Melihat kesehatan mental masyarakat Kota Jogja dari Puspaga
Tidak dipungkiri selain pada masalah keluarga, persoalan pribadi kadang juga memberatkan seseorang untuk berperilaku. Dalam ranah itu pun, Puspaga juga menampung berbagai keluhan masyarakat terkait dengan kesehatan mental terlebih di saat pandemi Covid-19.
"Kesehatan mental itu juga menjadi perhatian. Jadi rata-rata itu lebih pada bagaimana mengelola stres, berkomunikasi dengan orang lain, meningkatkan motivasi. Misalnya orang lulus kuliah dan bekerja di kondisi semacam ini [pandemi Covid-19] motivasinya menjadi menurun. Tidak hanya individu, keluarga pun ada, soal pernikahan juga ada," jelas Novita.
Dari data yang tercatat di Puspaga, selama tahun 2020 untuk layanan konseling tercatat sebanyak 98 kunjungan, konsultasi ada 20 kunjungan. Sementara layanan informasi ada 13 kunjungan, rujukan ada 9, pendampingan ada 10, promosi dan sosialisasi yang paling banyak yakni sebanyak 2.138.
Baca Juga:Usut Korupsi Pengadaan Barang Covid-19 di KBB, KPK Sambangi Tiga Lokasi
Ketika ditanya apakah memang kembali lagi pandemi Covid-19 justru membuat masyarakat menjadi lebih tertekan dalam kesehariannya. Menurut Novita, justru akar permasalah itu terdapat pada pola pengasuhan yang terjadi di dalam keluarga.
Baik itu masalah yang terjadi pada remaja atau orang dewasa, namun tetap saja topik permasalahan itu akan masuk pada saat mereka masih kecil. Dari situ terlihat, rata-rata permasalahan yang hadir memang karena pola pengasuhan yang keliru.
Kekeliruan itu lantas berdampak pada pola kepribadian, pengambilan keputusan dan lain sebagainya di masa sekarang. Menurutnya dari hal besar yang masuk ke sini dan ditangani di Puspaga berawal dari pola pengasuhan.
"Makanya memang ilmu parenting itu penting untuk dipahami siapa saja. Kalau keluarga itu baik dalam pola pengasuhan juga akan menghasilkan anak-anak yang baik. Dia juga bisa bertanggungjawab, mengelola emosi dan mengambil keputusan. Sumbernya tetap kepada pola pengasuhan. Itu harus diselesaikan dulu dari orang tua artinya melihat kembali pola pengasuhan yang dialami. Hal ini buat orang-orang sudah dewasa," jelasnya.
Berbeda dengan kasus pada anak-anak di bawah 12 tahun. Meskipun mereka datang dengan permasalahan yang ada namun yang harus menerima konseling itu adalah orang tua.
Baca Juga:Kena Refocusing Anggaran 2021, Bantuan Graduasi PKH Dinsos Bantul Ditunda
Pemahaman itu diberikan terlebih dulu kepada orang tua si anak yang bersangkutan. Jangan sampai, ketika anak sudah dalam posisi yang baik namun ketika pulang ke rumah masalah itu muncul lagi.
Atau dapat dikatakan bahwa orang tua yang malah menjadi sumber masalah bagi anak tersebut. Namun kadang hal itu justru dilewatkan oleh orang tua.
Rata-rata orang tua panik sehingga langsung membawa si anak untuk diselesaikan masalahnya. Mulai dari misalnya susah untuk diberi tahu, main gim terus, semua problem itu justru orang tua menyalahkan si anaknya.
"Padahal ketika ditelusuri apakah memang si anak pernah diajak untuk berdialog bersama dengan serius atau komunikasi itu berjalan dengan baik di dalam keluarga. Itu yang kadang terlewat. Keluarga ini seperti kantor atau perusahaan, kita harus mempersiapkan sesuatu agar bisa berjalan dengan baik dan anak-anak di sini yang harus diajak bicara," ujarnya.
Belum selesai dengan urusan orang tua, di dalam dunia pendidikan juga hanya memikirkan target-target nilai yang didapat anak tersebut. Tidak pernah dipikirkan hal-hal yang lebih penting yaitu bagaimana ada ruang-ruang emosi yang juga perlu ada pembelajaran, berpikir yang memanusiakan, serta ada perilaku yang harus dibentuk dan diapresiasi.
Maraknya kasus bully atau perundungan yang terjadi di sekolah juga tak jarang dipengaruhi oleh sistem pendidikan tersebut. Sistem yang membentuk anak-anak yang pintar menjadi dominasi dan anak-anak bodoh menjadi tempat kritikan.