Punya Gelar Mentereng dari Oxford dan Harvard, Dosen Muda UGM Ini Ternyata Pernah Gagal UN

Dikenal berprestasi dan penuh kebanggaan, Rifky ternyata pernah gagal mengikuti Ujian Nasional pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA).

Eleonora Padmasta Ekaristi Wijana | Mutiara Rizka Maulina
Jum'at, 11 Juni 2021 | 16:57 WIB
Punya Gelar Mentereng dari Oxford dan Harvard, Dosen Muda UGM Ini Ternyata Pernah Gagal UN
Dosen Fakultas Hukum UGM Muhammad Rifky Wicaksono ditemui di ruang kerjanya, Jumat (11/6/2021). - (SuaraJogja.id/Mutiara Rizka)

SuaraJogja.id - Gedung Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) terasa sepi tanpa ada aktivitas kemahasiswaan yang biasa memenuhi gedung tujuh lantai tersebut. Seorang pria berkemeja batik motif luring membawa tas kerjanya berjalan ke ruang kerja di lantai 5 gedunga A Fakultas Hukum. Pria berkaca mata itu masuk ke dalam ruangan dengan nama yang tertulis di pintu, Muda, Muhammad Rifky Wicaksono, SH, MJur (Dist), LL M.

Akrab disapa Rifky, pria kelahiran Yogyakarta 17 November 1992 tersebut merupakan lulusan Fakultas Hukum UGM, Oxford University dan juga Harvard University. Dibalik gelar-gelarnya yang mentereng dari berbagai universitas kenamaan dunia, Rifky ternyata pernah mengalami fade gagal. Layakanya manusia pada umumnya, fase yang terjadi pada tahun 2010 silam itu pun membuat Rifky terpuruk.

Dikenal berprestasi dan penuh kebanggaan, Rifky ternyata pernah gagal mengikuti Ujian Nasional pada masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Ia gagal pada satu mata pelajaran yang membuatnya dinyatakan gagal mengikuti UN. Sembari bersandar di kursi kerjanya, Rifky menceritakan kembali peristiwa 10 tahun silam yang cukup membekas dalam memori perjalanan hidupnya.

"Jadi waktu saya SMA saya aktif ikut debate bahasa Inggris. Alhamdulillah waktu itu saya juara nasional dan harus mewakili ke tingkat Internasional," cerita Rifky.

Baca Juga:Virus Corona Bermutasi, Dosen UGM Sebut Transimisi ke Manusia Lebih Tinggi

Siapa disangka, jika cerita kegagalannya ini berawal dari keberhasilannya mewakili Indonesia dalam ajang debate bahasa Inggris tingkat internasional. Setelah berhasil menjuarai tingkat nasional, Rifky melanjutkan langkahnya ke Asian School Debating Championship pada November 2009 dan World School Debating Championship pada Februari 2010.

Akibat terlalu fokus mempersiapkan lomba debate, Rifky mengaku mengesampingkan persiapannya untuk menghadapi UN. Di sisi lain, ia juga harus mengikuti karantina intensif selama beberapa bulan. Setelah selesai dengan kegiatan debatenya, Rifky menerima kabar jika ujian dimajukan satu bulan lebih cepat. Dari yang seharusnya berlangsung bulan Mei menjadi April 2010.

Rifky akhirnya hanya memiliki waktu satu bulan setelah perlombaan untuk menghadapi ujian akhir. Sebenarnya, Rifky menyadari jika ia kurang maksimal untuk UN. Bahkan, sebelum pengumuman hasil ujian, Ia mengalami demam dan jatuh sakit. Hal itu seolah menjadi firasat bahwa dirinya akan menerima hasil yang mengecewakan.

Mengingat kembali peristiwa sepuluh tahun lalu, Rifky menceritakan bagaimana mobil sekolah terparkir di halaman rumahnya pukul 07:30 WIB. Kemudian Kepala Sekolah SMAN 8 Yogyakarta dan salah seorang guru bertamu, sekaligus menyampaikan hasil ujian miliknya. Merasa sudah mendapatkan firasat buruk, awalnya Rifky tidak ingin menemui kedua gurunya itu dan hanya bersembunyi di dalam selimut di kamarnya. Sampai akhirnya dipanggil oleh kedua orangtuanya.

Mendengar kabar anak satu-satunya gagal menjalani Ujian Nasional, pasangan Nur Iswanto dan Rukmowati Brotodjojo, disebut kaget dan sekaligus kecewa bahkan juga khawatir. Selepas kepergian dua tamu dari sekolah, sang ibu bahkan sampai menitikkan air mata menangisi nasib anak laki-laki semata wayangnya. Meskipun, kedua orangtuanya tetap bersikap suportif.

Baca Juga:Dosen UGM Ungkap Isi Buku Bacaan Anies Baswedan, Warganet Teringat FPI

"Sangat kaget, sangat kecewa, sangat sedih. Walaupun demikian, yang saya sangat bersyukur mereka sangat suportif. Mereka tidak menganggap saya gagal," ungkapnya.

Di balik kegagalannya yang membuat pemenang berbagai kompetisi debate ini terpuruk, Rifky bersyukur kedua orangtuanya tetap memberikan dukungan. Meski anak semata wayangnya gagal, ayah dan ibu Rifky tidak menganggap putra mereka sebagai sosok yang gagal menjalani hidup. Justru lingkungan Rifky membesarkan hatinya dengan mengatakan jika kegagalannya adalah bagian atau proses dari kehidupan itu sendiri.

Untuknya yang masih berusia 17 tahun kala itu, mendengar dirinya gagal seolah dunianya terbalik atau berputar 180 derajat. Selama masa SMA, Rifky dan teman satu timnya banyak menorehkan prestasi. Ia bahkan selalu diapresiasi dan dipuji orang sekelilingnya. Kegagalan menjalani ujian adalah kegagalan terburuk pertama yang dijalani Rifky selama 17 tahun hidup dulu.

Ia merasa sangat terkejut dan sedih. Terutama ketika melihat air mata ibunya menetes akibat hal itu. Beruntungnya, ia dikelilingi oleh orang-orang yang tak lelah membagikan dukungan. Satu hal yang baru ia tahu dewasa ini, wali kelasnya saat SMA bahkan melindungi Rifky agar jangan sampai kegagalan yang membuatnya terpuruk itu diekspos oleh media.

Sebagai anak satu-satunya, sejak kecil Rifky selalu merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga nama baik dan kebanggaan bagi pasangan suami istri yang telah melahirkan dan membesarkannya hingga kini. Beruntungnya, saat itu ada ujian ulangan yang membantu Rifky agar bisa dinyatakan lulus dari jenjang menengah ke atas.

Satu bulan setelahnya, pada bulan Mei 2010 di tanggal awal pelaksaan UN, Rifky menjalani ujian ulangan untuk mata pelajaran matematika. Demi menebus kegagalanny, bapak satu orang anak ini belajar mati-matian dari pagi sampai petang. Ia juga mendaftarkan diri di bimbingan belajar untuk menambah persiapannya.

Dalam masa-masa dirinya mencoba bangkit dari keterpurukan, Rifky mencoba membaca biografi dari berbagai tokoh sukses yang juga pernah mengalami kegagalan. Seperti Thomas Alfa Edison dengan 1000 percobaannya menemukan lampu. Kemudian Bill Gates yang sempat dikeluarkan dari universitas dan juga Steve Jobs ditendang dari kampungnya sendiri.

"Saya semacam mencari harapan dari kisah-kisah oranglain. Kalau boleh jujur, ini juga alasan saya kenapa akhirnya membuka kisah ini," kata Rifky.

Selain teman dan keluarga terdekat, sejatinya tidak banyak yang tahu mengenai fase terpuruknya Rifky saat gagal menempuh ujian. Setelah berlalu sepuluh tahun lamanya, dan mengingat bagaimana kisah kegagalan orang lain memberikan harapan untuknya, Rifky lantas ingin juga membeberkan kisahnya. Ia berharap kisah gagalnya ini bisa memberikan harapan untuk orang yang sedang putus asa atau merasa gagal.

Meski sempat gagal ujian, Rifky sebenarnya sudah diterima di Fakultas Hukum UGM melalui International Undergraduate Program. Kecintaannya kepada dunia hukum datang dari berbagai lomba debate yang diikuti. Berbagai mosi yang digunakan dalam kompetisi banyak datang dari bidang hukum. Hal itulah yang menuntun Rifky akhirnya memilih menjadi mahasiswa hukum dan menuntaskannya tepat selama empat tahun.

Selesai menempuh jenjang strata satu, Rifky sempat mengabdi sebagai pengacara di Assegaf Hamzah and Partners. Dua belas bulan berlalu, pria yang senang berdiskusi dan membagikan pengetahuannya ini merasa lebih menyukai dunia pendidikan. Rifky merasa, untuk jangka panjang dirinya memiliki minat di dunia pendidikan. Setelah berdiskusi dengan Dekan Fakultas Hukum, Rifky akhirnya diberi tanggung jawab sebagai asisten dosen.

"Jadi itu juga kesempatan luar biasa dari beliau. Saya sangat berterimakasih. Karena biasanya untuk bisa jadi asisten pun orang harus S2 dulu," cerita Rifky dengan mata berbinar mengingat momen membahagiakan itu.

Tidak berdiam diri, pada saat yang sama Rifky juga mendaftarkan diri untuk program beasiswa Jardine Foundation. Sembilan bulan Rifky tinggal di negara orang untuk menempuh pendidikan di Oxford University, suami dari Intan Aisha Humairah Rizquha ini mendapatkan gelar Magister Juris dari University of Oxford pada 2017.

Selanjutnya pada tahun 2020 kemarin, di tengah situasi pandemi Rifky kembali menjadi satu-satunya orang Indonesia yang lulus dari program Master of Laws Harvard Law School. Bahkan, ia juga mendapat gelar Dean’s Scholar Prize karena mendapatkan nilai tertinggi untuk dua mata kuliah, yaitu Mediation dan International Commercial Arbitration. Sayangnya, situasi pandemi membuat Rifky menjalani kuliah secara daring sampai lulus tanpa sempat berkunjung ke universitas almamater Barrack Obama.

Usahanya untuk bisa lulus dari salah satu universitas terbaik di dunia, yakni Oxford University seolah menjadi kabar bahagia yang menyapu kekecewaan sang ibu atas kegagalannya di masa lampau. Bisa membawa kedua orangtuanya untuk mengikuti prosesi megah wisuda mahasiswa Oxford University menjadi tuas yang mengangkat batu ganjalan dari dukanya dari masa SMA.

"Saya merasa lega, sudah plong saat lulus dari Oxford kemarin. Setelah wisuda itu, ibu saking bangganya menitikkan air mata bahagia," kenang Rifky dengan nada bicara yang terdengar bahagia.

Tidak hanya sampai disitu, September 2021 mendatang Rifky akan melanjutkan pendidikan strata tiga di Oxford University. Bersama dengan anak dan istri ia akan memboyong keluarganya ke Inggris. Dibalik semua gelar yang mengharumkan namanya dan keluarganya, bagi Rifky hal yang paling penting adalah apa yang akan dilakukan dengan gelarnya.

Apa yang dia capai saat ini, adalah amanah dan tanggung jawab luar biasa. Kedepannya, Rifky ingin berkontribusi untuk negara, khususnya dalam perkembangan dan pembaharuan hukum pada persaingan usaha. Rifky juga memiliki impian di bidang pendidikan hukum. Salah satunya untuk menghasilkan buku teks untuk pengusaha.

Sebagai penganut agama Islam, motto yang dipegang Rifky ketika melalui masa-masa sulit adalah QS Al-Baqarah Ayat 286. Dimana dalam ayatnya diartikan, "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya. (Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami melakukan kesalahan."

"Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebani kami dengan beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tidak sanggup kami memikulnya. Maafkanlah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah pelindung kami, maka tolonglah kami menghadapi orang-orang kafir."

Setelah 34 menit berbincang dalam ruangan berukuran 2x3 meter, Rifky akhirnya harus kembali melanjutkan aktivitas di tengah jadwalnya yang sibuk. Selain mengajar di bidang Hukum Persaingan Usaha dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Rifky juga harus mengikuti beberapa pertemuan dan wawancara lainnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini