SuaraJogja.id - Baru-baru ini muncul informasi bahwa terdapat perbedaan data kematian pasien Covid-19. Perbedaan itu terjadi antara data yang ditampilkan Satgas Covid-19 Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan data pada Sistem Online Pelaporan Harian (Silaphar) Covid-19 milik Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Terkait hal tersebut, Juru Bicara Satgas Covid-19 DIY Berty Murtiningsih angkat bicara. Menurutnya, Silaphar Covid-19 merupakan platform laporan harian yang diisi oleh masing-masing kabupaten/kota.
Namun, kata Berty, masing-masing kabupaten/kota tak jarang luput untuk memperbarui data tersebut secara berkala. Hal itu dikatakannya dapat menjadi salah satu penyebab perbedaan data.
"Sebab definisi operasionalnya tidak dicermati oleh kabupaten/kota. Ada yang mengisi harian, ada yang mengisi kumulatif. Kemungkinan karena itu,” kata Berty saat dikonfirmasi, Jumat (8/1/2021).
Baca Juga:Terus Meroket, Kasus Harian Covid-19 Kaltim Kini Tambah 512 Pasien Baru
Berty menjelaskan, sebenarnya Kemenkes mempunyai platform pelaporan, tidak hanya Silaphar Covid-19. Salah satunya aplikasi New All Record [NAR], yang digunakan oleh Satgas Covid-19 DIY beserta kabupaten/kota.
“Pusat itu sebenarnya banyak juga aplikasi dengan berbagai versi pula, bikin bingung pengelola data di tingkat daerah,” ucapnya.
Lebih lanjut, Berty menyebutkan, pada aplikasi NAR ini, data sudah otomatis terhubung dengan rumah sakit serta puskesmas ke laboratorium. Kemudian tugas Satgas Covid-19 di sini, kata Berty, melakukan verifikasi lanjutan terkait sajian data yang sudah ada tersebut.
Terkait dengan data pada Silaphar Covid-19, menurutnya itu tidak sesuai dengan definisi operasional yang disepakati bersama oleh Satgas Covid-19 di tingkat kabupaten/kota. Maka dari itu, aplikasi NAR menjadi acuannya.
“Ya kalau kita tetap memakai data resmi yang kita terima dari verifikasi kabupaten/kota melalui aplikasi NAR, dan tiap hari kita publikasikan,” ungkapnya.
Baca Juga:Selain Covid-19, Aliff Alli Sakit Paru-paru karena Vape
Ditanya terkait langkah yang bakal dilakukan mengenai perbedaan jumlah yang cukup besar itu, Berty menyatakan masih akan melakukan koordinasi dengan masing-masing kabupaten/kota guna menelusuri lebih lanjut perbedaan data tersebut
“Nanti akan kita bicarakan dengan kabupaten/kota dulu. Besok kita telusuri dulu ya," pungkasnya.
Sementara itu, Kepala Social Developmemt Studies Centre (SODEC) Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan (PSdK) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (Fisipol UGM) Hempri Suyatna menilai, bakal muncul beberapa implikasi terkait ketimpangan data, ermasuk salah satunya terkait penanganan Covid-19 dalam pengambilan kebijakan.
"Sinkronisasi data ini penting untuk dilakukan, sehingga data yang dihasilkan benar-benar valid, sehingga kebijakan yang dilakukan atau diambil pun tepat," ujar Hempri.
Salah satu yang paling baru terkait pemberlakuan Pengetatan Secara Terbatas Kegiatan Masyarakat (PTKM) pada 11 hingga 25 Januari 2021 mendatang. Sebagai pengganti kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tentu diperlukan data yang tepat untuk penerapannya.
Hempri menyebutkan, sejauh ini implementasi kebijakan hingga pengawalan-pengawalan pada kebijakan itu memang kurang maksimal. Artinya, masih ada pelanggaran yang tidak sedikit ditemui di tengah masyarakat.
"Penerapan protokol kesehatan pencegahan Covid-19 di tempat-tempat umum, semisal rumah makan, terlihat cenderung longgar. Standarisasi protokol kesehatan untuk hotel, restoran kadang tidak sama," ucapnya.
Lebih lanjut, Hempri juga menyoroti, masih tidak ada pengawasan ketat di tempat-tempat yang berpotensi menimbulkan kerumunan, sehingga aturan pun longgar. Salah satunya kebijakan yang diterapkan pada malam pergantian tahun.
"Semisal soal malam tahun baru kemarin, kawasan Malioboro dan Tugu masih dibuka, sementara tempat-tempat wisata lain wajib tutup jam 18.00 WIB, sehingga sinkronisasi menjadi penting," terangnya.
Hempri tidak memungkiri, memang bakal terjadi perbedaan terkait sinkronisasi kebijakan pusat dan daerah, mengingat juga terdapat pemerintah daerah yang lebih tahu kondisi di daerahnya masing-masing.
"Tapi kan kebijakan itu akhirnya menjadi tidak maksimal," imbuhnya.
Hempri menuturkan, langkah yang perlu dilakukan tentu saja memperbaiki atau sinkronisasi data yang benar terkait Covid-19 di pemerintah daerah dan pusat. Nantinya itu akan berpengaruh terhadap kebijakan yang berkaitan langsung dengan masyarakat.
"Saya kira juga termasuk data-data penerima manfaat program-program bansos ya mas. Untuk data penerima bansos ini seringkali di daerah justru tdak mengetahui siapa yang dapat, mulai dari kasus kartu prakerja, bansos UMKM dan sebagainya," tandasnya.