Kisah Sukirno Diterjang Awan Panas Merapi 1994, Hidup Tinggal 20 Persen Aja

Sukirno dan keluarga diterjang awan panas Merapi saat datang ke sebuah resepsi pernikahan.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 30 Januari 2021 | 18:29 WIB
Kisah Sukirno Diterjang Awan Panas Merapi 1994, Hidup Tinggal 20 Persen Aja
Sukirno, saat ditemui di Bunker atau Ruang Lindung Darurat Tunggularum, yang berada di dusun Tunggularum, desa Wonokerto, Turi, Sleman, Sabtu (30/1/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Mendung menggelayut di dusun Tunggularum, desa Wonokerto, Turi, Sleman tepatnya di Bunker Tunggularum. Kehangatan sinar matahari terhalang awan mendung. Belum lagi pohon-pohon besar yang berdiri gagah menambah suasana sejuk.

Bunker atau Ruang Lindung Darurat Tunggularum adalah salah satu tempat perlindungan darurat bagi warga khususnya di lereng Gunung Merapi yang masih aktif hingga saat ini. Kegunaan bunker ini sendiri untuk melindungi warga dari awan panas saat erupsi Gunung Merapi.

Tak jauh dari Bunker Tunggularum, terlihat seorang pria yang keluar dari rumah sederhana di balik pepohonan yang rindang. Topi sudah berada di kepala pria tersebut, setelan celana panjangnya dengan baju lengan panjang warna orange bertuliskan BPBD DIY di sebelah kanan juga sudah dikenakan dengan rapi.

Sukirno namanya. Pria berusia 65 tahun asal Dusun Tunggularum, desa Wonokerto, Turi, Sleman ini telah diberi tugas  menjaga bunker Tunggularum sejak beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan, kediaman Sukirno yang tak jauh dari bunker dan pengalamannya hidup berdampingan dengan Merapi menjadi pertimbangan tersendiri.

Baca Juga:Sambangi Pengungsian Merapi, Wagub Jateng: Sabar Rumiyin Nggih Mbah

Sukirno, saat ditemui di Bunker atau Ruang Lindung Darurat Tunggularum, yang berada di dusun Tunggularum, desa Wonokerto, Turi, Sleman, Sabtu (30/1/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]
Sukirno, saat ditemui di Bunker atau Ruang Lindung Darurat Tunggularum, yang berada di dusun Tunggularum, desa Wonokerto, Turi, Sleman, Sabtu (30/1/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

Bagaimana tidak, Sukirno, nyatanya sudah sempat merasakan manis pahit hingga ganasnya Gunung Merapi. Terlebih pada peristiwa erupsi Gunung Merapi yang terjadi sekitar 27 tahun silam atau tepatnya pada 22 November 1994.

"Waktu itu semua keluarga meninggal. Ada istri, dua orang anak, dan orang tua, meninggal semua. Saya kehilangan lima anggota keluarga. Saya ingat saat itu datang ke resepsi tanggal 22 November 1994," kata Sukirno saat ditemui di bunker atau ruang lindung darurat Tunggularum, Sabtu (30/1/2021).

Kisah memilukan ini terjadi pada saat Sukirno masih berusia 26 tahun. Sembari menyulut rokok di tangannya lalu menghisapnya, ia melanjutkan kisahnya. Sukirno terdiam sejenak sembari mengingat peristiwa tersebut.

Sukirno mengatakan sesaat sebelum peristiwa erupsi Merapi tahun 1994 itu terjadi, sebenarnya sudah ada tanda-tanda bahwa Gunung Merapi akan meletus. Sekitar pukul 07.00 WIB pagi hawa panas itu sudah bisa dirasakan.

Lalu disusul dengan abu vulkanik yang sudah keluar dari puncak Merapi sekitar pukul 11.00 WIB lebih beberapa menit. Peringatan dini pun tidak dipungkiri oleh Sukirno telah ada.

Baca Juga:Warga Turgo Mengungsi Usai Merapi Erupsi, Muriyem: Di Sini Lebih Aman

Saat itu, Sukirno bersama istri dan anaknya berencana menghadiri sebuah acara pernikahan salah seorang teman istrinya yang digelar di dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman. Sepeda motor L2G merek Yahama mengantar mereka menuju ke resepsi pernikahan tersebut.

"Itu yang nikah teman istri seorang guru di dusun Tritis. Waktu mantenan itu kebetulan juga semua guru ikut. Saya bukan guru, perantau saja, pernah ke Palembang, Banten dan pulang kembali ke Turgo sebelum erupsi tahun 1994," tuturnya.

Ketika sampai di tempat resepsi pernikahan, kondisi masih terlihat baik-baik saja. Artinya tidak ada suara gemuruh yang menakutkan sebelumnya dari Gunung Merapi.

Walaupun tanda atau peringatan dini saat itu sebenarnya sudah ada namun tekad dan kepercayaan warga masih kuat sehingga seolah tak mengindahkan peringatan dini tersebut. Warga meyakini bahwa aliran lahar dan awan panas tidak akan melalui wilayah Dusun Turgo.

