SuaraJogja.id - Pasar Muamalah, yang dibubarkan pemerintah, ternyata juga pernah tumbuh di wilayah Kabupaten Bantul. Bahkan ada satu titik yang berkembang cukup baik, sehingga menginspirasi untuk mengembangkan pasar serupa di titik yang lainnya.
Kepala Dinas Perdagangan Bantul Sukrisna Dwi Susanta mengakui hal tersebut. Namun, Pemerintah Kabupaten Bantul telah menutup tiga Pasar Muamalah di wilayah mereka, yang diduga merupakan jaringan Pasar Muamalah di Depok, Jawa Barat, yang didirikan oleh Zaim Saidi.
"Kami bersama dengan instansi terkait telah bergerak cepat melakukan penutupan," terangnya, Jumat (5/2/2021), ketika dikonfirmasi melalui nomor pribadinya.
Sukrisna mengatakan, sebelum menjadi Pasar Muamalah, ketiga pasar itu merupakan pasar dadakan atau istilah kekiniannya adalah pasar Sunday Morning. Namun setelah berjalan beberapa bulan, pasar kaget itu berubah nama menjadi Pasar Muamalah.
Baca Juga:Pakai Dinar-Dirham, Wapres Maruf Sebut Pendiri Pasar Muamalah Menyimpang
Perubahan itu dilakukan usai salah seorang pedagang bernama Kusnaini di Pasar Muamalah Pedukuhan Saman, Kalurahan Bangunharjo, Kapanewon Sewon mengenal sang pencetus Pasar Muamalah, Zaim Saidi. Dirinya tidak mengetahui secara pasti kapan yang bersangkutan kenal dengan Zaim Saidi.
"Seiring berjalannya waktu, Kusnaini menjadi Koordinator Pasar Muamalah di Kabupaten Bantul," ungkapnya.
Pasar Muamalah di Bantul tampaknya berkembang cukup baik. Di Saman, ada sekitar 40 pedagang, san dalam perkembangannya, para pedagang yang 75% menjajakan makanan ringan.
Karena merasa respons masyarakat cukup bagus, akhirnya pasar ini dikembangkan ke wilayah lain. Mereka kemudian mendirikan Pasar Muamalah baru, yakni di Pedukuhan Pepe, Kalurahan Trirenggo, Kapanewon Bantul dan Kapanewon Sedayu.
Dengan demikian, di Bantul ada 3 Pasar Muamalah, masing-masing berlokasi di Jalan Parangtritis KM 3, Saman; Jalan Dokter Wahidin Sudirohusodo, Pepe; dan di Sedayu, tepatnya di depan Stasiun Rewulu.
Baca Juga:Fakta Pasar Muamalah: Haramkan Uang Kertas, Transaksi Dinar-Dirham
"Yang di Sedayu memang tergolong masih kecil, tidak sampai 10 pedagang, dan yang di Bantul baru sekitar 10 pedagang," paparnya.
Sukrisna mengungkapkan, sebelum terjadi kehebohan itu, pihaknya telah melakukan pemantauan langsung ke para pedagang.
Dia menyampaikan, dari hasil pemantauan, para pedagang sejatinya masih menggunakan uang rupiah, tetapi komunitas pedagang itu juga menyediakan transaksi dengan menggunakan koin dirham dan dinar.
"Dengan mempertimbangkan berbagai hal, ketiga pasar itu untuk sementara waktu dilarang beroperasi," tandasnya.
Pasalnya, mengingat ketentuan bahwa transaksi jual-beli di tanah air hanya sah dengan menggunakan mata uang rupiah.
Saat itu ia pernah memberikan arahan, jika memang melakukan transaksi dengan menggunakan mata uang asing, itu salah karena dalam Undang-Undang No. 7 tahun 2011 sudah dijelaskan, transaksi di Indonesia itu menggunakan mata uang rupiah sebagai alat pembayaran yang sah.
"Kita tidak hidup di luar negeri, tidak hidup di Arab, di Turki, di Emirat Ara. Kita hidup di Indonesia, dan Indonesia telah menetapkan mata uang rupiah itu sebagai mata uang pembayaran yang sah," tandasnya.
Kontributor : Julianto