Penanganan Tuberkulosis Masih Terganjal Stigma di Masyarakat

Kendala lain dalam penanganan TB adalah kepatuhan mengonsumsi obat-obatan yang dibutuhkan ketika sudah didiagnosis menderita TB.

Eleonora PEW | Hiskia Andika Weadcaksana
Jum'at, 01 April 2022 | 12:55 WIB
Penanganan Tuberkulosis Masih Terganjal Stigma di Masyarakat
Ilustrasi seorang batuk dan bersin sebagai gejala Tuberkulosis. (Foto oleh Edward Jenner dari Pexels)

SuaraJogja.id - Dokter RS Akademik Universitas Gajah Mada Ahmad Fikri Syadzali menyebut masih banyak stigma terkait dengan penyakit Tuberkulosis (TB) yang melekat di masyarakat. Kondisi itu yang kemudian menjadi kendala penanganan dan pengendalian TB selama ini.

"Kendala biasanya stigma masyarakat untuk TB. Kan kalau kita kalau ada yang kena TB nanti menular-menular, stigma masyarakat itu kan kurang bagus kalau untuk TB. Jadi dijauhi dari lingkungan," kata Fikri ditemui SuaraJogja.id seusai Seminar Hari Tuberkulosis Sedunia Tahun 2022 di Hotel Grand Serela, Kamis (31/3/2022).

Padahal, kata Fikri, TB adalah penyakit yang bisa disembuhkan hingga kemudian tidak menular lagi ketika itu benar dan berhasil diobati.

Stigma itu tadi kemudian juga berpengaruh kepada kesadaran masyarakat. khususnya untuk memeriksakan kondisi TB jika memang menjadi kontak erat penularan.

Baca Juga:Seminar Hari Tuberkulosis Sedunia, Dinkes Sleman Komitmen Wujudkan Eliminasi TB di 2030

"Misalkan TB itu kalau sudah tertular di rumah yang pasti ada orang lain, entah itu istri, suami, anak, atau saudara. Itu juga perlu diperiksakan, kalau misalkan dalam satu rumah ada satu pasien yang positif (TB) itu harus diskrining semua," ungkapnya.

Kendala lain dalam penanganan TB adalah kepatuhan mengonsumsi obat-obatan yang dibutuhkan ketika sudah didiagnosis menderita TB. Disampaikan Fikri, kebanyakan pasien TB berhenti mengkonsumsi obat jika sudah merasa lebih baik.

Padahal seharusnya ada batasan minimal waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan obat itu. Sehingga tidak bisa berhenti di tengah jalan begitu saja.

"Ada beberapa pasien jika tidak diedukasi dari awal harus selesai 6 bulan minimal ya bisa putus sampai dua bulan saja, enggak berobat lagi. Mestinya kan sampai 6 bulan ya. Biasanya memang dua bulan udah enakan setelah udah engga batuk, enggak sesek ya udah enggak lanjut pengobatan lagi," tuturnya.

Sehingga memang beberapa kendala itu masih menjadi tantangan dalam penanganan TB. Walaupun saat ini akses pengobatan pun sudah sangat tersedia di berbagai fasilitas layanan kesehatan yang ada.

Baca Juga:Menkes Ungkap Tiga Langkah Penting Advokasi Isu Tuberkulosis

Ditambah dengan kader-kader kesehatan TB yang aktif memantau kondisi masyarakat. Meskipun tetap perlu kesadaran yang tinggi dari masyarakat itu sendiri.

"Itu sebenarnya tantangan juga sih. Maka kembali lagi edukasi, edukasi di masyarakat harus kuat. TB itu seperti apa, menularnya seperti apa, bisa tidak disembuhkan, pengobatan seperti apa. Jadi mestinya dari bawah dulu, edukasi masyarakat promosi kesehatan, baru nanti naik ke atas penjelasan akan lebih mudah," tandasnya.

Senada, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinas Kesehatan Sleman, Khamidah Yuliati juga menyatakan bahwa stiga TB di masyarakat masih kuat. Terbukti dengan sejumlah kasus pasien yang harus kehilangan pekerjaan setelah diketahui menderita TB.

"Kendalanya masih sangat banyak karena stigma terhadap TB sangat sulit dihilangkan. Begitu orang tau itu kena TB langsung keluar dari pekerjaan, dipecat oleh perusahaan. Padahal dia menanggung semua keluarganya misalnya dia seorang bapak," ujar Yuli.

Untuk mengurangi stigma terhadap pasien TB, Yuli sendiri bahkan telah memberikan materi kepada para HRD perusahaan. Tujuannya agar tidak dengan secara serta merta melabeli pasien TB hingga mengeluarkan atau memecat yang bersangkutan.

"Harus ada evaluasi dulu, apakah dia masih layak bekerja atau tidak. Kalau masih bisa bekerja ya tempatkan di tempat terbuka yang ruangnya tidak tertutup, pokoknya dimanusiakan lah. Toh masih bisa disembuhkan karena dengan antibiotik dengan obat itu sembuh," tegasnya.

"Kesadaran masyarakat juga masih rendah karena takut dengan stigma tadi. Jadi bagaimana jangan sampai stigma ini berkepanjangan," sambungnya.

Bukan tidak mungkin ke depan, kata Yuli, pihaknya akan menggandeng seluruh kepala kalurahan hingga dukuh untuk ikut menangani pasien TB. Dalam artian bekerja sama serta bersinergi hingga ke level terendah.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak