SuaraJogja.id - Sejumlah pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Malioboro, Kota Yogyakarta merasa kecewa dengan pemberlakuan aturan makan di tempat dengan batasan 20 menit selama PPKM Level 4. Bagi pedagang hal itu tak akan membuat nyaman pembeli saat menyantap makanan.
"Coba saja yang membuat peraturan itu nyobain, kasih contoh, apakah mereka nyaman dengan durasi makan secepat itu?. Seharusnya tidak perlu sampai dibatasi," ungkap seorang pedagang soto di Malioboro, Yati Dimanto ditemui SuaraJogja.id, Rabu (28/7/2021).
Ia mengatakan bahwa orang yang tengah menyantap makan di rumah dengan kondisi yang tenang sekalipun tidak akan cukup 20 menit.
"Saya pikir yang membuat kebijakan itu juga aneh, menyiapkan makanan ya bisa lima menit. Belum mereka makannya, setelah makan menunggu dulu sampai makanannya turun. Tidak bisa hanya 20 menit," terang Yati.
Baca Juga:PPKM Dilonggarkan, DPUPKP Jogja Tetap Padamkan PJU di Malioboro
Wanita 63 tahun ini sudah puluhan tahun berjualan soto di Malioboro. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya, Yati bergantung pada hasil penjualan sotonya itu.
"Sudah hancur-hancuran jika bicara kondisi saat ini. Selama PPKM Darurat itu kan sudah tidak boleh jualan di sini. Hampir 20 hari tidak berjualan dan tidak ada pemasukan," kata dia.
Pantauan Suarajogja.id, hari ketiga sejak Pemkot Jogja memperbolehkan masyarakat berjualan di Malioboro masih sangat sepi. Ada sejumlah wisatawan yang datang tapi hanya melintas.
Hal itu juga dirasakan Yati. Pertama kali buka sejak Rabu (28/7/2021) pukul 07.00-16.00 wib, hanya tiga orang yang datang ke lapaknya.
"Itu saja hanya minum dan tidak makan. Jadinya tidak ada untungnya," ujar dia.
Baca Juga:PKL Boleh Bergiliran Jualan Selama PPKM, Pemda DIY Buka-Tutup Malioboro
Seorang pedagang lainnya, Utomo Harso (40) mengaku belum berani berjualan. Pasalnya dia membuka jualan pada malam hari dan aturan untuk aktifitas di Malioboro harus berakhir pukul 20.00 wib.
"Setelah itu kan lampu dimatikan. Percuma saja saya berjualan pukul 18.30 wib, tutup pukul 20.00 wib. Siapa yang akan membeli?," keluhnya.
Pemberlakuan makan di tempat dengan batasan 20 menit dan maksimal tiga pelanggan, bukan peraturan yang menguntungkan pedagang bagi Utomo. Jika pemerintah berniat membantu masyarakat terutama pedagang terdampak, beri mereka bantuan dan modal untuk berjualan kembali.
Terpisah, Presidium Paguyuban Kawasan Malioboro, Sujarwo mengaku dibolehkannya pedagang di Kota Jogja kembali berjualan memang sedikit melegakan. Kendati begitu percuma jika akses jalan masuk ke Jogja masih disekat.
"Coba sekarang, dari Jalan Kaliurang mau ke UGM, kan aksesnya ditutup. Lalu dari Jalan Monjali berencana ke Tugu Pal Putih juga ditutup. Sehingga orang dari arah utara yang akan ke selatan pasti sulit masuk ke Malioboro," terang Sujarwo dihubungi melalui sambungan telepon.
Menurutnya sebelum ada kelonggaran berdagang, pemerintah harusnya melihat kondisi jalan-jalan yang disekat.
"Diberi kesempatan berjualan kan setengah hati, secara psikologis menyenangkan pedagang sudah boleh berjualan. Tapi sebelum berbicara batas waktu 20 menit dan pelanggan maksimal 3 orang, akses jalan saja masih dibatasi," kata dia.
Sujarwo menjelaskan bahwa terdapat 2.000-an anggota paguyuban PKL di Malioboro. Ia menyebut bahwa pedagang yang paling terdampak adalah pedagang malam hari.
"Aturannya pukul 20.00 wib aktifitas harus berhenti di sini, setelah itu lampu dimatikan. Jadi mereka tak pernah terakomodir dalam kebijakan yang dibuat pemerintah," ujar dia.