Masuk Jogja Wajib Bawa Hasil Rapid Test, Okupansi Hotel Mendadak Anjlok

Banyak wisatawan memutuskan untuk membatalkan pesanan penginapannya. Okupansi hotel di Jogja pun anjlok hingga hanya 25 persen saja.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 18 Desember 2020 | 21:05 WIB
Masuk Jogja Wajib Bawa Hasil Rapid Test, Okupansi Hotel Mendadak Anjlok
Ilustrasi hotel. (Pixabay)

SuaraJogja.id - DPD Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia atau PHRI DIY merasa keberatan dengan kebijakan pemerintah terkait syarat wisatawan yang memerlukan surat hasil rapid test antigen untuk masuk ke Jogja. Sebab hal itu berimbas pada okupansi perhotelan di DIY sendiri.

Keberatan itu disampaikan langsung oleh Ketua DPD PHRI DIY Deddy Pranowo Eryono, saat dikonfirmasi awak media, Jumat (18/12/2020). Menurutnya dari kebijakan tersebut okupansi hotel di Jogja turun hingga 25 persen.

"Ada reservasi periode 20 Desember hingga 3 Januari turun dari awalnya 42 persen jadi hanya 25 persen saja. Ini karena kebijakan yang mendadak dan memberatkan tersebut. Padahal sudah ada sertifikasi dan verifikasi, tapi jadinya ya percuma,” kata Deddy.

Deddy menyampaikan sudah seharusnya pihak terkait melibatkan semua elemen masyarakat dalam penyusunan dan pengambilan kebijakan. Tidak lantas serta merta membuat kebijakam terkait salah satu sektor saja agar tidak ada pihak yang akhirnya merasa dirugikan.

Baca Juga:Jelang Nataru, COVID-19 di DIY Tembus 9.071 Kasus

Diterangkan Deddy, bahwa setidaknya ada 4 golongan yang bakal eksis pada pasca pandemi Covid-19. Golongan atau kategori itu di antara lain yang kuat, setengah kuat, pingsan hingga hampir mati atau kritis.

"Nah dengan adanya kebijakan rapid antigen ini yang kena imbasnya pada turunnya kategori setiap pelaku bisnis perhotelan. Ibarat ini semakin mematikan industri hotel, resto yang sudah berdarah-darah dan terengah-engah," ucapnya.

Deddy berharap pemerintah mau membuka sedikit mata hati terkait kebijakan tersebut. Desember yang digadang-gadang bakal memberi angin segar bagi peningkatan pendapatan tapi justru malah berubah halauan karena satu kebijakan itu.

Menurutnya, kebijakan tersebut menjadi beban tersendiri bagi masyarakat yang hendak berlibur. Ditambah lagi masa aktif hasil rapid antigen yang tergolong pendek yakni hanya tiga hari.

“Coba bayangkan, kalau satu rapid antigen saja biayanya Rp250 ribu dan itu hanya berlaku tiga hari. Itu kalau sendiri, beluk kalau bareng keluarga makin tinggi biayanya. Jadi banyak yang cancel," terangnya.

Baca Juga:Restu Bumi Kreo, Al Ghazali dan Dul Jaelani Namakan Destinasi Baru di DIY

Kondisi yang tak menentu seperti sekarang ini, kata Deddy, sangat dirasakan oleh hotel bintang 3 ke bawah hingga hotel non bintang. Minimnya pengunjung belum dengan tambahan biaya operasional yang selalu berjalan membuat pengeluaran membengkak.

Namun memang Deddy tidak lantas sepenuhnya menolak kebijakan tersebut. Sebab memang langkah ini juga berguna untuk menimalisir terjadinya persebaran Covid-19 di sektor wisata khususnya perhotelan.

“Kami tetap siap menjalankan rapid tes antigen itu, tapi tentu saja dengan menunggu tembusan resmi dari pemerintah. Kalau tanpa ada dasar itu tidak enak rasanya menolak tamu, pasti juga tamu akan tanya dasar penolakan itu," tegasnya.

Menurut Deddy salah satu solusi yang bisa dimaksimalkan oleh pemerintah khususnya di daerah adalah dengan menggalakkan konsep staycation atau berlibur di dalam kota sendiri. Hal ini dapat dimaksimalkan dengan kehadiran masyarakat dari lintas kabupaten dan kota di Yogyakarta.

"Semoga skema staycation ini bisa berjalan dengan optimal. Apalagi pemerintah daerah juga melarang para ASN untuk keluar daerah. Itu bisa dimaksimalkan dengan menganjurkan untuk staycation di Jogja saja," tandasnya.

Syarat itu tidak memberatkan

Sementara itu Pemerintah Kota (Pemkot) Yogyakarta memastikan untuk turut mengikuti aturan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah Provinsi DIY terkait dengan pelaku perjalanan luar kota yang wajib membawa surat hasil non reaktif rapid test antigen. Tidak hanya berlaku bagi pelaku perjalanan yang datang ke Jogja tapi juga sebaliknya.

Ketua Harian Satgas Penanganan Covid-19 Kota Yogyakarta, Heroe Poerwadi mengatakan bahwa pihaknya akan selalu mendukung aturan dari pemerintah baik pusat dan provinsi. Menurutnya selama ini moda-moda transportasi umum juga telah menjalankan aturan tersebut.

"Kita selalu ikuti aturan itu. Lagipula moda transportasi umum juga telah menjalankan syarat dan aturan itu. Jadi saya kira itu juga sudah bisa dan biasa," ujar Heroe.

Ketika disinggung mengenai apakah syarat itu akan mempengaruhi tingkat kedatangan wisatawan di Jogja, Heroe meyakini itu bukan suatu syarat yang telalu memberatkan. Artinya semua pelaku perjalanan pasti ingin selalu dalam kondisi aman dan nyaman ketika berpergian di masa pandemi Covid-19 sekarang ini.

Heroe menilai bahwa persyaratan tambahan ini sebagai bentuk perlindungan kepada pelaku perjalanan atau wisatawan itu sendiri. Sehingga saat yang bersangkutan berkunjung khususnya ke Jogja bisa merasakan proteksi lebih karena sudah terbukti sehat.

"Ini sebagai perlindungan kepada wisatawan sehingga pada waktu ke Jogja sudah tidak lagi was-was ketika berinteraksi dengan orang yang ada di Jogja. Sebenarnya ini penguatan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan itu sendiri," tutur pria yang juga menjabat sebagai Wakil Wali Kota Yogyakarta tersebut. 

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak