Hadapi Pandemi Covid-19, Puspaga Kota Jogja: Keluarga Jadi Fondasi Penting

Sebagian besar warga Kota Joga dapat mengakses layanan konsultasi yang berada di bawah Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta i

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 16 Maret 2021 | 21:03 WIB
Hadapi Pandemi Covid-19, Puspaga Kota Jogja: Keluarga Jadi Fondasi Penting
Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) - (SuaraJogja.id/HO-Dokumentasi Puspaga)

SuaraJogja.id - Salah satu cara yang dapat dilakukan seseorang ketika mulai merasakan permasalah perihal jiwanya yakni dengan berkonsultasi atau konseling. Tidak melulu harus ke rumah sakit, puskesmas-puskesmas hingga instansi pemerintahan lain pun sudah mulai menyediakan ruang penanganan untuk kesehatan jiwa.

Salah satu layanan yang dapat diakses masyarakat khususnya di Kota Yogyakarta adalah Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga). Sebagian besar warga Kota Joga dapat mengakses layanan konsultasi yang berada di bawah Dinas Pemberdayaan Masyarakat Perempuan dan Perlindungan Anak (DPMPPA) Kota Yogyakarta itu.

Konselor Psikologi Pusat Pembelajaran Keluarga (PUSPAGA) KENARI, Tri Novita Herdalena, mengatakan ada berbagai program unggalan yang dapat dimanfaatkan oleh warga Kota Jogja. Mulai dari layanan konseling, konsultasi, informasi, rujukan, penjangkauan atau pendampingan, promosi dan sosialisasi serta pembentukan keluarga 2P yakni Pelopor dan Pelapor.

"Layanan konsultasi itu berbeda dengan konseling. Kalau konsultasi itu untuk orang yang datang tapi bukan untuk dirinya namun untuk pihak ketiga, bisa jadi untuk anak atau cucu. Kalau konseling itu untuk dirinya sendiri," kata Novita saat ditemui SuaraJogja.id, Selasa (16/3/2021).

Baca Juga:Usut Korupsi Pengadaan Barang Covid-19 di KBB, KPK Sambangi Tiga Lokasi

Lebih lanjut Novita menjelaskan, ada juga layanan informasi, yang datang menanyakan informasi saja tentang keluarga dan lain-lain. Kemudian ada layanan rujukan, menangani kasus-kasus seperti kekerasan mungkin dalam rumah tangga, kekerasan anak atau pelecehan seksual.

Kasus-kasus rujukan semacam itu nantik akan dikoordinasikan lebih lanjut dengan UPT PPA di Kota Jogja. Ada juga rujukan yang bersifat klinis, misal anak-anak berkebutuhan khusus atau yang sudah berketetapan hukum semisal aksi demo beberapa waktu lalu.

"Nanti akan koordinasi juga dengan Dinsos dengan penanganan melalui Pekerja Sosial (Peksos). Ada juga layanan penjangkauan, misal ada laporan terkait dengan kondisi yang terlantar dari Dinsos tapi minta didampingi itu kita juga masuk untuk mendampingi atau menjangkau," ucapnya.

Lainnya, ada layanan sosialisasi yang memang menyasar para orang tua yang masih minim tentang pengetahuan terkait proses atau pola pengasuhan anak. Khususnya saat pandemi Covid-19 yang masih berlangsung hingga saat ini.

Layanan sosialisasi kata Novita, memang menjadi yang banyak dilakukan oleh Puspaga. Terhitung sebelum pandemi Covid-19 hingga Maret saja sudah menjangkau 2138 keluarga di Kota Jogja.

Baca Juga:Kena Refocusing Anggaran 2021, Bantuan Graduasi PKH Dinsos Bantul Ditunda

"Jadi kita awalnya kita datangi untuk penjangkauan yang lebih besar. Namun setelah itu yang datang ke sini juga lumayan banyak. Baru semenjak pandemi ini kita mengurangi layanan offline kalau tidak terpaksa. Justru dari online, malah yang mengakses tidak hanya Kota Jogja saja. Dari luar wilayah juga ada, seperti Solo dan lainnya," terangnya.

Bahkan tidak hanya keluarga saja yang datang untuk mencari sebuah solusi permasalah mereka atau hanya sekadar membutuhkan sosialisasi. Namun akhir-akhir ini malah ada anak-anak remaja atau sekolah yang juga datang.

Kebanyakan, anak-anak itu memang mengalami problem selama pandemi Covid-19 ini. Seperti kurang komunikasi, kurang bergaul lalu muncul ada kebosanan.

Belum lagi tertekan juga karena tuntutan sekolah untuk mengerjakan tugas yang kadang tanpa melihat waktu. Sedangkan pelajaran yang diterima melalui online atau daring masih sulit untuk dipahami online.

Di samping permasalahan yang dirasakan oleh anak-anak, orang tua pun juga memiliki masalahnya sendiri. Perubahan perekonomian, semisal terpaksa harus terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan masa depan yang tak jelas membuat para orang tua juga tertekan.

"Kemudian banyak konflik di rumah yang menjadi beban dan larinya juga pada emosi mereka dan itu berdampak pada anak. Si anak kemudian juga merasa makin banyak problem, mulai dari sekolah online, dengan tugas yang banyak lalu semua orang ada di rumah. Ternyata itu juga problem dan orang tua ternyata kadang belum siap juga untuk menemani sang anak," ucapnya.

Meski memang kebanyakan orang tua belum siap, namun tidak dipungkiri beberapa keluarga sudah tidak kaget dengan perubahan kondisi di masa pandemi Covid-19. Golongan orang tua ini adalah yang sudah siap atau terbiasa membangun komunikasi rutin dengan keluarga.

Tidak melulu, harus serius tapi terbiasa rutin membangun komunikasi itu akan menjadi lebih mudah di depan dalam menghadapi kondisi seperti masa pandemi Covid-19 saat ini. Anak-anak nantinya akan terbiasa mengekspresikan perasaan dan orang tua juga biasa mendengarkan.

Namun tidak semua orang tua memiliki pemahaman seperti itu. Berangkat dari situ Puspaga hadir untuk memberikan pemahaman tersebut.

"Jadi kita menerima banyak sekali orang tua yang membawa anaknya. Tapi justru kami lebih akan berfokus kepada pemahaman orang tuanya, atau edukasi. Lalu dari sana membangun kembali kedekatan itu. Setelah itu baru bisa melakukan komunikasi yang baik dengan anak," tuturnya.

Disampaikan Novita, rata-rata problem orang tua yang diselesaikan saat konseling itu adalah persoalan atau hambatan emosi di dalam dirinya sendiri. Mulai dari masalah kecemasan ketakutan, perekonomian dan lain-lain.

Saat persoalan-persoalan itu selesai, otomatis logika dalam diri orang tua atau pribadi itu sudah mulai kembali berjalan. Lalu setelah itu bisa untuk fokus pada tujuan dalam diri dan keluarganya.

Menurutnya, persoalan yang tumbuh di dalam keluarga itu tergantung kepada visi misi dan nilai-nilai keluarga yang ada. Tidak dipungkiri bahwa memang jika dilihat secara umum pandemi Covid-19 berdampak pada timbulnya masalah itu.

Namun artinya, dampak besar atau meminimalisir dampak itu kembali pada keluarga itu sendiri. Sekarang ada yang sudah siap untuk membangun komunikasi dengan keluarga secara baik namun kebanyakan belum.

"Justru yang jadi persoalan adalah pandemi memang menjadi persoalan namun buat keluarga-keluarga yang tidak terbangun komunikasi dengan baik. Nilai-nilainya dalam keluarga tidak jelas, itukan berbeda pada saat ada pandemi yaudah dibiarkan begitu saja. Tidak ada komunikasi baru saat muncul konflik di tengah kebingungan menyelesaikannya," paparnya.

Novita menilai bahwa pola pengasuhan yang dimiliki setiap keluarga itu sangat berpengaruh. Yang perlu dipahami adalah pola pengasuhan itu tidak membiarkan tapi mengingatkan dan memperbaiki kalau ada kesalahan.

"Jadi yang paling penting menurut saya itu ranah orang tua sebenarnya. Kalau anak sudah jelas dari awal kan tidak masalah. Kalau anak biasa berkomunikasi itu pasti juga mendengarkan. Pemecahan masalah lebih gampang," cetusnya.

Di balik kondisi yang serba tidak menentu di tengah pandemi Covid-19, ada banyak kesempatan yang dapat dimaksimalkan di sana. Nilai-nilai itu yang justru tidak diajarkan di sekolah dan dapat seharusnya dimaksimalkan oleh keluarga di rumah.

Semisalnya tentang bagaimana cara mengelola emosi, nilai-nilai dalam mengambil sebuah keputusan, hingga membangun hubungan yang baik antara keluarga. Jadi memang tujuan utamanya bukan hanya target di nilai sekolah namun ada banyak ranah atau momen yang dapat dibangun oleh keluarga.

"Kembali lagi bahwa guru yang terbaik itu ya orang tua. Tidak perlu serba bisa tapi mau senantiasa hadir dan penuh perhatian mendengarkan lalu mencoba bersama itu poin plus tersendiri. Sesungguhnya yang dibutuhkan anak itu bukan serba tahu tapi mau mendengar dan ada di situ," imbuhnya.

Novita melihat, sekarang para orang tua itu sibuk dengan kepanikan-kepanikan, target, hingga masa depan sang anak. Tidak jarang justru muncul emosi saat bersama anaknya, padahal anak juga dapat merasakan tekanan misal saat dimarahi oleh orang tuanya.

Melihat kesehatan mental masyarakat Kota Jogja dari Puspaga

Tidak dipungkiri selain pada masalah keluarga, persoalan pribadi kadang juga memberatkan seseorang untuk berperilaku. Dalam ranah itu pun, Puspaga juga menampung berbagai keluhan masyarakat terkait dengan kesehatan mental terlebih di saat pandemi Covid-19.

"Kesehatan mental itu juga menjadi perhatian. Jadi rata-rata itu lebih pada bagaimana mengelola stres, berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan motivasi. Misalnya orang lulus kuliah dan bekerja di kondisi semacam ini [pandemi Covid-19] motivasinya menjadi menurun. Tidak hanya individu, keluarga pun ada, soal pernikahan juga ada," jelas Novita.

Dari data yang tercatat di Puspaga, selama tahun 2020 untuk layanan konseling tercatat sebanyak 98 kunjungan, konsultasi ada 20 kunjungan. Sementara layanan informasi ada 13 kunjungan, rujukan ada 9, pendampingan ada 10, promosi dan sosialisasi yang paling banyak yakni sebanyak 2.138.

Ketika ditanya apakah memang kembali lagi pandemi Covid-19 justru membuat masyarakat menjadi lebih tertekan dalam kesehariannya. Menurut Novita, justru akar permasalah itu terdapat pada pola pengasuhan yang terjadi di dalam keluarga.

Baik itu masalah yang terjadi pada remaja atau orang dewasa, namun tetap saja topik permasalahan itu akan masuk pada saat mereka masih kecil. Dari situ terlihat, rata-rata permasalahan yang hadir memang karena pola pengasuhan yang keliru.

Kekeliruan itu lantas berdampak pada pola kepribadian, pengambilan keputusan dan lain sebagainya di masa sekarang. Menurutnya dari hal besar yang masuk ke sini dan ditangani di Puspaga berawal dari pola pengasuhan.

"Makanya memang ilmu parenting itu penting untuk dipahami siapa saja. Kalau keluarga itu baik dalam pola pengasuhan juga akan menghasilkan anak-anak yang baik. Dia juga bisa bertanggungjawab, mengelola emosi dan mengambil keputusan. Sumbernya tetap kepada pola pengasuhan. Itu harus diselesaikan dulu dari orang tua artinya melihat kembali pola pengasuhan yang dialami. Hal ini buat orang-orang sudah dewasa," jelasnya.

Berbeda dengan kasus pada anak-anak di bawah 12 tahun. Meskipun mereka datang dengan permasalahan yang ada namun yang harus menerima konseling itu adalah orang tua.

Pemahaman itu diberikan terlebih dulu kepada orang tua si anak yang bersangkutan. Jangan sampai, ketika anak sudah dalam posisi yang baik namun ketika pulang ke rumah masalah itu muncul lagi.

Atau dapat dikatakan bahwa orang tua yang malah menjadi sumber masalah bagi anak tersebut. Namun kadang hal itu justru dilewatkan oleh orang tua.

Rata-rata orang tua panik sehingga langsung membawa si anak untuk diselesaikan masalahnya. Mulai dari misalnya susah untuk diberi tahu, main gim terus, semua problem itu justru orang tua menyalahkan si anaknya.

"Padahal ketika ditelusuri apakah memang si anak pernah diajak untuk berdialog bersama dengan serius atau komunikasi itu berjalan dengan baik di dalam keluarga. Itu yang kadang terlewat. Keluarga ini seperti kantor atau perusahaan, kita harus mempersiapkan sesuatu agar bisa berjalan dengan baik dan anak-anak di sini yang harus diajak bicara," ujarnya.

Belum selesai dengan urusan orang tua, di dalam dunia pendidikan juga hanya memikirkan target-target nilai yang didapat anak tersebut. Tidak pernah dipikirkan hal-hal yang lebih penting yaitu bagaimana ada ruang-ruang emosi yang juga perlu ada pembelajaran, berpikir yang memanusiakan, serta ada perilaku yang harus dibentuk dan diapresiasi.

Maraknya kasus bully atau perundungan yang terjadi di sekolah juga tak jarang dipengaruhi oleh sistem pendidikan tersebut. Sistem yang membentuk anak-anak yang pintar menjadi dominasi dan anak-anak bodoh menjadi tempat kritikan.

"Tidak ada ruang di tengah-tengah yang mereka dapat diperhatikan tanpa harus ada label terpintar atau terbodoh. Yang ada hanya kita tidak akan pernah dapat perhatian kalau tidak bandel atau pinter, selain itu tidak ada apresiasi," tegasnya.

Namun memang semakin berkembang, sistem pendidikan mulai memperhatikan ranah-ranah yang terabaikan tersebut. Sekarang sudah mulai diajarkan sistem yang bagaimana anak-anak berlaku lalu mendapatkan apresiasi.

Padahal sebenarnya hal itu bisa menjadi ranah pendidikan di rumah. Dilakukan oleh keluarga yang ada dengan berkomunikasi antara orang tua dan anak-anaknya tadi.

Sekarang orang tua, ucap Novita, masih banyak yang mengeluhkan atau tidak mengetahui masa depan anak akan seperti apa. Padahal hal tersebut memang tidak akan pernah diketahui di masa mendatang.

"Justru bagaimana kita bisa terima dengan keadaan seperti ini. Lalu menciptakan nantinya anak-anak ini tidak hanya berorientasi dengan nilai. Harapannya ada potensi yang banyak tidak hanya difokuskan pada akademik saja. Ada potensi dalam menjadi orang yang berempati, mudah beradaptasi, dan lain-lain, itu yang perlu dikembangkan," ucapnya.

Novita memaparkan bahwa setiap anak punya tahapan perkembangan sendiri-sendiri dan itu yang harus dipahami oleh orang tua. Setiap usia atau tahap perkembangan anak itu ada potensi yang itu perlu dikembangkan, dirangsang dan distimulasi.

Dalam kondisi pandemi Covid-19 misalnya, anak-anak yang baru berusia 2 tahun akan membutuhkan perkembangan motorik. Perlu ruang untuk bergerak dan beraktivitas yang aman dan nyaman.

Berbeda tahapan lagi ada anak-anak yang pola bahasannya, walaupun di tengah pandemi Covid-19 mempunyai keinginan tahu yang besar. Orang tua perlu sadar dan memberikan pilihan yang ada itu sebagai bentuk ruang-ruang untuk eksplorasi dan menyampaikan sesuatu.

"Naik lagi nanti logika pada usia 7-11 tahun itu perlu ada diskusi, dan mengajarkan kemandirian juga. Nanti pada usia 12 ke atas sudah akan beda lagi, sudah merencanakan atau membuat keputusan. Sebenarnya anak sudah memiliki potensinya masing-masing, tinggal menjadikannya kompetensi atau keahlian. Caranya bagaimana? Ya orang tua, yang membuat potensi baik ini menjadi kompetensi," katanya.

Disebutkan Novita, usia puber itu adalah usia yang paling tepat sebenarnya untuk mulai belajar parenting. Namun jika sejak awal pola pengasuhan itu sudah terlanjur salah, maka mau tidak mau yang bersangkutan harus belajar dan cari ke ahlinya.

"Walaupun ada kesalahan ya mau tidak mau harus diakui itu sebagai kesalahan dan diperbaiki sama-sama," tambahnya.

Penting bagi orang tua untuk mengajarkan anaknya untuk memiliki prinsip dalam hidup. Selain wilayah keluarga yang hadir untuk mengingatkan peran lingkungan juga menjadi penting sebagai pendukung tumbuh kembangnya.

Novita menilai bahwa masalah yang muncul adalah orang tua belum memahami peran masing-masing dalam pola pengasuhan tersebut. Termasuk dalam peran ayah dan ibu di dalam masing-masing keluarga.

"Saya melihat masih ada posisi yang berat sebelah, barangkali itu hanya dibebankan kepada ibu saja. Saya melihat padahal walaupun ibu itu tempat bertanya anak, akan tetapi ada kepala keluarga yang menjadi pemimpin dan mengarahkan yaitu ayah. Keterlibatan ayah dalam pola pengasuhan itu belum sepenuhnya ada, kebanyakan masih dibebankan kepada ibu saja," ungkapnya.

Pemahaman itu perlu dibangun dalam keluarga bahkan dari pasangan suami istri tersebut belum menjadi orang tua. Jadi sebelum bapak dan ibu, hubungan kedua individu ini harus kuat dulu.

Menyamakan visi misi, membicarakan pola pengasuhan yang akan dijalankan, hingga pola pendidikan anak ke depan. Itu semua sudah harus dibahas sebelum keluarga itu bertambah menjadi lebih besar.

"Termasuk pengenalan masing-masing pasangan. Itu persoalan awal ya sebenarnya, kalau itu sudah selesai baru bisa menyelesaikan masalah selanjutnya menjadi orang tua," tuturnya.

Menurutnya keluarga seharusnya sudah memiliki visi misi yang jelas sebelum melangkah lebih jauh. Ibarat sudah memiliki tujuan dan bekal untuk menghadapi rintangan yang akan muncul saat berjalan di depan.

Novita tidak menampik bahwa sejalan dengan perkembangan zaman sudah mulai timbul kesadaran itu dari keluarga-keluarga muda. Namun yang juga perlu diperhatikan oleh para keluarga itu adalah sumber edukasi yang jelas dan terpercaya.

"Jika orang tua kompak pasti anak juga akan mengikuti. Tidak ada kata sulit bila kita sudah mempelajari dan bila kita mau mempelajari kita bisa menghadapi dan menyelesaikan persoalan itu dengan baik juga," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak