SuaraJogja.id - Masyarakat kembali dibuat gelisah dengan kebijakan kontroversi pemerintah terkait keanggotaan BPJS Kesehatan yang akan segera diberlakukan. Direncanakan dengan kebijakan terbaru itu masyarakat yang hendak bertransaksi jual beli tanah hingga mengurus SIM dan STNK harus mewajibkan dokumen BPJS Kesehatan.
Pakar kebijakan publik UGM Wahyudi Kumorotomo menilai bahwa pemerintah hanya mengambil jalan pintas untuk mengatasi persoalan BPJS Kesehatan. Khususnya terkait defisit yang hingga saat ini masih dialami.
"Dengan kebijakan yang sekarang itu tampaknya pemerintah mengambil jalan yang mudah adalah dipaksa itu. Padahal sebenarnya untuk menutup defisit BPJS Kesehatan itu PR pemerintah yang lama sampai sekarang masih belum betul-betul dikerjakan secara sistematis," kata Wahyudi saat dihubungi awak media, Selasa (23/2/2022).
Wahyudi menjelaskan sejak tahun 2014 lalu hingga saat ini masih belum betul-betul terpenuhi target untuk kepersertaan di BPJS Kesehatan. Persoalan dari tahun ke tahun sendiri bahwa BPJS Kesehatan juga tidak pernah surplus.
Baca Juga:Dirancang Arsitek GPH Hadinegoro, Ada Nilai Filosofis Ini di Balik Gedung Pusat UGM
"Jangankan suprlus, impas saja tidak pernah dan defisit itu menjadi beban pemerintah. Nah karena itu pemerintah barangkali ingin mengurangi cost center itu salah satunya adalah dari cost untuk istilahnya melunasi utang dari BPJS Kesehatan yang defisit," terangnya.
Disampaikan Wahyudi, terkait dengan kebijakan yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) itu tidak terlepas dari Undang-undang tahun 2014 lalu ketika sistem JKN itu diterapkan.
Pada saat itu sebenarnya pemerintah sudah mewajibkan para pemberi kerja untuk kemudian mengikutsertakan para karyawannya agar dapat menjadi anggota BPJS Kesehatan. Namun, kata Wahyudi, tampaknya pemerintah mengubah strategi tersebut karena belum mampu untuk mengatasi persoalan defisit yang belum terselesaikan tadi.
"Sekarang tampaknya strateginya diubah karena ternyata hanya dengan mewajibkan pemberi kerja itu sampai sekarang baru 86 persen kepersertaannya. Jadi masih kira-kira 14 persen yang belum tercapai. Tapi target 2024 itu cukup ambisius, 98 persen yang akan menjadi peserta," ungkapnya.
"Ya karena itu untuk mencapai target itu tampaknya kemudian sekarang satu-satunya cara istilahnya dengan memberikan instrumen mengharuskan dimulai dengan dari kira-kira 23 Kementerian dan 7 lembaga tadi dimulai dari urusan pertanahan," sambungnya.
Wahyudi mengatakan sebenarnya cukup optimis jika dilihat dari kebijakannya bahwa universal health coverage (UHC) atau sistem jaminan kesehatan nasional itu adalah yang terbaik. Terlebih dengan mengikuti sistem di eropa barat yang sudah ada selama ini.
"Daripada sistem jaminan kesehatan di Amerika Serikat yang diandalkan itu adalah asuransi swasta. Jadi sistemnya betul-betul kapitalisme, siapa saja yang punya duit ya dapat asuransi. Tapi kan kita akan mengikuti sistem di eropa barat yang negara itu bertanggungjawab untuk urusan kesehatan. Semua diharapkan memiliki atau ikut serta dalam keanggotaan sebagai yang dijamin oleh jaminan kesehatan nasional," tandasnya.
Dengan catatan pemerintah tetap harus menjalankan pekerjaan rumahnya selama ini. Terlebih memperbaiki sistem rujukan dari BPJS Kesehatan itu sendiri serta memberikan sosialisasi yang lebih layak kepada masyarakat.
Untuk diketahui, mulai 1 Maret 2022, kartu BPJS Kesehatan akan menjadi lampiran wajib. Bagi setiap warga yang ingin mendapatkan layanan publik.
Mulai dari pengurusan Surat Izin Mengemudi/Surat Tanda Nomor Kendaraan (SIM/STNK), Surat Keterangan Catatan Kepolisian, jual beli rumah, hingga naik haji. Warga diharuskan melampirkan kartu BPJS Kesehatan.
Ketentuan itu sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Inpres yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 6 Januari 2022 itu ditujukan kepada sejumlah menteri, Jaksa Agung, Kapolri, pimpinan lembaga, gubernur hingga bupati/wali kota di Indonesia.