"Orangtua zaman dulu bilangnya Merapi wes duwe dalan dewe (sudah punya jalan sendiri). Itu yang jadi pegangan warga kala itu. Ditambah saat itu belum ada alat canggih seperti HT (handy talkie)," ucapnya.

Diungkapkan Sukirno, alat paling canggih yang digunakan warga untuk peringatan bahaya saat itu hanya bende atau sejenis gong ukuran kecil dan kenthungan. Tak ada alat-alat teknologi canggih yang menjadi penanda bagi warga di lereng Gunung Merapi untuk mengetahui aktivitas vulkanik yang terjadi saat itu.

Bende itu, kata Sukirno biasanya terletak di sisi utara desa dengan penampakan langsung mengarah ke Gunung Merapi. Nantinya ada warga yang membunyikan bende tersebut jika terlihat munculnya awan panas atau erupsi Merapi mulai terjadi.

Namun celakanya, saat itu alat peringatan dini yang diharapkan warga dapat memberi tanda itu justru tak dapat digunakan. Pasalnya tempat bende itu diletakkan sudah tergilas lebih dulu oleh terjangan awan panas Gunung Merapi.

Aktivitas Gunung Merapi pada Kamis (28/1/2021). (Instagram/@bpptkg)
Aktivitas Gunung Merapi pada Kamis (28/1/2021). (Instagram/@bpptkg)

"Ternyata bende sudah kena [awan panas] duluan bahkan yang biasanya jaga juga kena. Jadi warga tidak tahu kalau memang ternyata Gunung Merapi mengalami peningkatan aktivitas. Biasanya ada tanda-tanda dulu, kata orang Jawa wangsit atau semacamnya. Semisal akan terjadi di siang hari, maka pagi sudah ada tanda-tanda. Tapi waktu itu terjadi begitu saja," ungkapnya.

Sukirno yang baru saja tiba di rumah tempat resepsi pernikahan dilangsungkan melihat ada semacam gumpalan abu. Terlihat gelap, dan ternyata tidak sampai lima menit kemudian awan panas itu datang.

"Tidak ada yang sempat lari. Jadi memang kalau kena awan panas waktu itu hewan ternak saja langsung jadi abu," imbuhnya.

Ternyata Sukirno masih terselamatkan dari awan panas yang langsung menyapu seluruh acara resepsi pernikahan tersebut. Dengan tenaga yang tersisa ia langsung menyelamatkan satu anaknya yang ia gendong untuk berlari ke bawah menyelamatkan diri.

Tanpa pikir panjang ia titipkan anaknya itu ke rumah kerabatnya yang ternyata merupakan bude dari Sukirno. Namun nahas memang kondisinya sudah tak terselamatkan.

Tinggal Sukirno yang harus menyelamatkan diri sendiri yang sudah melepuh di sekujur tubuhnya akibat lumatan awan panas. Tak dihiraukan rasa sakit itu, ia bergegas mengambil sebuah sepeda motor yang sempat tertimbun abu vulkanik Gunung Merapi.

Dipacunya sepeda motor itu ke RSUP Dr Sardjito oleh Sukirno tanpa menghiraukan apapun di sekitarnya. Ia hanya berpikir agar bisa segera mendapat perawatan.

"Pakai sepeda motor saya langsung menuju ke RSUP Dr Sardjito. Tubuh saya sudah terkena luka bakar, kulit saya sudah sempat menyatu dengan sendal saat akan saya copot. Waktu itu dikawal oleh ABRI, lampu merah pun tetap jalan," cetusnya.

Luka bakar yang hampir mencapai 80 persen di tubuhnya membutuhkan pemulihan yang tidak sebentar. Setidaknya empat bulan Sukirno harus dirawat waktu itu.

Sementara untuk pemulihan sendiri membutuhkan waktu sekitar satu tahun lamanya sebelum Sukirno dapat kembali menjalani aktivitasnya secara normal. Rasa sakit waktu itu masih harus ia tahan karena memang luka bakar itu belum sepenuhnya pulih.

"Istilahnya hidup tinggal 20 persen saja, 80 persen sisanya itu ya meninggal. Bisa sembuh karena dapat bantuan operasi oleh dokter dari Jepang," sambungnya.

Berkat pengalamannya ini, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman menunjuk Sukirno sebagai penjaga bunker Tunggularum. Selain itu pada tahun 2008, ia juga resmi bergabung di Pusdalops BPBD Kabupaten Sleman yang berlokasi di Pakem, Sleman.

Saat ini, Sukirno tinggal bersama dengan istri baru dengan anak-anaknya di dusun Tunggularum, Wonokerto, Turi, Sleman. Ia berharap warga di lereng Gunung Merapi untuk selalu memperhatikan peringatan dini yang diberikan oleh petugas yang sekarang telah didukung oleh alat-alat dan teknologi yang canggih.

Patuh dan selalu mengikuti seluruh mitigasi bencana yang telah disiapkan petugas terlebih saat aktivitas Gunung Merapi semakin meningkat itu diperlukan. Hal itu bukan semata-mata untuk diri sendiri tapi juga untuk orang lain khususnya keluarga yang ada.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak