SuaraJogja.id - Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan sejumlah catatan terhadap 7 tahun pemerintahan Jokowi dan 2 tahun pemerintahan Jokowi-Ma'ruf amin. Pukat menilai bahwa presiden tidak memiliki perhatian khususnya untuk pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Menurut saya presiden tidak punya perhatian dalam pemberantasan korupsi," kata Peneliti Pukat UGM Zaenur Rohman saat dihubungi awak media, Rabu (20/10/2021).
Zaenur menuturkan situasi itu berbeda kemudian dengan semangat presiden dalam urusan pembangunan infrastruktur. Di mana presiden terlihat sangat bersemangat dalam kerja-kerja proyek strategis nasional dalam khususnya pembangunan infrastruktur.
Padahal tanpa adanya pemberantasan korupsi yang sistematis, kata Zaenur, pembangunan itu tidak akan menghasilkan satu hasil yang bermanfaat secara optimal untuk rakyat. Tetapi justru hasil pembangunan itu dimanfaatkan oleh segelintir kelompok elit melalui cara-cara yang korup.
Baca Juga:Blokade Jalan di Depan Gedung Sate, Mahasiswa Teriak Jokowi Gagal
"Ya bisa dikatakan tanpa adanya pemberantasan korupsi yang sistematis, Indonesia akan sulit untuk menjalankan pembangunan secara berkualitas," ujarnya.
Belum lagi Indonesia akan kesulitan untuk menjadi negara yang maju. Akibat dari sumberdaya publik yang sudah dikuasai melalui cara-cara yang korup oleh segelintir elit.
"Sehingga rakyat justru semakin susah untuk menikmati hasil pembangunan dengan berkualitas," ucapnya.
Nihilnya perhatian presiden dalam pemberantasan korupsi di Indonesia terlihat dari indeks persepsi korupsi yang ada. Hasil dari indeks persepsi korupsi terakhir yang diukur tahun 2020 mengalami penurunan.
"Jadi pada tahun 2020 itu indeks persepsi korupsi Indonesia justru turun drastis ya. Jika pada tahun 2019 berada di angka 40 poin justru turun 3 poin pada tahun 2020 hanya 37 poin. Nah ini penurunan yang sangat drastis. Angka 37 dari skala 100," tuturnya.
Baca Juga:Beredar Poster Ala Squid Game Kritik 2 Tahun Jokowi-Ma'ruf
Hal tersebut kemudian menunjukkan bahwa Indonesia masih lekat dengan korupsi Indonesia. Ini merupakan satu hasil yang buruk yang dibandingkan misalnya dengan negara-negara tetangga di Asean.
Kombinasi revisi Undang-undang KPK dan pemilihan pimpinan KPK periode sekarang oleh pansel bentukan presiden itu menjadi faktor indeks persepsi korupsi di Indonesia turun.
"KPK semakin digembosi sebagai hasil revisi itu, kemudian kinerja KPK sangat buruk terlihat dari angka operasi tangkap tangan juga turun drastis. KPK semakin tidak disegani oleh para pejabat dan justru banyak dirundung oleh permasalahan internal," terangnya.
"Salah satunya adalah akibat dari revisi undang-undang KPK yang mengubah status kepegawaian KPK menjadi ASN ada tes wawasan kebangsaan yang menghasilkan pemecatan 57 pegawai KPK," sambungnya.
Padahal 57 yang dipecat itu adalah para senior yang telah memiliki rekam jejak pemberantasan korupsi baik di KPK. Ia menilai kondisi tersebut merupakan kerugian besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
"Sayangnya presiden sejauh ini tidak melaksanakan rekomendasi Komnas HAM maupun Ombudsman mengenai adanya pelanggaran HAM dan maladministrasi dalam proses TWK tersebut dan saat ini situasi menggantung. Hal ini semakin menunjukkan bahwa memang komitmen presiden tidak ada dalam pemberantasan korupsi," tandasnya.