China Salahkan Amerika dalam Konflik Rusia dan Ukraina, Pengamat Soroti Kebutuhan Jaminan Keamanan

Disampaikan Muhadi, situasi yang terjadi sekarang kemudian mirip dengan sejarah Teluk Babi.

Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Sabtu, 26 Februari 2022 | 11:42 WIB
China Salahkan Amerika dalam Konflik Rusia dan Ukraina, Pengamat Soroti Kebutuhan Jaminan Keamanan
Sebuah gedung tampak hancur usai dihantam roket yang dilepaskan tentara Rusia di wilayah timur Ukraina, Kamis (24/2/2022). (Foto: AFP)

SuaraJogja.id - Di saat berbagai negara di dunia mengecam tindakan militer Rusia di Ukraina, Pemerintah China menolak menyebutnya sebagai invasi. Justru Amerika Serikat yang disalahkan karena disebut telah menyulut api dalam konflik geopolitik tersebut.

Pengamat Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada (UGM) Muhadi Sugiono menilai bahwa sikap China tidak bisa lantas dikategorikan sepenuhnya salah. Hal tersebut melihat dari perundingan awal tentang permintaan Rusia untuk menolak Ukraina masuk ke NATO diabaikan Amerika. 

"Ya sebenarnya tidak sepenuhnya salah juga gitu karena Amerika di awal perundingannya kan memang Rusia menekankan, 'Saya [Rusia] itu butuh jaminan kamu [Amerika] tidak akan masukkan Ukraina ke NATO,' tetapi karena Amerika mengatakan, 'Saya enggak mau itu,' sama sekali tidak mau menerima concern Rusia tentang keanggotaan itu," kata Muhadi saat dihubungi awak media, Sabtu (26/2/2022).

"Jadi tetap saja itu kemudian Amerika tetap membuka ruang untuk Ukraina menjadi anggota NATO. Nah itu yang menurut saya merupakan kesalahan fatal gitu ya," sambungnya.

Baca Juga:Rusia Batasi Akses Facebook Dan Menekan Media Terkait Pemberitaan Ukraina

Disampaikan Muhadi, situasi yang terjadi sekarang kemudian mirip dengan sejarah Teluk Babi, di mana hampir terjadi perang nuklir di era kepemimpinan Presiden Kennedy. 

"Coba dibayangkan kalau kita kembali ke tahun 60-an itu insiden Teluk Babi, apa yang terjadi? Karena Rusia waktu itu Uni Soviet ingin membangun pangkalan militer di Kuba, Amerika mau enggak? Enggak mau," terangnya.

Sama halnya ketika Amerika butuh jaminan keamanan negaranya saat itu begitu juga Rusia sekarang. Tergantung dari jaminan itu yang kemudian akan membuat durasi invasi Rusia ke Ukraina akan lebih lama atau bisa segera diselesaikan.

"Ya Putin sebenarnya membutuhkan jaminan itu. Jadi seperti akhirnya dia menginvasi Donetsk sekarang atau sebelumnya, dia ingin memastikan dia memperoleh jaminan itu. Dan dia berusaha supaya pemerintah di Kiev itu juga adalah pemerintahan yang bisa setidak-tidaknya bekerjasama dengan Rusia," ungkapnya. 

Tentang potensi konflik yang merember ke Taiwan dan Korea atau bahkan China, kata Muhadi, sebenarnya khusus untuk China ada di situasi yang sama dengan Rusia. China merasa dikepung baik oleh negara lain terkhusu Amerika.

Baca Juga:Invasi Rusia ke Ukraina: Perusahaan Barat Putuskan Relasi, Delta Airlines Hentikan Layanan Berbagi Kode dengan Aeroflot

"Artinya dengan cara seperti itu bagi China dia punya simpati kepada Rusia gitu bahwa Rusia itu melakukan invasi ke sana itu tidak bisa dibenarkan betul. Tetapi ada preteksnya ada faktor yang kemungkinan yang mendorong Rusia itu melakukan itu. Dan proses negosiasi itu sebelumnya juga sudah dilakukan tapi mentok karena jaminan itu," urainya.

"Bagi kita kalau kita bicara tentang perdamaian, perdamaian itu kan harus dinegosiasikan dan setiap negosiasi itu kan harus memperhatikan keluhanmu apa, concernmu apa gitu," tambahnya.

Terbaru, Presiden China Xi Jinping telah melakukan percakapan telepon dengan Presiden Rusia Vladimir Putin pada Jumat (25/2/2022) sore di tengah invasi Rusia terhadap Ukraina.

"China mendukung Rusia dan Ukraina dalam mengatasi krisis ini melalui negosiasi," kata Xi sebagaimana pernyataan tertulis yang dikirim oleh Kementerian Luar Negeri China (MFA) kepada Antara Beijing.

Menurut pucuk pimpinan Partai Komunis China (CPC) itu, pada dasarnya negaranya sangat menghormati kedaulatan dan integritas wilayah semua negara serta mematuhi prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB. Xi mendesak semua pihak meninggalkan mentalitas perang dingin.

"Masalah Ukraina harus diselesaikan melalui negosiasi agar tercipta mekanisme keamanan yang seimbang, efektif, dan berkesinambungan," kata pemimpin tertinggi militer China itu.

Dalam kesempatan tersebut Xi juga menyampaikan terima kasih atas kehadiran Putin pada acara pembukaan Olimpiade Musim Dingin di Beijing pada 4 Februari lalu.

Sementara itu, Putin mengadu kepada Xi bahwa Pakta Pertahanan Atlantik Utara atau NATO telah lama mengabaikan masalah keamanan Rusia.

NATO, lanjut dia, juga berulang kali mengingkari komitmen dan terus mengerahkan militernya ke timur yang mengarah ke garis demarkasi Rusia.

"Rusia bersedia melakukan pembicaraan dengan Ukraina," kata Putin kepada koleganya itu.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini