Bukan Cuma Polisi, Sosiolog Sebut Penanganan Klitih Juga Tanggung Jawab Pemda

"Pemerintah harus punya tanggung jawab lebih, tidak sekadar menyerahkan kepada polisi ya."

Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Selasa, 04 Januari 2022 | 21:25 WIB
Bukan Cuma Polisi, Sosiolog Sebut Penanganan Klitih Juga Tanggung Jawab Pemda
Pelaku klitih Jakal dan sajam yang dipakai menganiaya saat dihadirkan di Mapolres Sleman, Rabu (29/12/2021). [Hiskia Andika Weadcaksana / SuaraJogja.id]

SuaraJogja.id - Persoalan kejahatan jalanan atau klitih di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) masih menjadi atensi semua pihak. Jajaran kepolisian tidak bisa sendirian untuk menghilangkan fenomena klitih itu secara seketika.

Sosiolog Universitas Gajah Mada (UGM), Arie Sujito, menyatakan bahwa pemerintah, dalam hal ini pemda, mempunyai tanggung jawab yang sama besarnya untuk menangani kejahatan jalanan tersebut; bukan lantas semata-mata dilimpahkan ketugasan itu kepada polisi saja.

"Pemerintah harus punya tanggung jawab lebih, tidak sekadar menyerahkan kepada polisi ya," kata Arie saat dihubungi awak media, Selasa (4/1/2022).

Terkhusus dalam hal ini Pemda DIY didorong untuk mampu ikut andil dalam fenomena yang meresahkan masyarakat tersebut. Setidaknya diperlukan pendekatan-pendekatan yang kemudian bisa digunakan untuk menekan angka kejahatan jalanan kembali terjadi.

Baca Juga:Kejahatan Jalanan Kembali Marak, Sosiolog UGM Soroti Stigma Anak Nakal

"Ya Pemda ini harus mengcreate sesuatu, misalnya kita ini Jogja yang keistimewaan bisa nggak, butuh pendekatan baru agar keistimewaan ini berkorelasi positif pada menurunnya angka kriminalitas, seperti klitih itu," ungkapnya.

Selama ini, tidak dipungkiri bahwa jajaran kepolisian bersama sejumlah instansi juga sudah melakukan kegiatan patroli saat malam hari. Namun ternyata kegiatan patroli itu juga belum bisa membendung energi besar dari anak-anak itu.

Belum lagi jika nanti energi itu justru disalurkan lewat hal-hal yang kemudian menimbulkan gesekan antara satu kelompok dengan lainnya. Hingga bentrok dan timbul lagi masalah baru dari sana.

Padahal setelah peristiwa terjadi anak-anak itu tidak tahu untuk apa sebenarnya mereka melakukan tindakan itu. Bahkan mereka juga tidak sadar bahwa atas tindakan mereka ada banyak pihak yang dirugikan.

"Sekali dibombong atau diprovokasi itu dengan iseng dia (pelaku klitih) melakukan pembacokan. Dia tidak pernah tahu untuk apa itu. Tiba-tiba nangis setelah dibawa ke kepolisian dan dia tidak sadar bahwa dampak dari tindakan itu merugikan orang lain, luka-luka bahkan yang meninggal. Dia tidak ada preferensi untuk membincangkan itu," urainya.

Baca Juga:Sosiolog UGM: Istilah Soal Klitih Tidak Penting, Lebih Baik Diagonis Problemnya

Menurut Arie, sudah seperlunya persoalan klitih ini didudukkan dalam spektrum yang luas. Tidak bisa hanya sekadar kriminal yang dilakukan oleh anak-anak dan tanggungjawab semata kepolisian saja.

Namun semua pihak termasuk dari sektor pendidikan perguruan tinggi hingga peran sekolah-sekolah perlu hadir di dalamnya. Tujuannya agar bisa berkontribusi menyelesaikan masalah tersebut dengan cara masing-masing.

"Tapi kata-kata saya lagi adalah karena Pemda ini Pemerintah Daerah yang punya tanggung jawab melindungi warganya maka dia harus mencari jalan strategi apa lagi. Ini Jogja punya predikat sebagai istimewa itu mestinya terjemahkan pada suasana kondusif. Maka itu tantang-tangannya kreativitas para anak-anak muda itu dijemput," jelasnya.

Jika sinergi itu bisa dimaksimalkan, Arie bahkak membayangkan penanganan klitih itu justru nantinya akan berasal dari anak-anak dengan kreativitas yang telah berkembang tadi. Bukan lagi dengan cara-cara kekerasan atau sebagainya.

"Tetapi misal anak-anak yang mengalami disorientasi diajak gabung, diedukasi, anak-anak yang seneng mendem (mabuk) destruktif itu diajak energinya dialirkan ke hal positif," ucapnya.

"Kadang-kadang kan orang itu enggak berani negur, karena sudah ada batas antara yang distigma nakal dan yang tidak. Sing ndem-ndeman (mabukan-mabukan) atau tidak. Jangan-jangan yang ndem-ndeman itu pelarian karena problem entah sekolah atau masalah keluarga atau di kampung juga dikucilkan, akhirnya mendem diprovokasi mabuk lalu bacok. Nah yang gitu-gitu harus diurai," tandasnya.

Sebelumnya diberitakan, Pemda DIY meminta pihak kepolisian menindak tegas pelaku kejahatan jalanan termasuk klitih.

“Kan ada aturannya, kriminalitas yang dilakukan oleh anak ada aturannya sendiri, kriminal dilakukan oleh orang dewasa ada aturannya sendiri. tetapi, keduanya tetap kena hukum,” papar Sekda DIY, Baskara Aji di Kompleks Kepatihan Yogyakarta, Senin (3/1/2022).

Menurut Aji, kejahatan jalanan yang dilakukan anak-anak di bawah umur sangat memprihatinkan. Karenanya Pemda DIY menyusun langkah dalam rangka mengatasi masalah tersebut.

Koordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) mulai disiapkan. Diantaranya Dinas Pendidikan, Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk DIY (DP3AP2) dan Dinas Sosial (dinsos) DIY.

“[Koordinasi OPD] dilakukan, jadi kita bedakan mana yang pendampingan [pelaku], cukup di rumah mana yang butuh pembekalan di tempat tertentu untuk mendapatkan keterampilan, pendampingan psikologis, diajari disiplin itu sendiri ada asesmen dulu,” ujarnya.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak