SuaraJogja.id - Disahkannya Omnibuslaw UU Cipta Kerja dan aturan turunannya oleh pemerintah semakin berdampak pada sulitnya perkembangan jasa konstruksi di Indonesia. Bahkan dikhawatirkan sekitar 100 ribu pelaku jasa konstruksi yang ada saat ini akan gulung tikar.
Persoalan ini muncul karena terjadinya disharmonisasi UU Cipta Kerja dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomo 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 6 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk Pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.
"Bila disharmonisasi uu cipta kerja dan aturan turunannya diterapkan, maka nanti terjadi reduksi jasa konstruksi yang tersisa tinggal 20 ribuan saja," ungkap Ketua Kompartemen Bidang Organisasi Asosiasi Kontraktor Nasional (askosnas), Mofa Carotetoka disela konsolidasi pejuang jasa konstruksi lintas daerah di Yogyakarta, Kamis (04/11/2021) malam.
Menurut Mofa, bila semakin banyak pelaku jasa konstruksi dan badan usaha gulung tikar, maka berbagai proyek ipembangunan yang digulirkan pemerintah pun dikhawatirkan bisa terhambat. Target pembangunan infrastruktur yang dicanangkan Presiden Jokowi pun tidak akan tercapai hingga 2024 mendatang karena tidak ada badan usaha yang membantu pemerintah.
Baca Juga:Aksi Demo Satu Tahun Omnibuslaw Dibubarkan, BEM SI Ungkapkan Kekecewaan
Dana-dana pembangunan pemerintah juga tidak akan terserap. Tenaga kerja pun tidak bisa bekerja karena sepi proyek dan pemasukan.
Regulasi turunan UU Cipta Kerja tersebut alih-alih memudahkan pelaku jasa konstruksi dalam menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM), modal, peralatan dan perijinan namun semakin menyulitkan. PP 5 Tahun 2021 dan Permen PUPR Nomor 6 Tahun 2021 membuat mereka sulit melakukan segmentasi badan usaha.
Selain itu aturan pembuatan neraca keuangan yang terintegrasi dengan Ditjen Pajak yang ketat juga membuat pelaku jasa konstruksi takut untuk ikut tender proyek. Pelaku jasa konstruksi pun diharuskan memiliki data pengalaman kerja.
"Padahal kan saat ini ada pelaku usaha [jasa konstruksi] yang data pengalaman kerjanya tidak terdata dengan baik sehingga pengalaman itu akan jadi sia-sia dan tidak bisa ikut tender. Akhirnya mereka tergerus karena peraturan baru pemerintah," tandasnya.
Mofa menambahkan, ditengah munculnya regulasi baru, pembinaan pemerintah kepada badan usaha dan pelaku jasa konstruksi lokal justru tidak dilakukan secara optimal. Permasalahan ini bisa membuat badan usaha dan jasa konstruksi dari luar negeri bisa mengambil peluang untuk melakukan tender proyek nasional.
Baca Juga:Roadmap Antar Kementerian Tak Jelas, Omnibuslaw Pertembakauan Mendesak Disahkan
"Proyek berpotensi diambil [jasa konstruksi] dari luar negeri, karena aturan belum siap tapi sudah digulirkan," ujarnya.
Sementara pakar hukum, Budi Danarto mengungkapkan ditetapkannya UU Cipta Kerja untuk memudahkan akses lapangan kerja. Namun dengan adanya disharmonisasi dengan aturan dibawahnya maka UU tersebut justru menyulitkan pengembangan lapangan kerja dan akses badan usaha.
"UU cita kerja tumpang tindih dengan PP dibawahnya. Seharusnya memudahkan akses namun sebaliknya memperketat perijinan berusaha," tandasnya.
Ditambahkan Ketua Umum DPP Askosnas, untuk mengatasi persoalan yang dihadapi pelaku jasa konstruksi, edukasi terkait regulasi pemerintah yang baru perlu dilakukan. Dengan demikian mereka memiliki pemahaman secara utuh dalam menyikapi aturan baru.
"Pemerintah memaksa kita untuk menjadi profesional, namun kita harus menyiapkan diri," imbuhnya.
Kontributor : Putu Ayu Palupi