dengan harga produk yang kadang dianggap oleh masyarakat lebih mahal dibandingkan dengan toko kelontong biasa, Bukhi menilai bahwa masyarakat kadang masih luput.

"Jadi dari harga yang murah kita tidak tahu apa yang terjadi di baliknya. Misal produk industri, baju murah di baliknya ada buruh yang dibayar murah hingga tidak sejahtera dan persoalan lain yang dihadapi. Kita selalu memaparkan itu, tapi terserah pada orang yang mendengar apakah akan mengubah gaya hidup itu atau tidak. Keputusan di tangan mereka. Minimal kita sudah sampaikan pada mereka," jelasnya.

Bukhi mengambil contoh lain, semisal sabun atau deterjen pakaian yang dibuat oleh industri besar dan dijual dengan harga murah.

Ada fakta yang tidak terlihat di belakangnya, mulai dari dampak pada lingkungan setelah pemakaian bahan itu seperti sungai yang kotor hingga tanah yang gersang karena unsur kimia mulai membunuh mikroorganisme yang ada di tanah dan lainnya.

"Itu unsur-unsur yang tidak terlihat dan harusnya kita bayar dan dimasukkan dalam cost production sebuah produk. Tidak boleh lalu menutup sebelah mata begitu saja," tegasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini