Tolak Penetapan Upah Berdasar UU Cipta Kerja, KSPSI DIY Desak Pemerintah Naikkan UMP

"Penetapan UMP/UMK 2022 harus mencapai KHL. Kami juga menolak terhadap penetapan upah yang diatur di UU Cipta Kerja."

Eleonora PEW | Muhammad Ilham Baktora
Jum'at, 12 November 2021 | 20:55 WIB
Tolak Penetapan Upah Berdasar UU Cipta Kerja, KSPSI DIY Desak Pemerintah Naikkan UMP
Ilustrasi upah

SuaraJogja.id - Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) DIY mendesak Pemerintah Daerah DIY tetap menaikkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Upah Minimun Kabupaten/Kota (UMK) di tahun 2022 dengan hasil survey Permenaker no 36/2021. Pihaknya menolak klausul dari UU no 11/2020 tentang Cipta Kerja yang penetapan upah meniadakan survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL).

Ketua DPD KSPSI DIY Irsyad Ade Irawan mengungkapkan bahwa penetapan UMP-UMK untuk tahun 2022 sudah mendekati batas akhir. Pihaknya mendesak Pemda DIY mempertimbangkan masukan untuk menaikkan UMP-UMK.

"Penetapan UMP/UMK 2022 harus mencapai KHL. Kami juga menolak terhadap penetapan upah yang diatur di UU Cipta Kerja," terang Irsyad dihubungi wartawan, Jumat (12/11/2021).

Ia mengatakan UMK di DIY tiap Kabupaten/Kota berbeda-beda. Dari pendataan pihaknya, nilai UMK di Kota Jogja sekitar Rp 2.069.530. Kabupaten Sleman senilai Rp1.903.000, Kabupaten Bantul sejumlah Rp1.842.460.

Baca Juga:Uji Materil UU Ciptaker di MK, Komnas Perempuan Dukung Gerakan Ibu-Ibu Pejuang Agraria

"Kulon Progo masih sekitar Rp1.805.000 dan paling rendah di Gunungkidul sejumlah Rp1.770.000," ujar dia.

Jumlah UMK tersebut masih terbilang rendah dibandingkan dengan hasil survei KHL tahun 2021. Irsyad merinci dari Permenaker No 36/2021, nilai KHL di Kota Jogja adalah Rp 3.067.048.

Hasil survei KHL di Kabupaten Sleman senilai Rp3.031.576, Kabupaten Bantul senilai Rp3.030.625. Di Kulon Progo, sebesar Rp2.908.031 sementara Gunungkidul sejumlah Rp2.758.281.

"Sehingga UMK di tahun 2022 harus menyesuaikan dengan hasil survei tersebut," kata dia.


Irsyad tak menampik bahwa penetapan UMP/UMK diatur di dalam UU Cipta Kerja. Dimana dalam peraturan turunannya PP nomor 36/2021, dalam menetapkan upah minimum meniadakan survey KHL.

Baca Juga:Terjadi Disharmonisasi UU Cipta Kerja, 80 Persen Jasa Konstruksi di Indonesia Gulung Tikar

"Memang tidak mengacu pada KHL namun dalam klausul diubah berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan," katanya.

Dasar kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan itu diatur di Pasal 25 ayat 4 dimana dalam ayat 2 terdapat variabel seperti paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan media upah.

KSPSI DIY juga menyebutkan di Pasal 25 ayat 5 juga disebutkan kondisi ekonomi itu mengikuti daya pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja dan median upah yang bersumber dari lembaga di bidang statistik.

"Jelas kami menolak karena klausul itu tak mencerminkan kebutuhan layak hidup sehari-hari warga DIY. Selain itu menghilangkan dewan pengupahan dalam menetapkan upah, dan menghilangkan collective bergaining yang dimiliki serikat pekerja/buruh di dalam Dewan Pengupahan," ujar dia.

Kondisi saat ini, kata Irsyad UU Cipta Kerja masih dalam proses gugatan di Mahkamah Konstitusi. Sehingga ada harapan dari Majelis Hakim membatalkan UU Cipta Kerja itu.

"Proses gugatan ini masih berjalan. Maka kami berharap pembatalan dari UU yang dinilai cacat dalam prosedur pembuatan dan bertentangan dengan UUD 1945," kata dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini