SuaraJogja.id - Yogyakarta terbuat dari rindu, pulang, dan angkringan. Begitulah kata penggalan syair milik Joko Pinurbo yang sering digunakan orang-orang ketika menggambarkan kota pelajar ini. Selain angkringan, ternyata ada juga tempat makan murah meriah yang menjamur di Jogja.
Sebagai kota pelajar, Jogja dikenal memiliki biaya hidup yang murah bagi mereka yang merantau dari luar kota, khususnya luar pulau.
Salah satu yang terkenal adalah keberadaan angkringan, yang menjual menu nasi kucing beserta kopi joss. Namun, rupanya ada juga bisnis makanan sederhana yang menjamur dan hampir bisa ditemukan di setiap sudut kota.
Warung yang menjual aneka menu mi instan dan makanan sederhana lainnya ini akrab disebut dengan nama burjo. Meskipun menggunakan akronim dari bubur kacang ijo, tetapi banyak dari warung ini yang justru tidak menyediakan menu tersebut. Menu andalan di tempat ini adalah olahan mi instan, mulai dari mi dog-dog, omelet, hingga magelangan.
Baca Juga:Lima Kalurahan Masuk Zona Merah, Pemkot Jogja Batasi Pergerakan Masyarakat
Ada banyak cuitan dari warganet di Twitter yang membeberkan besarnya jasa burjo bagi kehidupan perkuliahan mereka, terutama di akhir bulan saat mahasiswa menjalani masa krisis keuangan.
Ketika kiriman dari orang tua mulai macet dan uang saku sudah menipis, menyepi ke burjo adalah salah satu cara bertahan hidup.
Menunya, yang merupakan olahan mi instan, bisa menjamin rasa yang sudah pasti enak. Bahkan, mi instan buatan Indonesia juga sudah dikenal ke berbagai penjuru dunia.
Selain mi instan, ada juga nasi dengan sayur, telur dadar, dan juga nasi dengan lauk sarden. Salah satu menu paling istimewa di burjo adalah magelangan, yakni olahan sejenis nasi goreng yang dicampurkan dengan mi instan.
Selain rasanya yang hampir bisa dipastikan pasti enak, menu yang ditawarkan burjo seolah oase bagi para mahasiswa di akhir bulan.
Baca Juga:Cek Wisatawan, Jogja Tambah Petugas untuk Pemeriksaan Acak Surat Kesehatan
Dengan nominal harga per menunya di bawah Rp20.000, pengunjung bisa mendapatkan satu piring penuh makanan yang mengenyangkan. Tidak heran jika bagi sebagian orang, satu porsi makanan di burjo bisa untuk menahan perut lapar seharian.
Magelangan misalnya, jadi salah satu menu andalan yang kaya akan karbohidrat. Campuran antara nasi goreng dengan mi goreng dalam satu piring menjadi pelipur lapar yang ciamik untuk mahasiswa yang sedang irit di tanggal tua.
Namun, sisi gelap dari warung burjo lainnya adalah bon utang yang menumpuk. Sebagai warung makan darurat yang selalu buka 24 jam, tidak jarang mahasiswa yang berutang di tempat.
Bermodalkan jadi langganan dan status mahasiswa aktif atau malah mahasiswa abadi, biasanya burjo menjadi tempat pengisi perut saat kantong tipis. Bon utang menumpuk dari bulan ke bulan, makin menggunung setiap tahun.
Bukan tanpa alasan burjo menjadi tempat berlindung bagi anak-anak perantauan di kota budaya ini. Menu yang enak, prosi yang banyak, harga yang murah, dan bisa berutang.
Selain itu, sudah menjadi rahasia umum rasanya jika burjo yang menjamur di Jogja kebanyakan dimiliki orang Sunda. Di Twitter sendiri, tidak jarang warganet yang curhat bahwa mereka bisa merasa ada di kampung halaman kala berkunjung ke burjo.
Rata-rata penjaga dan pemilik burjo berasal dari Kuningan, sehingga bahasa Sunda sudah menjadi bahasa sehari-hari mereka. Perantau dari tanah Sunda lainnya senang bisa berbicara sunda di burjo.
"Burjo adalah franchise terdahsyat orang sunda di bumi Jogja," tulis @t6uh dalam cuitannya.
"Dibalik burjo Jogja ada keramahtamahan Sunda dengan ciri khas logat sundanya yang kental. Maturnuwun Aa dan Teteh burjo di Jogja. Banyak sarjana-sarjana hebat yang terbantu hidupnya selama kost di Jogja, makan dulu bayar belakang," tulis akun @stepfordward23.
"Kalau ke burjo niat nyarios sunda takut ketuker bahasa krama karena di Jogja lebih sering berusaha pakai bahasa krama sama penjual lokal. Mau bilang 'sabraha A?' Jadi 'pinten A' wkwk," tulis akun @ully_wibowo.
Dari sejarah yang kini tampaknya sudah diketahui tak sedikit orang, pemilik dan pendiri pertama burjo adalah orang Kuningan. Nama Rurah Salim banyak disebut sebagai orang pertama yang mencetuskan warung burjo di Jogja pada tahun 1943.
Tepat dua tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, Rurah Salim mencoba mencari peruntungan ke Indonesia dengan jualan burjo yang dipanggul dan keliling bersama dengan istrinya.
Setelah Indonesia merdeka, Rurah Salim mengganti metode berdagangnya dengan membuka kios. Seiring perkembangan zaman, menu warung burjo yang awalnya hanya menyediakan bubur kacang hijau kini justru lebih dikenal dengan menu-menu olahan mi instan.
Meski disebut-sebut berasal dari Kuningan, tetapi keberadaan burjo lebih mudah ditemui di daerah Jakarta, Semarang, Solo, dan tentunya Jogja.
Dengan jumlah yang tak bisa dihitung lagi, mayoritas pengunjung yang datang ke burjo di Jogja selalu memanggil penjualnya dengan sebutan 'Aa' atau 'Mamang' sebagai panggilan yang sopan kepada seorang lelaki dalam budaya Sunda.
Warganet sendiri tidak jarang dibuat heran, kenapa warung burjo di Jogja selalu didominasi dengan orang Sunda. Sementara di tanah Sunda justru jarang yang membuka warung semacam burjo.
"Heran, yg jaga warung #burjo di #jogja kenapa orang #Sunda ya? Udah ke beberapa tempat yg jaga orang #Sunda juga," tulis akun @nugyanfa.
"Di Jogja banyak burjo dan yang punya sebagian besar orang Sunda. Tetapi di daerah Sunda sendiri tidak ada burjo," komentar akun @kaafandi_.
"Kayaknya program provinsi Jabar itu mengirim orang sunda jadi penjual burjo di Jogja," tanggapan akun @limasudut.
Sementara akun @duuwiikk mengatakan, "Kalau di Jogja 'ngasah' basa sunda sama aa-aa burjo, di Bali sama aa-aa surabi, di Lampung sama mamang-mamang batagor."