SuaraJogja.id - Selain kawasan Keraton, Yogyakarta mempunyai keistimewaan lain berupa kawasan Pakualaman. Sebagian kawasan inti Pakualaman selama ini menjadi tempat tinggal KGPAA Paku Alam.
Sebagai kawasan cagar budaya, kawasan tersebut terawat dengan baik. Namun berbeda dengan kondisi bangunan di sekitarnya yang masih berupa warisan budaya di Kecamatan Pakualaman.
"Hampir semua bangunan warisan budaya di pakualaman rusak plafon dan temboknya," ujar Arsitek dari Dosen Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Islam Indonesia (UII), Suparwoko dalam Sosialiasasi Prosedur dan Panduan Arsitektur di Kawasa Cagar Budaya Pakualaman, Selasa (09/03/2021).
Padahal di kawasan tersebut, menurut Suparwoko terdapat nilai sejarah bangsa Indonesia. Sebut saja salah satu rumah yang merupakan bekas rumah salah satu pejabat negara pada masa Mataram.
Baca Juga:Gerombolan Pengunjung Kotori Kafe di Jogja, Rekaman CCTV Banjir Amukan
Karenanya upaya perbaikan harus dilakukan agar kondisi bangunan warisan budaya di Pakualaman tidak semakin rusak. Selain pemerintah, perhatian dari masyarakat dan sumber dana lain sangat dibutuhkan untuk mempertahankan kelestarian bangunan bersejarah tersebut.
"Bangunan di luar kawasan inti pakualaman masih masuk kategori warisan budaya, belum cagar budaya sehingga tidak bisa mendapatkan hibah. Bentuknya baru berupa penghargaan bagi pemilik untuk menjaga kondisi bangunan. Ini tidak cukup karena biaya perbaikan bangunan cukup besar. Butuh sumber dana lain," tandasnya.
Selain perbaikan bangunan yang rusak, lanjut Suparwoko dibutuhkan pendampingan bagi pengembangan bangunan-bangunan baru di sekitarnya. Setiap perijinan dan perencanaan bangunan baru pun harus dipantau agar tidak merusak kawasan warisan budaya maupun cagar budaya.
Terdapat berbagai aturan pembangunan bangunan baru yang disesuaikan dengan kawasan bersejarah sekitarnya sesuai dengan Peraturan Gubernur DIY Nomor 40 Tahun 2014 tentang Panduan Arsitektur Bangunan Baru Bernuansa Budaya Daerah. Mulai dari atap bangunan yang berupa atap miring, atap bangunan pendukung yang menyesuaikan bangunan utama, atap tritisan hingga penutup atap bangunan utama yang harus dibuat dar genteng tanah liat. Bentuk pintu, tebeng, daun pintu, tebeng hingga konstruksi banguna lainnya juga harus disesuaikan dengan sejarah.
"Harus ada rekomendasi untuk bisa membuat bangunan baru di kawasan cagar budaya maupun warisan budaya," tandasnya.
Baca Juga:Prakiraan Cuaca Jogja Hari Ini, Selasa 9 Maret 2021
Sementara Dosen sekaligus arsitek dari UGM, Aziz Yon Haryono mengungkapkan perlu ada perumusan jati diri kawasan cagar dan warisan budaya Pakualaman. Dengan demikian kawasan tersebut tetap terjaga dalam rangka pelestarian bidaya sekaligus meningkatkan sektor pariwisata dan pendidikan sejarah.
"Dengan rumusan visi misi, perencanaanan serta mapping dan potensi pelestarian sejarah du puro pakualaman bisa dilakukan," ungkapnya.
Melalui perumusan jati diri tersebut, pelestarian sejarah dari masa kerajaan Mataram Kuno, Mataram Islam dan Ngayogyakarta Hadiningrat bisa terjaga Akar sejarah sebagai kota kerajaan pun bisa terwujud pada pola arsitektur tata ruang kota dan bangunan-bangunan yang berdiri .
Panduan arsitektur bagi bangunan baru yang akan didirikan di sumbu filosofi, kawasan warisan budaya, kawasan cagar budaya dan koridor menuju kawasan cagar budaya juga perlu diterapkan. Hal itu sebagai bentuk konsekuensi logis dan kewajiban terhadap pelestarian kawasan cagar budaya di lokasi tersebut.
"Semua perlu duduk bersama untuk menghadapi persoalan penanganan kawasan cagar budaya dan warisan budaya," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi