Tentang Raperda Pendidikan Khusus, SAPDA: Tujuannya Tidak Jelas dan Bersifat Diskriminatif

Tio menilai bahwa sejak awal pun raperda itu sudah memiliki sejumlah persoalan.

Galih Priatmojo | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 21 September 2021 | 18:09 WIB
Tentang Raperda Pendidikan Khusus, SAPDA: Tujuannya Tidak Jelas dan Bersifat Diskriminatif
Konferensi pers jaringan organisasi dan pegiat disabilitas di Kantor Komite Disabilitas DIY, Selasa (21/9/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Jaringan organisasi dan pegiat disabilitas di Yogyakarta dengan tegas menolak pengesahan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pendidikan Khusus oleh DPRD DIY. Pasalnya Raperda tersebut dinilai tidak mencerminkan komitmen pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di DIY

Salah satu pegiat disabilitas dari Sentra Advokasi Perempuan Difabel dan Anak (SAPDA) Tio Tegar menyebut bahwa Raperda Pendidikan Khusus tidak memiliki sasaran bahkan tujuan yang jelas. Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak pendidikan bagi para penyandang disabilitas. 

"Kalau memang Raperda Pendidikan Khusus ini punya maksud yang baik terkait dengan pendidikan dan hak pendidikan untuk penyandang disabilitas, pasti kemudian sasaran dan tujuannya dan sebagainya itu pasti jelas tapi ini tidak," kata Tio kepada awak media di Kantor Komite Disabilitas DIY, Selasa (21/9/2021).

Tio menilai bahwa sejak awal pun raperda itu sudah memiliki sejumlah persoalan. Salah satunya terkait dengan definisi yang tercantum dalam Raperda Pendidikan Khusus ini.

Baca Juga:Gubernur DIY Minta Penerapan Kebijakan Anak di Bawah 12 Tahun ke Mall Harus Hati-hati

"Bahkan dari awal kalau kita baca definisi dari Raperda ini sudah kacau. Di situ mendefinisikan pendidikan khusus dan pendidikan inklusif itu dalam satu ketentuan yang sama," ungkapnya.

Padahal, kata Tio, jika mengacu pada regulasi yang berada di atasnya atau sebut saja Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016. Definisi antara pendidikan inklusif dan khusus itu tidaklah sama.

"Kalau kita mengacu pada regulasi di atasnya. Misalnya Undang-Undang nomor 8 tahun 2016. Ini dua barang, dua hal yang berbeda," ucapnya. 

Selain itu, disebutkan Tio bahwa dalam Perda 4 tahun 2012 tentang penyandang disabilitas yang sekarang juga tengah dalam proses revisi. Bahkan lebih memberikan panduan yang lebih jelas mengenai hal itu.

"Di sana dijelaskan pendidikan inklusif itu apa, pendidikan khusus itu apa, dan itu memang dua hal yang berbeda," sambungnya.

Baca Juga:Berbarengan dengan PTS, Sekolah di DIY Batal Gelar Pembelajaran Tatap Muka

Dari segi posisi pun dua sistem pendidikan itu juga terdapat perbedaan. Khususnya jika dilihat dalam konteks Perda 4 tahun 2012.

"Posisinya menjadi jelas bahwa pendidikan khusus dalam konteks Perda 4 tahun 2012 itu diposisikan sebagai support sistem yang menyiapkan menuju sekolah inklusif dan itu juga sebagai pilihan. Tapi di sini itu hilang," tuturnya.

Tidak hanya itu, Tio juga menyoroti sejumlah peraturan yang bersifat diskriminatif terhadap para penyandang disabilitas. Hal itu ditemukan dalam beberapa pasal yang ada di raperda tersebut.

Salah satu contohnya adalah salah satu pasal yang menyatakan dapat menolak siswa disabilitas dengan alasan tertentu. 

"Kedua, kalau memang perda ini maksudnya baik mengapa ada ketentuan yang bersifat diskriminatif. Saya kasih contoh konkrit, bisa dicek di pasal 50 atau 51 saya kurang ingat, di situ ada satu ketentuan mengatakan sekolah itu bisa menolak siswa disabilitas dengan alasan tertentu. Nah alasan tertentu ini tidak dijelaskan maksudnya apa," terangnya.

Ia khawatir kalau kemudian Raperda Pendidikan Khusus itu benar-benar disahkan malah justru akan berdampak buruk bagi pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. 

"Kalau ini disahkan tentu bisa jadi pasal yang karet gitu bisa ditarik ulur. Ini justru kalau disahkan menjadi sangat diskriminatif bagi teman-teman penyandang disabilitas," tandasnya.

PO Advokasi OHANA Nuning Suryatiningsih menuturkan sebenarnya Raperda itu sudah dimulai DPRD periode yang lalu sekitar tahun 2018-2019. Namun memang keterlibatan organisasi atau pegiatan penyandang disabilitas itu sangat minim.

"Beberapa waktu yang lalu kami menolak. Bagaimana kalau ini ditunda dulu pembahasannya karena Perda nomor 4 tahun 2012 juga akan diamandemen," ucap Nuning.

Menurutnya menunggu revisi atau amandemen Perda nomor 4 tahun 2012 itu lebih bijak untuk dilakukan. Sebab di dalamnya juga sudah diatur tentang pendidikan inklusi itu sendiri sehingga dikhawatirkan akan terjadi overlap aturan.

"Karena di Perda nomor 4 tahun 2012 itu juga diatur tentang pendidikan inklusi. Sehingga nanti akan terjadi overlap antara Perda 4 tahun 2012 dengan Perda Tentang Pendidikan khusus ini," ungkapnya. 

Dalam hal ini jaringan organisasi dan pegiat disabilitas di Yogyakarta meminta agar DPRD DIY dan Gubernur DIY membatalkan penyusunan Raperda Pendidikan Khusus. Serta dapat segera menuntaskan revisi Perda 4 tahun 2012 yang telah berjalan. 

Adapun substansi pengaturan mengenai hak atas pendidikan bagi penyandang disabilitas cukup diatur bersama-sama dalam revisi tersebut.

Tidak lupa mereka meminta agar dalam penyusunan revisi Perda 4 tahun 2012 yang saat ini tengah berjalan itu dapat memastikan dan menjamin partisipasi penuh organisasi dan pegiat disabilitas. Tujuannya untuk turut mengawal substansi dari draft yang tengah disusun.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak