Sikapi Kelonggaran Mudik Lebaran, Epidemiolog UGM: Sebaiknya Tak Mudik Dulu

Epidemiolog UGM sebut aktivitas mudik lebaran masih berpeluang besar menularkan covid-19.

Galih Priatmojo
Rabu, 24 Maret 2021 | 15:26 WIB
Sikapi Kelonggaran Mudik Lebaran, Epidemiolog UGM: Sebaiknya Tak Mudik Dulu
Sejumlah calon penumpang bersiap memasuki bus di Terminal Terpadu Pulo Gebang, Jakarta, Kamis (11/2/2021). [Suara.com/Angga Budhiyanto]

SuaraJogja.id - Beberapa waktu lalu Kementrian Perhubungan mengeluarkan kebijakan yang melonggarkan soal mudik lebaran. Epidemiolog UGM memberikan tanggapannya atas kebijakan tersebut.

Pemerintah melalui Kementerian Perhubungan mengumumkan tidak akan melarang untuk mudik lebaran tahun ini. Kebijakan ini tentu berbeda dengan tahun lalu manakala pemerintah melarang mudik lebaran.

Pemerintah diketahui pernah melakukan pelarangan mudik pada hari raya lebaran tahun kemarin untuk menekan angka penularan Covid-19 lewat perjalanan orang antardaerah. 

Epidemiolog UGM, Riris Andono Ahmad mengatakan kemungkinannya sangat kondisional. Ia menilai ada beberapa skenario yang mungkin menjadi pertimbangan pemerintah tidak melakukan pelarangan mudik tahun ini di tengah pandemi Covid-19.

Baca Juga:PPKM Diperpanjang, Epidemiolog UGM: Mobilitas Masyarakat Harus Dicegah

“Mungkin beranggapan coverage imunisasinya sudah cukup bagus dan itu mungkin akan menyebabkan situasinya lebih bisa dikendalikan," katanya seperti dilansir dari situs resmi UGM, Rabu (17/3/2021).

Hanya saja, menurutnya, ini bukan soal coverage imunisasi yang bagus. Jika kemudian protokol kesehatan tidak diterapkan dengan baik penularan pasti akan tetap terjadi dan bisa menjadi banyak meskipun penanganannya tidak serumit sebelum mendapat vaksin.

Sayangnya, coverage imunisasi belum banyak/ belum bagus karena kebanyakan baru dilakukan ke pusat-pusat vaksinasi yang notabene adalah pusat-pusat perkotaan. Oleh karena itu, meski telah menerima imunisasi vaksin Covid-19 diharapkan tetap menerapkan protokol kesehatan agar tidak tertular karena kemungkinan tertular tetap ada.

Riris menyebut pilihan moda transportasi bisa menjadi faktor tingginya transmisi virus ke daerah-daerah di saat mudik nanti. Karenanya pemerintah saat ini mencoba untuk memfasilitasi koridor-koridor transportasi publiknya dengan GeNose dan sebagainya.

Menurutnya, public tansport relatif jauh lebih aman, masalahnya adalah bagi mereka yang melakukan perjalanan mudik bersama. Misalnya, dengan sewa bareng, kondisi ini justru bisa menjadi moda transmisi virus ke daerah karena pengawasan yang mungkin tidak begitu ketat.

Baca Juga:Kunci Keberhasilan PTKM, Epidemiolog UGM: Perlu Ketegasan Penegakan Aturan

“Beberapa skenario  bisa terjadi, tergantung nanti bagaimana situasinya. Itu kan sangat cair ya, banyak variabel yang berperan disitu," ucapnya.

Terkait vaksin, ia menilai bukan soal sudah memenuhi target atau belum, tetapi yang penting sebenarnya adalah seberapa cepat populasi tervaksinasi. Artinya semakin cepat semakin baik.

Untuk gelombang pertama ada 4 juta yang tervaksinasi disusul gelombang kedua sebanyak 1,5 juta. Hanya saja, problemnya bukan masalah tercapai atau tidak, tetapi dari 5,5 juta seberapa persen dari populasi, dan yang lebih penting bisa menurunkan transmisinya.

“Kalaupun itu sudah sesuai target pemerintah, bahkan untuk gelombang  1 boleh dibilang lebih dari 100 persen, tapi pertanyaannya apakah cakupannya cukup tinggi di populasi yang kemudian mampu menurunkan risiko penularan," ungkapnya.

Riris mengakui dengan vaksin bisa menimbulkan sikap optimisme atau sebaliknya. Karena dengan divaksin seseorang dengan mudah bisa bersikap abai terhadap protokol kesehatan karena sudah merasa relatif aman.

Dengan tidak adanya larangan mudik tahun ini, kata Riris, daerah bisa saja memberlakukan kebijakan dengan memastikan mereka yang datang memiliki sertifikat vaksin atau surat bebas infeksi. Ini sebagai upaya meminimalkan risiko, meskipun risiko tersebut tetap saja ada dan tidak hilang sama sekali.

Ia berharap pemerintah daerah dalam membuat kebijakan tetap harus berkoordinasi dengan pemerintah pusat. Sebab, untuk kondisi sekarang ini bisa saja daerah membuat kebijakan sesuai konteks lokal asal tidak bertentangan.

“Surat vaksin, bebas covid dan lain-lain masih sangat diperlukan. Karena itu langkah meminimalkan risiko. Meski dengan upaya seperti itu, tetap saja ada yang tertular. Sama seperti kita sudah vaksinasi masih ada yang terinfeksi," terangnya.

Soal kebijakan yang akan berlaku ini, kata Riris, sebenarnya pembicaraan bukan sekadar pada level individual tetapi pada level populasi. Sebab, jika pada level populasi kejadian itu bisa diminimalkan.

Karenanya ia berharap pada level besarnya sebaiknya masih ditunda dahulu. Sementara untuk level mikronya bisa dengan mempertimbangkan beberapa hal, misalnya kedua belah pihak baik yang mengunjungi maupun dikunjungi sudah vaksin, protokol kesehatan tetap dilakukan dan menggunakan moda transportasi yang dijamin keamanannya.

“Kita ingat mudik itu biasanya cukup lama, artinya kita bisa tertular selama di perjalanan, kalau mudiknya lebih dari 7 hari bisa menularkan. Saat berangkat sehat, tapi tertular di perjalanan, kalau di kampung halaman lebih dari satu minggu kan bisa menjadi sumber penularan disitu, dan sangat mungkin seperti itu," urainya.

Karenanya ia sangat berharap sebisa mungkin jangan mudik dahulu. Mengurangi pergerakan karena coverage vaksinasinya belum tinggi dan hingga lebaran nanti diperkirakan masih belum cukup tinggi.

“Risiko penularan masih cukup besar, meskipun kita sudah divaksin pun penularan masih tetap bisa terjadi, dan yang lebih penting itu kan risiko paparan penyakit dan kematian agar bisa diturunkan," tukasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak