Kejahatan Jalanan Kembali Marak, Sosiolog UGM Soroti Stigma Anak Nakal

"Kajian lain, stigma mengenai anak-anak yang nakal terus menghantui mereka."

Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 04 Januari 2022 | 18:58 WIB
Kejahatan Jalanan Kembali Marak, Sosiolog UGM Soroti Stigma Anak Nakal
Pelaku klitih Jakal dan sajam yang dipakai menganiaya saat dihadirkan di Mapolres Sleman, Rabu (29/12/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Arie Sujito, menuturkan terdapat beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kembali aksi kejahatan jalanan atau klitih. Mulai dari hilangnya ruang dialog hingga stigma terhadap anak-anak yang dianggap nakal di masyarakat.

"Jadi kalau saya membaca ya ini (fenomena klitih) memang disorientasi akibat dari hilangnya ruang-ruang untuk berdialog, terus hilangnya untuk mengalirkan energi itu," kata Arie saat dihubungi awak media, Selasa (4/1/2022).

Arie menuturkan ada pula kajian lain yang kemudian menyoroti stigma terhadap anak-anak itu sendiri, terlebih stigma pada anak-anak yang dianggap nakal di masyarakat terus menghantui mereka.

Tidak melulu hanya pada pelaku klitih saja, stigma juga diberikan ke anak-anak yang belum terlibat dalam aksi kejahatan jalanan itu. Hal itu membuat hilangnya rekognisi kepada anak-anak tadi di dalam lingkungannya.

Baca Juga:Sosiolog UGM: Istilah Soal Klitih Tidak Penting, Lebih Baik Diagonis Problemnya

Kenyataannya kondisi itu mengakibatkan hilangnya kebersamaan. Banyak orang dalam melakukan kenakalan remaja lantas gampang dihukum, distigma oleh kampung komunitas hingga sekolahnya.

"Kajian lain, stigma mengenai anak-anak yang nakal terus menghantui mereka. Bukan hanya pelaku klitih tapi anak-anak yang belum melakukan klitih ini rasa-rasanya tidak memperoleh rekognisi. Maka kampung atau komunitas pun perlu membuat aktivitas yang mampu membantu mereka agar eksis itu, agar merekognisi, diakui," terangnya.

Kemudian ada pula, kata Arie, dari sisi keluarga yang juga tidak bisa dilepaskan dalam fenomena ini. Keluarga bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kemudian berperilaku menyimpang.

Namun juga di sisi lain, keluarga bisa menjadi tempat untuk mengurai masalah. Sehingga memang ada faktor-faktor lain yang perlu didalami lebih lanjut.

"Mungkin dari sisi keluarga barangkali keluarga itu macam-macam, kan tidak semua keluarga itu, ada yang bilang itu sumber masalah tapi bisa itu dibalik keluarga bisa jadi solusi. Jikalau keluarga itu menjadi tempat untuk mengurai masalah. Kan gitu-gitu, ini bercampuran," ungkapnya.

Baca Juga:Fenomena Klitih Kembali Marak, Sosiolog UGM: Jangan Hanya Ditangani Saat Dianggap Darurat

"Ini banyak faktornya dan sebagai problem sosial memang ruang kita publik. Kemudian suasana Covid-19 ini membuat orang ekonominya juga disorientasi itu dampak. Tergantung kita bisa membacanya dari mana," sambungnya.

Sementara itu Dosen Sosiologi Fisipol UGM, Wahyu Kustiningsih menuturkan bahwa ada penyebab munculnya klitih khususnya di Jogja yang melibatkan anak-anak remaja. Salah satu yang disoroti adalah terkait dengan semakin terbatasnya ruang publik sebagai arena ekspresi.

“Jadi, ruang yang sudah berkurang semakin berkurang lagi saat ini orang pun akan semakin jauh dari masyarakat. Membentuk dunianya yang semakin terasing dari masyarakatnya karena mereka sudah asyik dengan komunitasnya yang bisa terhubung secara virtual dan sebagainya. Artinya peluang-peluang dari anak muda ini harus diperhatikan agar mereka bisa berinteraksi dan sebagainya guna bisa mengurangi kecenderungan melakukan aktivitas-aktivitas seperti klithih," kata Wahyu dalam keterangan tertulisnya.

Terlebih perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat di era pandemi Covid-19. Hal itu kemudian berimplikasi pada konsumsi dan produksi serta munculnya sifat invidualisme yang sangat tinggi.

“Ini tentunya juga berlaku bagaimana mereka berelasi sosial, artinya tidak heran jika mereka kemudian melihat fenomena klithih bukan menjadi bagian dari tugasnya. Bisa jadi seperti itu karena individualisme tinggi," paparnya.

Oleh karena itu, kata Wahyu, tantangan kedepan adalah bisa kembali menciptakan komunalitas di masyarakat. Guna meningkatkan partisipasi sesama warga khususnya anak-anak muda.

Ia mencontohkan dengan kegiatan Poskamling yang memang pada masa pandemi sudah sangat berkurang jauh. Hal itu bisa kemudian diaktifkan kembali dengan merangkul anak-anak muda yang suka nongkrong.

Sehingga energi-energi itu bisa disalurkan pada aktivitas untuk menjaga keamanan lingkungan. Ditambah juga dengan peran para sesepuh masyarakat yang bisa secara informal menyampaikan program-program bagus terkait pembangunan lingkungan atau desa.

“Jadi, banyak cara yang bisa dilakukan dengan memperkuat komunalitas, dan dalam komunalitas yang berupa kehidupan bersama itu kan sebenarnya nyawanya orang jawa ada di situ," pungkasnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini