SuaraJogja.id - Lantunan ayat suci Al-Quran bergema di sekitar teras rumah bernuansa Jawa sore itu. Nampak seorang ustadz mengiringi bacaan salah satu santri di Pondok Pesantren Waria Al-Fatah, Kotagede, Kota Jogja, Minggu (24/4/2022).
Beberapa tajwid dibenahi ketika dibaca oleh transpuan bernama Yeti. Tak jarang beberapa pertanyaan dilontarkan untuk mengetahui kesalahannya dalam membaca kitab suci itu.
Lebih kurang 30 menit membaca Al-Quran, sejumlah santri yang terdiri dari transpuan itu membentuk lingkaran di teras ponpes setempat. Satu orang penceramah membuka pengajian bertajuk Lailatul Qadar hingga menjelang berbuka puasa.
Suasana Ramadhan ini sangat dirindukan oleh Yeti. Transpuan yang memilih dipanggil Bunda Yeti itu cukup lama tak merasakan saat-saat berbuka puasa dengan orang-orang yang peduli terhadapnya.
Baca Juga:Pameran Karya Seni Ponpes Al Fatah Jogja, Gebrakan Transpuan Melebur ke Masyarakat
Terjerumus Menjadi Pekerja Seks
Yeti merupakan warga asal Medan, Sumatera Utara yang datang ke Jogja untuk melanjutkan pendidikan di bangku SMA tahun 1976. Bersekolah di SMA Muhammadiyah 2 Jogja, Yeti ikut bersama kakaknya yang saat itu sedang menyelesaikan pendidikan kuliah.
Ia mengungkapkan telah merasakan ada yang berbeda di dalam dirinya sebagai transpuan sejak kecil. Namun hal itu tak digubris oleh orang tua hingga Yeti memilih berpenampilan perempuan selama di Jogja.
"Jadi saya ketika SMA itu ya suka keluar malam dan pulang saat subuh. Waktu itu masih masa Ramadhan, jadi saya keluar itu berpakaian perempuan sambil mangkal di sekitar asrama tempat saya dan abang saya tinggal," kata Yeti ditemui suarajogja.id.
Aktivitas itu dia lakukan hingga 2 tahun lamanya. Bak sepintar-pintarnya tupai melompat akhirnya jatuh juga, Yeti kepergok berpenampilan perempuan dan sedang menjajakan diri saat rekan asramanya melintas.
Baca Juga:Bangun Ponpes Waria Al-Fatah, Shinta Ingin Transpuan Tetap Ingat Tuhan
Yeti digelandang pulang ke asrama dan nyaris dihajar oleh kakaknya di tempat tinggal mereka. Namun Yeti diselamatkan oleh warga sekitar dan akhirnya diminta untuk mengubah penampilan dia.
Yeti mengaku malah tertekan dengan hal tersebut selama di asrama. Ketika lulus SMA, ia memilih mencari indekos dan jauh dari kakaknya.
"Untuk melanjutkan hidup saya perlu uang kan, dan pilihannya waktu itu saya menjadi PS (pekerja seks). Dan saat itu saya terputus dengan agama dan sering meninggalkan ibadah," katanya.
Yeti tak mau berbicara banyak soal kehidupan dia selama menjadi pekerja seks. Yang jelas masa kelam itu menajdi pembelajarannya dan berjanji tak ingin kembali ke lubang yang sama.
Menjadi transpuan dianggap sebagai jati dirinya selama ini. Yeti merasa dirinya perempuan dan acap kali dianggap berbeda dari masyarakat.
Hal itu juga yang menjadikan dirinya memilih jauh dari agama dan menjalankan hidup sebagai pekerja seks.
Mendapatkan Hidayah
Butuh waktu lama bagi Yeti untuk mendekat ke agamanya, yakni Islam. Hal itu berawal saat komunitas transpuan yang dia ikuti berencana membangun sebuah tempat pengajian.
Sekitar 2008, rencana itu diijabah. Pondok Pesantren waria saat itu dibangun, termasuk Yeti yang ikut membangun di tahun itu.
"Nah dari situ saya mulai mendapat pencerahan untuk kembali belajar Islam. Sangat lama sekali saya tidak salat, apalagi membaca Al-Quran," katanya.
Bagi Yeti, Allah SWT mengajak seluruh umat yang beriman untuk beribadah kepada-Nya. Yeti yang lahir dari lingkungan muslim pun menganggap bahwa ia berhak untuk belajar agama, terlepas dari kondisi dia sebagai transpuan.
Perlahan tapi pasti, Yeti mulai mengikuti aktivitas di Ponpes setempat. Mulai dari pengajian, membaca Al-Quran dan juga pelajaran ilmu-ilmu dalam Islam.
Belajar di Ponpes Al-Fatah dirasa sangat nyaman. Mengingat setiap santri di tempat tersebut merupakan transpuan juga. Bagi Yeti akan sangat berbeda ketika dirinya mengikuti kajian rutin di tempat lain atau masjid di Kota Jogja.
"Belum tentu mereka mau menerima kita ketika saya duduk bersama kan?. Bahkan ilmunya nanti tidak bisa masuk karena tidak nyaman. Maka di sini saya lebih nyaman," katanya.
Banyak perubahan yang dialami Yeti. Mulai berusaha tak meninggalkan salat, menambah kualitas bacaan Al-Quran dan menerapkan ilmu Islam yang dia pelajari. Tak hanya itu pengendalian emosi hingga cara berbicara dan merespon pandangan orang lain lebih terkontrol.
Yeti sudah meninggalkan masa kelamnya sebagai pekerja seks. Saat ini dirinya bekerja di sebuah Yayasan Vesta Indonesia (YVI) Jogja sebagai tenaga penyuluh bagi transpuan seperti dirinya.
Sehari-hari, perempuan yang memiliki nama asli Amri Yahya itu memberikan pendampingan dan pengobatan bagi warga masyarakat yang mengidap HIV atau ODHA. Yeti bertahan hidup dari penghasilan di yayasan tersebut.
"Ya alhamdulillah, masih bisa dapat penghasilan di sana. Sebenarnya banyak cerita sampai bisa berubah seperti sekarang. Saya hanya bisa bersyukur meski kondisi saya seperti ini. Saya ingin tetap beribadah," katanya.
Transpuan di Ponpes Al-Fatah
Penceramah yang juga Dosen Fakultas Hukum, Muhammad Nur Islami yang datang mengisi kajian jelang berbuka puasa saat itu mengatakan bahwa kondisi transpuan di Ponpes Al-Fatah berbeda dari transpuan lain.
"Mereka ini memang transpuan. Tapi dari yang saya perhatikan betul, mereka ini masih mau beribadah. Masih salat, masih puasa. Dan ini memang perlu kita arahkan bagaimana mereka beragama," katanya.
Nur Islami mengaku baru sekali bertamu ke Ponpes Al-Fatah. Ke depannya, dosen 60 tahun itu akan mengisi aktivitas keagamaan di tempat tersebut.
Terpisah, Ketua Ponpes Waria Al-Fatah Yogyakarta, Shinta Ratri mengatakan aktivitas selama Ramadhan kali ini lebih longgar dari tahun sebelumnya. Mengingat landainya kasus Covid-19 dan juga turunnya status PPKM ke Level 2.
"Sekarang lebih longgar, semua anggota dan santri kami datangkan untuk mengikuti baca Al-Quran dan Iqro bersama. Kemudian dilanjutkan dengan kajian berbuka puasa," kata Shinta.
Salat berjamaah hingga tarawih juga digelar di ponpes setempat. Aktivitas tersebut juga sebagai pengingat bagi transpuan untuk tetap beribadah kepada Allah SWT dengan kondisi apapun.