"Tidak ada ruang di tengah-tengah yang mereka dapat diperhatikan tanpa harus ada label terpintar atau terbodoh. Yang ada hanya kita tidak akan pernah dapat perhatian kalau tidak bandel atau pinter, selain itu tidak ada apresiasi," tegasnya.
Namun memang semakin berkembang, sistem pendidikan mulai memperhatikan ranah-ranah yang terabaikan tersebut. Sekarang sudah mulai diajarkan sistem yang bagaimana anak-anak berlaku lalu mendapatkan apresiasi.
Padahal sebenarnya hal itu bisa menjadi ranah pendidikan di rumah. Dilakukan oleh keluarga yang ada dengan berkomunikasi antara orang tua dan anak-anaknya tadi.
Sekarang orang tua, ucap Novita, masih banyak yang mengeluhkan atau tidak mengetahui masa depan anak akan seperti apa. Padahal hal tersebut memang tidak akan pernah diketahui di masa mendatang.
Baca Juga:Usut Korupsi Pengadaan Barang Covid-19 di KBB, KPK Sambangi Tiga Lokasi
"Justru bagaimana kita bisa terima dengan keadaan seperti ini. Lalu menciptakan nantinya anak-anak ini tidak hanya berorientasi dengan nilai. Harapannya ada potensi yang banyak tidak hanya difokuskan pada akademik saja. Ada potensi dalam menjadi orang yang berempati, mudah beradaptasi, dan lain-lain, itu yang perlu dikembangkan," ucapnya.
Novita memaparkan bahwa setiap anak punya tahapan perkembangan sendiri-sendiri dan itu yang harus dipahami oleh orang tua. Setiap usia atau tahap perkembangan anak itu ada potensi yang itu perlu dikembangkan, dirangsang dan distimulasi.
Dalam kondisi pandemi Covid-19 misalnya, anak-anak yang baru berusia 2 tahun akan membutuhkan perkembangan motorik. Perlu ruang untuk bergerak dan beraktivitas yang aman dan nyaman.
Berbeda tahapan lagi ada anak-anak yang pola bahasannya, walaupun di tengah pandemi Covid-19 mempunyai keinginan tahu yang besar. Orang tua perlu sadar dan memberikan pilihan yang ada itu sebagai bentuk ruang-ruang untuk eksplorasi dan menyampaikan sesuatu.
"Naik lagi nanti logika pada usia 7-11 tahun itu perlu ada diskusi, dan mengajarkan kemandirian juga. Nanti pada usia 12 ke atas sudah akan beda lagi, sudah merencanakan atau membuat keputusan. Sebenarnya anak sudah memiliki potensinya masing-masing, tinggal menjadikannya kompetensi atau keahlian. Caranya bagaimana? Ya orang tua, yang membuat potensi baik ini menjadi kompetensi," katanya.
Baca Juga:Kena Refocusing Anggaran 2021, Bantuan Graduasi PKH Dinsos Bantul Ditunda
Disebutkan Novita, usia puber itu adalah usia yang paling tepat sebenarnya untuk mulai belajar parenting. Namun jika sejak awal pola pengasuhan itu sudah terlanjur salah, maka mau tidak mau yang bersangkutan harus belajar dan cari ke ahlinya.
"Walaupun ada kesalahan ya mau tidak mau harus diakui itu sebagai kesalahan dan diperbaiki sama-sama," tambahnya.
Penting bagi orang tua untuk mengajarkan anaknya untuk memiliki prinsip dalam hidup. Selain wilayah keluarga yang hadir untuk mengingatkan peran lingkungan juga menjadi penting sebagai pendukung tumbuh kembangnya.
Novita menilai bahwa masalah yang muncul adalah orang tua belum memahami peran masing-masing dalam pola pengasuhan tersebut. Termasuk dalam peran ayah dan ibu di dalam masing-masing keluarga.
"Saya melihat masih ada posisi yang berat sebelah, barangkali itu hanya dibebankan kepada ibu saja. Saya melihat padahal walaupun ibu itu tempat bertanya anak, akan tetapi ada kepala keluarga yang menjadi pemimpin dan mengarahkan yaitu ayah. Keterlibatan ayah dalam pola pengasuhan itu belum sepenuhnya ada, kebanyakan masih dibebankan kepada ibu saja," ungkapnya.
Pemahaman itu perlu dibangun dalam keluarga bahkan dari pasangan suami istri tersebut belum menjadi orang tua. Jadi sebelum bapak dan ibu, hubungan kedua individu ini harus kuat dulu.